Moderasi Beragama sebagai Gerakan Sosial Keagamaan: Refleksi atas Peran Aktor Penggerak dalam Membangun Harmoni*

Jakarta (BMBPSDM)---Sejak dicanangkannya tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Beragama (MB), Kementerian Agama RI melalui Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM (BMBPSDM) telah melahirkan ribuan alumni penggerak MB. Mereka berperan sebagai pelopor, fasilitator, dan instruktur nasional yang bertugas menyebarluaskan nilai-nilai moderasi dalam kehidupan beragama. Keberadaan mereka semakin strategis dengan penguatan kelembagaan melalui Perpres No. 152 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 33 Tahun 2024 tentang SOTK Kemenag, yang menegaskan posisi BMBPSDM sebagai ujung tombak pengarusutamaan MB.
Meski relasi sosial-keagamaan di Indonesia masih menyisakan riak-riak ketegangan, situasi terkini relatif lebih kondusif dibanding satu dekade lalu. Hal ini dapat dilihat sebagai dampak positif dari program MB, meski beberapa tantangan masih mengemuka antara lain, masih adanya miskonsepsi dan resistensi. Sebagian kelompok masih memandang MB sebagai proyek sekularisasi. Lain dari itu, masih terdapat adanya fragmentasi keberagamaan, terutama dalam situasi sosial politik yang labil. Polarisasi politik-keagamaan di tingkat masyarakat dapat melemahkan upaya MB. Terakhir, kita masih belum menemukan pola gerakan yang berkelanjutan. Dengan demikian, keterlibatan penggerak MB harus terus diperkuat agar tidak bersifat temporer.
Di sinilah pentingnya pendekatan kultural dan persuasif, bukan sekadar instruktif. Gagasan "agama berdampak" yang diusung Kemenag 2024-2029 dapat menjadi kerangka memperkuat MB, dengan menekankan peran agama dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan sosial.
Gerakan Sosial Islam sebagai perspektif
Gerakan sosial Islam (Islamic social movement) dapat dipahami sebagai upaya kolektif untuk mendorong perubahan atau mempertahankan nilai-nilai keislaman dalam masyarakat. Menurut teori gerakan sosial, tiga elemen utama yang menentukan keberhasilan suatu gerakan. Pertama, political opportunity structure, Kedua, mobilizing structures. Ketiga, framing processes (McAdam, McCarthy, & Zald, 1996).
Dalam konteks MB, ketiga elemen ini dapat diidentifikasi bahwa political opportunity structure hadir berupa dukungan negara melalui kebijakan MB dan penguatan kelembagaan BMBPSDM. Hal ini tentu menciptakan ruang politik yang kondusif. Kemudian, mobilizing structures berupa keberadaan ribuan alumni penggerak MB yang berfungsi untuk memperluas jaringan mobilisasi yang menghubungkan negara dengan masyarakat. Terakhir, framing processes, yakni MB dibingkai sebagai upaya menjaga "jalan tengah" beragama, menjawab tantangan radikalisme, dan sekularisme ekstrem.
Dengan demikian, pendekatan gerakan sosial ini relevan untuk memahami bagaimana MB tidak sekadar kebijakan top-down, melainkan juga gerakan kultural yang melibatkan aktor-aktor di tingkat akar rumput.
Kaitannya dengan gerakan, para penggerak MB dituntut untuk hadir sebagai agent of change yang menjembatani kebijakan negara dengan realitas masyarakat. Mereka tidak hanya bertugas menyosialisasikan MB, tetapi juga memperkuat narasi moderasi. Mereka aktif untuk meluruskan miskonsepsi bahwa MB bukanlah upaya melemahkan agama, melainkan mengembalikannya pada khitahnya yang rahmatan lil ‘alamin. Aktor ini juga bergerak untuk membangun jaringan lokal. Sebagai fasilitator, mereka menciptakan ruang dialog antarumat beragama dan intraumat beragama. Terakhir, tentu saja yang terpenting adalah menjadi role model dalam praktik keberagamaan yang inklusif dan toleran di tingkat komunitas.
Dalam perspektif gerakan sosial, peran mereka mencerminkan grassroots activism, di mana perubahan tidak hanya bergantung pada kebijakan negara, tetapi juga pada kesadaran dan aksi kolektif masyarakat.
Pada akhirnya, moderasi beragama bukan sekadar program pemerintah, melainkan sebuah gerakan sosial Islam yang membutuhkan peran aktif para penggeraknya. Dengan pendekatan gerakan sosial, MB dapat dipahami sebagai upaya kolektif untuk merawat harmoni melalui mobilisasi jaringan, narasi, dan praktik keberagamaan yang moderat.
Ke depan, para aktor penggerak MB harus terus diberdayakan sebagai kekuatan kultural yang mengedepankan dialog, edukasi, dan keteladanan. Hanya dengan begitu, MB dapat benar-benar menjadi fondasi kehidupan beragama yang konstruktif di Indonesia.
*(Sebuah catatan reflektif dari giat sosialisasi MB kerja sama Pusbangkom MKMB dengan Kesbangpol Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, 6-8 Mei 2025)