Muhasabah Kebangsaan, dari Thoharoh ke Integritas
Bandung (Balitbang Diklat)---Merawat keragaman bukan hal yang mudah kendati bukan mustahil. Salah satu poin yang berkontribusi positif dalam merawat kerukunan di tengah keragaman adalah implementasi nilai-nilai kebaikan, integritas dari agama dalam wajah yang ramah dan santun. ‘Ala kulli hal, amal positif secara horizontal ini “hablun min Al-naas” menjadi modal menghadap dan memperbaiki relasi vertikal, "hablun min Allah.”
Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Suyitno mengatakan hal tersebut saat memberikan arahan pada kegiatan Pelatihan Penguatan Moderasi Beragam Angkatan VIII dan IX bagi Tenaga Keagamaan dan Angkatan XII bagi Guru Agama yang diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung, di Bandung, Senin (17/7/2023).
Didampingi Plt. Kepala BDK Bandung, Agus Nasihatul Ahyar, Kaban melontarkan pertanyaan retoris. Sebagai ASN dan anak bangsa, manakah yang lebih banyak nikmatnya atau bukan? Kaban menyebutnya dengan muhasabah ASN dan anak bangsa. “Pertanyaan ini lahir dari keprihatinan masih adanya oknum ASN atau unsur lainnya yang terkesan nyinyir dengan pemerintah dan negara Indonesia ini,” ujar Kaban.
“Padahal, andaikan ada satu dua kasus yang dipandang negatif, sebaiknya dipandang dengan cinta. Cinta akan melahirkan forgiveness. Termasuk cinta pada tanah air,” sambungnya.
Oleh karena itu, menurut Kaban, perlu komitmen kebangsaan. Hal ini sebagai representasi religious. Barat, melalui pemikiran JF Kennedy, berpendapat right or wrong is my country. Sementara dalam pandangan umat Islam sebagai bagian dari bangsa Indonesia sejatinya ada paket komplit taat Allah, taat Rasul, dan taat ulil amri.
“Bagaimana jika ada kebijakan yang tidak baik, atau tidak benar? Misalnya, penghalalan miras, atau judi,” tandas Kaban.
“Maka sesuai dengan konsep agama kembali kepada Allah dan Rasul. Namun, hal ini pun terbantahkan. Untuk konteks Indonesia, belum pernah ada regulasi yang demikian. Justru hadir regulasi yang pro dengan nilai agama semisal UU Zakat, Wakaf, Haji, dll. Dengan demikian, sejatinya Indonesia telah mampu menerjemahkan pesan moral agama dalam konteks berbangsa dan bernegara,” ungkap Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang ini.
Lebih lanjut, Kaban mengingatkan tantangan modernitas memaksa kita untuk melakukan berbagai upaya serius merawat kebangsaan dan kebernegaraan ini. Hadirnya teknologi seiring dengan polarisasi generasi dengan hadirnya gen Z tentu berbeda dengan generasi sebelumnya semisal milenial dan gen X. Dulu Guru dalam mengajar berada dalam posisi in the box. Artinya, berpedoman pada kurikulum. Maka kurikulum berlaku relatif lama.
“Kemudian ada tuntutan guru out of the box. Artinya, memandang kurikulum menjadi pedoman dasar dan berupaya untuk mengembangkannya. Kini bahkan guru ditantang untuk without the box. Guru menjadi kurikulum itu sendiri. Guru menjadi role model siswa. Sama halnya dengan penyuluh, sebagai patron di masyarakat. Sebagai role model maka menjadi pribadi yang profesional. Artinya orang yang mampu menempatkan dirinya secara proporsional,” terang Kaban.
Pelatihan ini, kata Kaban, pada dasarnya mengajak para peserta untuk menjadi role model dalam konteks moderat dalam beragama. “Mengapa agama? Karena ia merupakan sesuatu yang sensitif dan hadir dalam setiap jiwa bangsa ini. Misalnya, dalam konteks Islam kadang dia sering disalahpahami. Ketika kesalahpahaman ini dibiarkan berpotensi pada kekeliruan. Meskipun semangat awalnya positif. Maka misalnya kita yang paling sederhana, kebersihan. Ia merupakan spirit agama yang dalam fikih ditempatkan dalam bab pertama. Idealnya semua ini tidak hanya menjadi "teori”, harus terimplementasi secara aktual. Dari kebersihan fisik bergeser kepada kebersihan spirit, batin, menuju integritas,” imbuh Kaban.
Menurut Kaban, pribadi yang berintegritas memiliki alarm untuk memberikan petunjuk pada saat ada potensi pelanggaran. Semakin terbiasa dengan kehidupan yang bersih, maka sinyal alarm integritasnya pun semakin kuat. Guru agama dan penyuluh pada gilirannya bukan hanya transfer of knowledge melainkan juga transfer of value. Maka prinsip integritas ini menjadi hal esensial agar pada gilirannya mampu membawa bangsa ini menuju perbaikan komprehensif.
“Moderasi beragama diharapkan menjadi modalitas yang melandasi implementasi beragama yang ihsan dalam kebhinnekaan di Indonesia. Tanpa komitmen moderasi beragama, khawatir agama yang moderat ini dipahami secara keliru. Alhasil, beragama bukan support terhadap islah, rekonsiliasi, melainkan menjadi kotak sempit yang mempolarisasi umat dan bangsa,” pungkas Kaban. (Firman Nugraha/sri)