Paradigma Baru Mencari Titik Temu Antara Hisab dan Rukyat
Persoalan hisab dan rukyat telah menyita energi umat Islam, khusunya ketika penetapan awal Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha. Hasil yang berbeda mengakibatkan terganggunya ukhuwah di kalangan masyarakat muslim pada saat perayaan Idufitri dan Iduladha. Jika hal ini dibiarkan, maka sekian lama umat Islam terpaku dan terbelenggu pada masalah, bukan pada solusi. Seakan-akan persoalannya hanya sekadar perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan hilal) yang mustahil untuk dipersatukan, sama mustahilnya untuk menyatukan mazhab yang berbeda-beda. Perdebatan dalil-dalil yang dianggap paling kuat antara pendukung hisab dan rukyat telah berlangsung ratusan tahun, namun hasilnya makin memperdalam jurang pemisah.
Kesaksian melihat hilal (ru'yat al-hilal), keputusan hisab, dan akhirnya keputusan penetapan awal Ramadhan dan Idulfitri oleh para pemimpin umat adalah hasil ijtihad, yang hakikatnya bersifat zhanniy (kebenaran relatif). Kebenaran mutlak (absolut) hanya Allah yang Maha Tahu. Orang yang berijtihad (mujtahid) dan orang-orang yang mengikutinya (muttabi’in) meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan pada dalil-dalil syari’ah dan bukti empirik yang diperoleh. Klaim kebenaran absolut dari hasil ijtihad kedua belah pihak melahirkan dikotomi hisab rukyat, sehingga ada yang menganggap hisab bersifat qath’iy dan menentukan, sedangkan rukyat bersifat zhanniy, yakni hanya pendukung. Ada pula yang menganggap bahwa rukyat bersifat qath’iy dan menentukan, sedangkan hisab hanya bersifat zhanniy, yaitu pendukung saja.
Dalam catatan sejarah, rukyat merupakan suatu metode yang digunakan lebih dahulu oleh umat manusia daripada hisab. Hal ini karena rukyat lebih mudah dilakukan oleh banyak orang, adapun hisab hanya terbatas pada orang yang mengetahuinya. Metode hisab maupun rukyat merupakan sebuah cara untuk menentukan awal bulan. Kedua metode itu tidak dapat dinafikan, karena semuanya saling mendukung. Keberadaan hisab karena ada rukyat yang panjang, termasuk metode hisab ini akan mempermudah pelaksanaan rukyat secara benar. Jadi kedua-duanya saling menguatkan dan saling mendukung.
Titik Temu Kriteria Bersama
Rekomendasi fatwa MUI Nomor 2/2004, agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait. Upaya menuju titik temu dalam merumuskan kriteria antara metode hisab dan rukyat terus dilakukan oleh MUI yang difasilitasi Kementeriaan Agama. Spirit QS al-Nisa/4:59: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri di antara kalian… “ menjadi modal untuk merealisasikan terwujudnya titik temu. Kehadiran pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Agama dipandang sangat urgen, karena akan melahirkan kemaslahatan. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan: “Hukm al-hakim ilzam wa yarfa’ al-khilaf” (ketetapan pemerintah itu mengikat, dan dapat menjembatani perselisihan).
PBNU telah membuat “Pedoman Rukyat dan Hisab” (1994) yang merujuk pada berbagai hadis dan pendapat ulama, yang intinya tetap akan menggunakan ru’yat al-hilal atau istikmal dalam penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Namun, hasil rukyat dapat ditolak bila tidak didukung oleh ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat. Sampai saat ini batasan yang digunakan adalah ketinggian hilal minimum 2 derajat, bila kurang dari itu hasil rukyat dapat ditolak. Prinsip yang digunakan adalah wilayatul hukmi, yaitu ulil amri (pemerintah) dapat menetapkan ru’yat al-hilal di suatu tempat di Indonesia berlaku untuk seluruh wilayah. Itsbat (penetapan) awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah yang dilakukan oleh pemerintah dapat diikuti selama didasari oleh hasil rukyat (Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi, 2005: 100).
