Membangun Konsep Third Place untuk Perpustakaan

25 Apr 2025
Membangun Konsep Third Place untuk Perpustakaan
Perpustakaan Kementerian Agama

Hariyah

Pustakawan Kementerian Agama RI

 

Perubahan di Perpustakaan

Tidak ada suatu organisasi yang tetap, ajeg, bahkan tak mengalami perubahan sedikitpun. Sunatullah, sedikit banyak perubahan itu akan terjadi. Baik perubahan yang berlangsung secara alamiah maupun perubahan karena berbagai faktor. Baik kita suka perubahan itu atau tidak, perubahan itu tetap akan terjadi. Tinggal bagaimana sikap kita menghadapi perubahan itu.

 

Begitu pun perpustakaan, sebagai sebuah organisasi akan berubah. Sejak kepindahan perpustakaan Kemenag (Kementerian Agama) kembali ke Gedung Thamrin pada tahun 2010, perpustakaan mengalami dinamika. Harapan pemustaka dan apa yang disediakan perpustakaan harus menemui titik temunya.

 

Menurut UU Perpustakaan No.43 Tahun 2007, perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.

 

Pada awalnya perpustakaan mengambil filosofi heksagon. Bentuk ini mengingatkan pada keagungan Sang Pencipta terhadap penciptaan sarang lebah, di mana sel berbentuk heksagonal ternyata bisa menyimpan madu dalam jumlah maksimum. Melalui bentuk ini, diharapkan dapat menggambarkan Perpustakaan Kementerian Agama mampu menjalankan perannya seperti yang tertera pada UU di atas dan memberikan kebermanfaatan sebanyak-banyaknya kepada masyarakat.

 

Seiring berjalannya waktu, konsep heksagon yang terejawantah melalui bentuk rak-rak buku perpustakaan mengalami perubahan. Bentuk ini masih mengakomodir ruang perpustakaan yang penuh  dengan rak-rak buku sehingga memberikan kesan sempit dan kaku. Perpustakaan perlu hadir dengan penampilan yang lapang, segar, dan nyaman.

 

Realitasnya, banyak pengguna atau pemustaka mencari sebuah tempat untuk bersantai yang tak memerlukan biaya.  Ruangan itu menjadi tempat bersantai setelah bekerja, ruangan bersantai untuk membaca buku ataupun bersantai di taman. Sebuah ruang terbuka yang menjadi ruang refreshment.  Ruangan yang dapat menyegarkan pikiran yang lelah, ataupun mengusir stress.  Tempat ini bersifat gratis dan juga terbuka kepada semua orang. Keterbukaan ini diharapkan mengundang orang untuk datang dan terjadilah berbagai macam interaksi sosial. Perpustakaan hadir untuk menjawab kebutuhan ini.

 

Menurut Widodo dan Prasetyo Budi (2000), rancangan suatu bangunan atau lingkungan yang bagus akan menyebabkan orang merasa lebih nyaman, aman dan tentunya membuat orang yang berada di dalamnya menjadi meningkat produktivitasnya dan sebaliknya rancangan yang jelek akan membuat perasaan tidak berdaya (powerless) dan menimbulkan stres.

 

Menurut Sri Wahyuni Panjaitan (2016), faktor terpenting yang dapat menunjang keberhasilan sebuah perpustakaan adalah perpustakaan berusaha membuat berbagai macam peningkatan agar pemustaka merasa nyaman berada dalam perpustakaan. Hal ini perlu adanya perubahan sarana penunjang yang dapat membuat pemustaka nyaman berada diperpustakaan. Sarana penunjang tersebut dapat ditonjolkan pada desain interior perpustakaan.

 

Konsep Third Place

Perpustakaan dapat memerankan fungsi sebagai Third Place dan menjadi sebuah tempat di mana pengguna dapat datang untuk bersantai dan juga bersosialisasi. Bahkan perpustakaan dapat mejadi co-working space, sebuah fungsi penunjang di mana seseorang dapat datang dan bekerja di dalamnya.

Konsep third place (tempat ketiga) diperkenalkan oleh sosiolog Ray Oldenburg tahun 1999 dalam buku The Great Good Place, mengacu pada tempat selain rumah (first place) dan tempat kerja (second place) yang menjadi ruang sosial bagi masyarakat untuk berkumpul, berinteraksi, dan berbagi ide.

 

Perpustakaan Kemenag (Kementerian Agama) yang merupakan perpustakaan khusus di instansi pemerintah berusaha mengadopsi konsep third place bukan hanya tempat untuk membaca atau mencari informasi, tetapi juga menjadi ruang kolaboratif, inspiratif, dan mendukung kebutuhan sosial serta profesional pengguna.

 

Sebagai perpustakaan lembaga pemerintah, konsep third place yang diadopsi perpustakaan Kemenag terus dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan pegawai dan instansi. Sejauh ini, Perpustakaan Kemenag telah berusaha menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk beraktivitas. Bahkan, beberapa sudut yang tampak seperti mini bar untuk sekadar ngopi, maupun pojok moderasi beragama yang berisi koleksi khusus tentang moderasi beragama, menjadi icon yang diharapkan menarik pemustaka ke perpustakaan. Selain itu, terdapat kegiatan lain yang pernah ada di perpustakaan dan dapat menggiring pemustaka ke perpustakaan, di antaranya:

 

1.   Bibliobattle

Kegiatan ini pertama kali diadakan di Perpustakaan Kemenag pada tahun 2019. Perpustakaan meniru kegiatan yang dipopulerka oleh negara Jepang. Di sana, kegiatan ini sudah sedemikian popular di kalangan pelajar dan masyarakat. Motto kegiatan ini Know People Through Books, Know Book Through People (Mengenal orang melalui buku, mengenal buku melalui orang). Saat itu, perpustakaan mengundang para pemustaka pecinta buku dari unsur pegawai untuk mengikuti sebuah acara lomba mereviu buku. Mereka menyampaikan selama lima menit tentang buku yang dibaca. Dengan waktu yang terbatas ini, menjadi tantangan bagi reviewer/presenter untuk tetap bisa menyampaikan semenarik mungkin tentang buku yang dibaca. Alhasil, penonton menjadi penasaran untuk membaca juga buku tersebut. Acara ini dikemas dengan santai dan fun. Di sinilah terjadi dialog, knowledge sharing, dan transfer ilmu kepada penonton yang hadir.

 

2.   Diskusi buku

Perpustakaan identik dengan kegiatan bedah buku. Apalagi Perpustakaan Kemenag memiliki koleksi yang khas dan unik yang diterbitakan oleh Kementerian Agama sendiri. Tentu saja buku ini tidak beredar di tempat lain. Kekhasan koleksi inilah yang menjadi sumber daya informasi yang besar yang dimiliki perpustakaan. Karena itulah banyak pemustaka yang hadir untuk menjadikan buku-buku tersebut rujukan atau referensi dalam karya ilmiah mereka. Tanpa sadar pemustaka bisa seharian nongkrong di perpustakaan. Apalagi ditemani para pustakawan yang sangat membantu dalam hal menjelaskan dan menyediakan referensi yang tepat untuk kebutuhan informasi mereka.

 

3.   Ngopas alias Ngobrol tentang Perpustakaan

Perpustakaan menjadi tempat untuk membicarakan tentang apa itu perpustakaan dan apa saja layanannya. Obrolan dikemas dalam bentuk podcast, santai dan ringan. Di sinilah pustakawan untuk gigi. Berharap layanan yang disampaikan dan koleksi menarik yang dimiliki dapat menarik pengunjung untk ke perpustakaan. Setidaknya Ngopas memantik interaksi dengan pemustaka sehinnga keberadaan perpustakaan diketahui dan dapat dimanfaatkan oleh mereka.

 

4.   Nobar dan diskusi film

Belum lama ini, Perpustakaan Kemenag melalui teater mininya mengadakan acara nobar atau nonton bareng dan diskusi film. Para pemustaka cukup antusias bahkan ini bisa menjadi program yang akan menarik lebih banyak pemustaka ke perpustakaan. Film-film pendek yang dimiliki instansi menjadi salah satu sumber kekayaan pengetahuan. Apalagi tema film pendek moderasi beragama tentu menjadi tontonan khas yang tidak tersedia di tempat lain.


5. Apresiasi bagi Pemustaka

Setiap orang senang jika mendapatkan apresiasi. Perpustakaan Kemenag selalu mengeluarkan sertifikat atau penghargaan kecil, misalnya bagi pengguna atau peserta yang aktif dalam kegiatan perpustakaan. Perpustakaan pernah mengadakan Pemustaka Award, apresiasi yang diberikan kepada pengunjung yang rajin membaca buku. Apresiasi yang diberika berupa hadiah buku, merchandise, bahkan dompet digital.  Dalam momen tertentu, misalnya HAB (Hari Amal Bhakti Kemenag), perpustakaan selalu mengadakan giveaway, yang menarik perhatian pengguna ataupun follower perpustakaan. Harapannya, apresiasi ini akan semakin mendekatkan pemustaka ke perpustakaan.

 

Penutup

Demikian beberapa kegiatan yang coba dikembangkan di perpustakaan sebagai outreach kepada pemustaka.  Tidak ada superman, yang ada superteam. Demikian pula dengan perpustakaan. Para pustakawan tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi dengan unit lain seperti kehumasan, sistem informasi, dan SDM ikut mendukung dalam mewujudkan perpustakaan sebagai the third place, mengembangkan peningkatan literasi dan kompetensi pegawai.

 

Eksekusi dari setiap kegiatan perpustakaan adalah yang paling penting. Beberapa kegiatan sudah berlangsung di perpustakaan dan akan terus ditingkatkan ke depan. Semangat untuk menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang seru dan bermanfaat tidak boleh padam. Third place semakin menemukan bentuknya di perpustakaan. Jika berhasil diterapkan, perpustakaan sebagai third place akan menjadi tempat yang dinamis, relevan, dan berdaya guna, yang mendukung tujuan organisasi maupun kesejahteraan pegawai. Semoga perpustakaan semakin bergairah dan memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan bangsa.

(HAR)

Penulis: Hariyah
Sumber: Perpustakaan
Editor: Dewi Indah Ayu D.
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI