Menteri Agama: Halal bil Halal Tradisi Khas Islam Indonesia yang Harus Dilestarikan
Jakarta (7 Agustus 2014). Menteri Agama RI (Menag), H. Lukman Hakim Syaifuddin beserta Istri menghadiri acara halal bil halal Keluarga Besar Kementerian Agama yang diselenggarakan hari Kamis, 7 Agustus 2014.
Kegiatan yang diselenggarakan di Auditorium H.M. Rasjidi gedung Kemenag Jl. M.H. Thamrin nomor 6 dihadiri oleh seluruh pejabat serta pegawai Kemenag Pusat, termasuk Kepala Badan Litbang dan Diklat, Prof. Dr. Machasin, MA.
Pada sambutannya, Menag menyampaikan beberapa pesan. Diantaranya adalah:
Pertama, dalam kesempatan ini Menag memaparkan makna halal bil halal yang sudah menjadi tradisi umat Islam di Indonesia. Menurutnya, meskipun tradisi ini khas terjadi di Indonesia dan tidak terjadi di negara muslim lainnya, namun bukan berarti tradisi ini tidak boleh dilakukan.
Esensi dari halal bil halal merupakan perwujudan kewajiban untuk berbuat baik kepada sesama manusia (hablun minan-nas). Dimana Islam menekankan bahwa ibadah dalam dimensi sosial kemasyarakatan (horisontal) tidak kalah pentingnya dengan ibadah vertikal kepada Allah SWT.
Bahkan dengan mengutip sebuah Hadits, Menag menyampaikan bahwa Nabi Muhammad telah mengingatkan kepada manusia agar tidak menjadi orang yang merugi. Yaitu orang yang seluruh amal ibadahnya harus diserahkan kepada orang-orang yang pernah disakitinya. Bahkan jika amal kebaikannya sudah habis, maka orang yang menyakiti sesama manusia, harus siap menanggung segala dosa orang-orang yang telah disakitinya.
Dalam konteks inilah halal bil halal yang merupakan tradisi khas masyarakat Islam di Indonesia menemukan relevansinya. Meskipun tradisi saling memaafkan di hari raya Idul Fitri tidak pernah mendapatkan contoh dari Nabi Muhammad, namun menurut Menag, tradisi ini tidaklah menyalahi ajaran agama. Bahkan halal bil halal telah memperkuat dimensi ibadah horisontal antar sesama umat. Sehingga tradisi mulia ini layak dan harus selalu dilestarikan.
Kedua, Menag mengingatkan kepada seluruh pegawai Kemenag tentang posisi dan perannya yang istimewa. Dalam pandangan masyarakat umum, posisi pegawai Kemenag dianggap berbeda dengan pegawai pada lembaga atau kementerian lainnya. Hal ini dikarenakan ada kata “Agama” dibelakang label Kementerian. Mau tidak mau, harus bersedia atas penyematan kata “Agama” dalam perannya sebagai pegawai.
Kata “Agama” dimaknai oleh masyarakat begitu mulia sehingga pegawai Kemenag di-ekspektasikan oleh masyarakat sebagai pegawai yang “tidak boleh salah”. Kesalahan sama yang dilakukan oleh pegawai Kemenag memiliki dampak yang jauh lebih berat dibandingkan jika kesalahan itu dilakukan oleh pegawai lembaga atau kementerian lainnya.
Selanjutnya Menag mengibaratkan meskipun sama–sama mencuri ayam, namun dampaknya akan berbeda jika pelakunya berbeda. Pencuri yang berlatar belakang keagamaan baik, akan dinilai lebih berat kesalahannya jika dibandingkan dengan pencuri yang dilakukan oleh orang biasa.
Oleh karena itu, Menag berpesan kepada seluruh pegawai Kemenag untuk memikul amanah kata “Agama” secara benar. Sehingga diharapkan tidak ada lagi kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
Ketiga, pada kesempatan ini Menag juga mengajak kepada seluruh pegawai untuk kembali fokus dan serius merealisasikan target-target kinerja yang telah ditetapkan setelah melewati masa cuti bersama selama satu minggu. Keseriusan kita dalam merealisasikan target kinerja dapat memberikan penilaian yang baik bagi siapapun yang akan meneruskan estafet kepemimpinan di Kemenag. Beliau ingin siapapun yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan, tidak terbebani dengan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan di masa kepemimpinannya yang akan berakhir di bulan Oktober 2014. (AGS)