PP Muhammadiyah menetapkan awal bulan qamariyah dengan hisab wujud al-hilal melalui metode hisab yang akurat. Hilal dianggap wujud bila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan. Walaupun hisab dan rukyat diakui memiliki kedudukan yang sama, metode hisab dipilih karena dianggap lebih mendekati kebenaran dan lebih praktis. Muhammadiyah sebenarnya pernah menggunakan metode hisab ijtima’ qabla al-ghurub (ijtimak sebelum maghrib) dan hisab imkan al-ru’yah (hilal yang mungkin dilihat, tidak sekadar wujud) dalam memaknai hilal. Tetapi karena kriteria imkan al-ru’yah yang memberikan kepastian belum ditentukan, dan kesepakatan yang ada sering tidak diikuti, maka Muhammadiyah kembali ke hisab wujud al-hilal. Prinsip wilayat al-hukmi juga digunakan, yaitu bila hilal di sebagian Indonesia telah wujud, maka seluruh Indonesia dianggap telah masuk bulan baru (Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi, 2005: h. 100-101).
Upaya untuk mencari titik temu pun ditawarkan dalam rekomendasi Jakarta tahun 2017 yang mengungkapkan usulan-usulan argumentatif. Data analisis hisab180 tahun saat matahari terbenam di Banda Aceh dan Pelabuhan Ratu juga membuktikan bahwa elongasi 6,4 derajat juga menjadi prasyarat agar saat maghrib bulan sudah berada di atas ufuk. Pada grafik terlihat bahwa pada elongasi 6,4 derajat, posisi bulan semuanya positif, sedangkan bila elongasi kurang dari 6,4 derajat bulan masih berada di bawah ufuk atau ketinggiannya negatif. Dari data rukyat global, juga diketahui bahwa tidak ada kesaksian hilal yang dipercaya secara astronomis yang beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat. Karena pada saat matahari terbenam tinggi matahari-50’, maka beda tinggi bulan-matahari 4 derajat identik dengan tinggi bulan (4o-50’ =) 3o10’, dibulatkan menjadi 3 derajat (Rekomendasi Jakarta 2017).
Pola pemikiran hisab dan rukyat telah sedemikian kokoh dengan dukungan dalil-dalil fiqh yang memperkuatnya. Problematikanya adalah ketika penganut metode rukyat sulit untuk menerima hisab sebagai penggantinya. Selanjutnya penganut metode hisab juga sulit menerima rukyat sebagai penentu, karena hisab dianggap telah mencukupi dan lebih praktis. Namun realitasnya, Muhammadiyah dan Persis berganti-ganti kriteria menunjukkan bahwa iijtihad terus berjalan untuk memaknai hilal. Sementara itu, NU pun telah berijtihad dalam memaknai hilal yang sesungguhnya dengan mengizinkan hisab mengontrol hasil rukyat yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Ini peluang titik temu antara metode hisab dan metode rukyat, yaitu mencari kriteria baru yang berlaku bagi hisab maupun rukyat dalam memaknai hilal yang sesuai dengan syari’at dan prinsip-prinsip ilmiah astronomis. Tidak ada satu pun dalil dalam al-Qur’an maupun hadis yang secara tegas dapat diambil sebagai kriteria kuantitatif, yakni tidak ada isyarat langsung seperti waktu-waktu salat yang relatif mudah diinterpretasikan secara kuantitatif astronomis. Menurut Thomas Djamaluddin, satu-satunya cara adalah menggunakan ijtihad ilmiah astronomis (Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi, 2005: 101-102).
Secara astronomis, pengertian ru’yat al-hilal bi al-fi’l, bi al-‘ain, bi al-‘ilm, atau bi al-qalb, sama saja, yaitu merujuk pada kriteria visibilitas hilal. Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data ru’yat al-hilal dan dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat ru’yat al-hilal, berupa kriteria hisab rukyat. Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bi al-fi’l/bi al-‘ain (secara fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek tentang terang bukan hilal. Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan ru’yat bi al-‘ilm/bi al-qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan masuknya awal bulan (Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi, 2005: 102).
Beranjak dari permasalahan ini, perlu ada perubahan paradigma: dari perdebatan dalil metode yang paling sahih dan paling baik dengan upaya saling menghargai menjadi pencarian kriteria bersama untuk metode yang berbeda dengan upaya saling mengisi. Hisab dan rukyat adalah dua hal yang sangat penting dalam pelaksanaan ibadah yang diajarkan Islam berkaitan dengan hasil penggunaan pemikiran matematis dan teori probabilitas yang didukung oleh akurasi data dan sikap umat Islam dalam penentuan saat pelaksanaan ibadah. Rukyat yang dilaksanakan dengan pedoman dan data ilmiah berfungsi menguji kebenaran hisab dan berguna untuk melakukan koreksi. Kemampuan memadukan sistem hisab dan rukyat dapat menembus benteng ketegangan dan kekakuan pandangan antara para ahli hisab di satu pihak, dan para ahli rukyat di lain pihak. (Abdul Jalil/bas)