Machasin: Pelaksana di Daerah Belum Memahami Rincian PBM

26 Mar 2013
Machasin: Pelaksana di Daerah Belum Memahami Rincian PBM

Jakarta (Pinmas) —- PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 dalam implementasinya kurang dimengerti oleh pelaksana di daerah, meski Kemendagri telah melakukan sosialisasi ke seluruh perangkat daerah. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. Dr. Machasin ketika membuka Seminar PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006: Implementasi dan Problematikanya Kini

 

Seminar nasional ini diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat di Jakarta (21/3).

 

“Rincian PBM ini kurang dimengerti oleh pemegang kewenangan politik di daerah”, terang Machasin ketika memberikan catatan beberapa hal dari apa yang terdengar dari masyarakat terkait keberadaan dan implementasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 pada.

Keberadaan PBM sebagai salah satu instrumen hukum, menuai pandangan keliru sebagian orang. PBM membikin masalah dalam pembangunan rumah ibadah, sehingga ada pendapat agar PBM dicabut karena menjadi alat penguasa di daerah untuk melarang pembangunan rumah ibadah,

Selanjutnya, ada juga tudingan bahwa PBM dibuat dengan cara berpikir orde baru yang ingin menguasai semua hal kehidupan masyarakat. Pada konteks tertentu, PBM ini juga dipakai oleh kelompok tertentu yang tidak memiliki jelas kewenangannya untuk menolak keberadaan rumah ibadah tertentu.

Menurut Mahasin, banyak problem sebenarnya yang berkaitan dengan PBM yang sebetulnya dibuat dengan itikad baik untuk menyelesaikan masalah, tetapi jusru dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak masalah. Masalah tersebut bukan dari PBM-nya itu sendiri, tapi dari pelaksana yang mempunyai kewenangan atau dari masyarakat yang merasa punya kewenangan dengan menggunakan point-point tertentu saja dari PBM ini.

“Melalui pertemuan ini, saya harap bisa menghasilkan sesuatu yang nantinya bisa digunakan untuk memperbaiki keadaan melalui penilaian yang jernih” harap Machasin. 
Hal senada juga disampaikan Atho Mudzhar, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Dalam catatannya, Atho menyampaikan adanya kegamangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam mengambil kebijakan, khususnya mengenai pendirian rumah ibadah. Hal ini, mungkin karena adanya tarik-menarik dengan kekuatan politik lokal. Akibatnya peraturan yang jelas-jelas termuat dalam PBM 2006 tidak dilaksanakan secara konsisten.

Dalam peristiwa tertentu, misalnya, sebuah izin mendirikan rumah ibadat di Kupang harus ditunda penerbitannya (atas kesepakatan) karena akan diselenggarakannya Pemilukada. “Hiruk pikuk politik lokal sangat berpengaruh terhadap implementasi PMB 2006”, ujar Atho .

Melihat fakta ini, Atho Muzdhar memperlihatkan peran strategis pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006, baik dalam arti memperlancar pelaksanaan PBM maupun arti sebaliknya. Untuk itu perlu dikaji secera lebih cermat, dicarikan jalan keluarnya, dan salah satunya melalui penerbitan Pergub atau Perda yang isinya mengakomodasi PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006.

Saran lain yang ditawarkan Atho, ialah penguatan kembali komitmen segi tiga antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan pimpinan Majlis-majlis agama tingkat pusat (MUI, PGI, KWI, PHDI, dan Walubi serta Matakin) dalam mensosialisasikan PBM 2006.

Seminar yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 7 tahun terbitnya PBMmenghadirkan sejumlah narasumber, yakni Maftuh Basuni (mantan Menag), Prof. Dr. M. Atho Mudzhar (Guru Besar Sosiologi Hukum Islam UIN Jakarta), Prof. Dr. Lodewijk Gultom, Drs. H. Yusuf Asry MM (Peniliti pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan) dan dipandu oleh Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan (Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan), dan peserta yang berasal dari majlis-majlis agama, Kementerian Agama Pusat dan unsur masyarakat lainnya. (DM)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI