PENGAJARAN READING (Membaca)

25 Jun 2012
PENGAJARAN READING (Membaca)
PENGAJARAN READING (Membaca) (Melalui Pendekatan Konstruktivisme; sebagai sebuah alternatif)   Some features of the communicative approach, such as the use of authenticlearning materials, the emphasis on the significance (meaning) rather than form(form) language, and the use of interaction in the learning process of students,are still relevant to the purpose of mastering English as a tool to communicate.However, in the world of teaching in general has developed several alternativeapproaches, which one of them is the constructivist approach. In this article, the author will introduce a model for the application of constructivist approaches inteaching English as a foreign language, especially for the teaching of reading.

Kata kunci: Pendekatan Konstruktivis, Reading, TEFL

A. Pendahuluan

Membaca pada hakikatnya merupakan proses membangun makna dari pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol tulisan. Dalam proses tersebut, pembaca mengintegrasikan atau mengaitkan antara informasi, pesan dalam tulisan dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki (skemata) pembaca. Dalam proses membaca, pembaca menggunakan berbagai ketrampilan meliputi ketrampilan fisik dan mental.

Aspek konstruktif dalam proses membaca, mencakup kegiatan menggunakan kesan sensori visual dan hasil interpretasi bersama-sama dengan latar belakang pengalaman untuk membangun makna. Membangun makna dari bacaan merupakan proses aktif dalam membaca. Pembaca tidak hanya menyerap makna dengan mengambil dari kata-kata yang dilihat dengan mata, tetapi mereka juga harus berinteraksi dengan teks melalui informasi yang ada dalam latar belakang pengetahuan yang dimiliki pembaca.

B. Pembahasan

Pengertian Pendekatan Konstruktivisme

Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi “constructivism may be considered an epistemology (a philosophical framework or theory of learning) which argues humans construct meaning from current knowledge structures”

Dikatakan bahwa orang membangun pengetahuan dan pemahaman mereka tentang dunia dengan mengalami sesuatu dan merefleksikan sesuatu itu dengan pengalaman yang diperoleh sendiri dalam kehidupan sebelumnya. Artinya, ketika kita menghadapi sesuatu yang baru, hendaknya sesuatu yang baru itu dipadukan dengan ide dan pengalaman riil yang diperoleh di masa sebelumnya.

Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan pengertian sendiri (Bettencourt, dalam Suparno, 1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.

Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar - mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek - objek dan peristiwa - peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu.

Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.

Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Ini mengingatkan kepada teori perkembangan dari tokoh psikologi kognitif yang juga merupakan salah satu dasar dari konstruktivisme., Teori Konstruktivisme dikembangkan berdasarkan gagasan Jean Piaget dan Lev Vigotsky, kedua ahli tersebut mengemukakan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsep yang telah difahami sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Piaget (1954) mengatakan bahwa anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-objek di lingkungan. Merujuk pendapat Piaget ini, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya.

Konstruktivisme memandang pengajar sebagai mitra para siswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.

Pendekatan konstruktivisme merupakan salah satu alternatif pendekatan dalam pembelajaran membaca. Pendekatan ini menekankan peranan pembelajar secara aktif dan kreatif. Melalui proses aktif dan kreatif inilah diharapkan pembelajar memperoleh prestasi hasil belajar yang baik sesuai dengan harapan yang telah ditetapkan. Sejalan dengan tujuan pembelajaran kurikulum bahwa pembelajaran membaca agar siswa memiliki kegemaran dan keterampilan membaca serta meningkatkan pengetahuan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Ciri dan Prinsip - prinsip Pendekatan Konstruktivisme

Proses belajar dan mengajar yang menggunakan pendekatan konstruktivis memiliki ciri- ciri (Carr dkk., 1998: 8-9) sebagai berikut:

(1) murid-murid lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses integrasi pengetahuan yang baru dengan pengalaman pengetahuan mereka yang lama;

(2) setiap pandangan yang berbeda akan dihargai dan sekaligus diperlukan; murid-murid didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi,

(3) proses pembelajaran harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan murid untuk mengingat pelajaran lebih lama;

(4) kontrol kecepatan dan fokus pelajaran ada pada murid; cara ini akan lebih memberdayakan murid;

(5) pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dari konteks dunia nyata.

Selanjutnya ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran bahasa.

a. Ditinjau dari segi waktu, belajar merupakan pendewasaan individu, dalam rangka merefleksikan segala kebutuhan yang diperlukan, baik oleh pendidik maupun oleh siswa.

b. Fokus utama proses pembelajaran adalah adanya suatu pemahaman dan kinerja penampilan yang diharapkan dari siswa.

c. Belajar merupakan suatu proses sosial yang bisa berbentuk dorongan untuk bekerja sama, menggunakan ketrampilan berbahasa, melibatkan siswa dalam suasana alam yang sebenarnya, mendorong siswa untuk melakukan dialog dan komunikasi dengan guru dan semua siswa.

d. Belajar bahasa dalam keterkaitannya dengan masalah-masalah lain. Artinya, belajar bahasa memiliki keterkaitan dengan segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan hidup.

Peran Guru dalam Proses Pembelajaran

Dari prinsip-prinsip di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan pembelajaran merupakan proses yang aktif. Lingkungan belajar perlu dikondisikan agar memiliki situasi yang mampu membuat siswa dapat menciptakan pengetahuan melalui aktivitasnya sendiri, baik fisik maupun mental.

Selanjutnya, dalam proses pembelajaran guru harus berperan sebagai;

a. Fasilitator, guru harus merencanakan dan mengorganisasikan proses pembelajaran dengan baik.

b. Pembimbing (guide), guru melakukan bimbingan dan penyuluhan, memberikan arahan-arahan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran.

c. Berpikir terbuka (open minded), guru diharapkan dapat mengakomodasikan segala cara untuk mencapai efektifitas pembelajaran.

d. Pendukung (supporter), guru diharapkan mampu memberikan saran, tantangan kreatifitas, dan berpikir bebas.

e. Mengakui cara belajar individual, guru harus selalu mampu memperhatikan segala kemungkinan - kemungkinan adanya kekuatan, keperluan, dan perasaan setiap siswa (Arbainsyah: 70-71).

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

1. Discovery Learning,
Dalam model ini, siswa didorong untuk belajar sendiri, belajar aktif melalui konsep konsep, prinsip-prinsip, dan guru sebagai motivatornya.

Pertama, guru mengidentifikasi kurikulum. Selanjutnya memandu pertanyaan, menyuguhkan teka-teki, dan menguraikan berbagai permasalahan.

Kedua, pertanyaan yang fokus harus dipilih untuk memandu siswa ke arah pemahaman yang bermakna. Siswa lalu memformulasikan jawaban sementara (hipotesis).

Ketiga, mengumpulkan data dari berbagai sumber yang relevan, dan menguji hipotesis.

Keempat, siswa membentuk konsep dan prinsip.

Kelima, guru memandu proses berfikir dan diskusi siswa, untuk mengambil keputusan.

Keenam, merefleksikan pada masalah nyata dan mengolah pemikiran guna menyelesaikan masalah.

 

Proses ini mengajarkan siswa untuk memahami isi dan proses dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, siswa belajar menyelesaikan masalah, mengevaluasi solusi, dan berpikir logis.

2. Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam model ini, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang bermakna untuk mereka. Persoalan sesungguhnya dari pembelajaran berbasis masalah adalah menyangkut masalah nyata, aksi siswa, dan kolaborasi diantara mereka untuk menyelesaikan masalah.

Pertama, guru memotivasi diri siswa, dan mengarahkannya kepada permasalahan.

Kedua, guru membantu siswa dengan memberi petunjuk tentang literatur yang terkait masalah, dan mengorganisirnya untuk belajar dengan membuat kelompok kerja.

Ketiga, guru menyemangati siswa untuk mencari lebih banyak literatur, melakukan percobaan, membuat penjelasan untuk menemukan solusi. Setelah itu, secara mandiri, kelompok kerja siswa melakukan penyelidikan.

Keempat, kelompok kerja siswa mempresentasikan hasil temuannya, baik itu berupa laporan, video, model, dan dibantu guru dalam mendiskusikannya.

Kelima, kelompok kerja siswa menganalisis, dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Pada bagian ini pula, guru membantu siswa dalam merefleksikannya.

Pada model ini, guru dan siswa bersama-sama dalam proses, sesuai dengan porsinya. Mereka bersama - sama untuk mengkaji, membaca, menulis, meneliti, berbicara, guna menuju pada penyelesaian masalah selayaknya dalam kehidupan yang nyata.

Pengertian dan Hakikat Membaca

Banyak definisi tentang membaca yang dikemukakan oleh para ahli. Goodman (1996:2-3) menyatakan bahwa membaca merupakan suatu proses dinamis untuk merekonstruksi suatu pesan yang secara grafis dikodekan oleh penulis. Di dalam proses ini, penulis melakukan pengkodean linguistik yang kemudian diuraikan oleh pembaca untuk mendapatkan pemahaman atau makna. Penulis mengkodekan pikiran ke dalam bahasa, pembaca menafsirkan kode tersebut menjadi pikiran dan makna. Dengan demikian dalam membaca terjadi interaksi antara bahasa dan pikiran.

Membaca merupakan kegiatan mengkonstruk makna. Melalui membaca, pembaca merekonstruksi pesan yang disampaikan penulis dalam teks. Berkenaan dengan itu, Rosenblatt (dalam Tompkins, 1991:267) berpendapat bahwa membaca merupakan proses transaksional. Proses membaca meliputi sejumlah langkah selama pembaca mengkonstruk makna melalui interaksinya dengan teks atau bahan bacaan. Makna dihasilkan melalui proses transaksional ini.

Kegiatan membaca merupakan aktivitas berbahasa yang bersifat reseptif kedua setelah menyimak (listening). Hubungan antara penutur (penulis) dengan penerima (pembaca) bersifat tidak langsung. Berbagai informasi entah itu berita, cerita atau ilmu pengetahuan dan lain-lain sangat efektif diumumkan melalui sarana tulisan, baik dalam bentuk surat kabar, majalah, surat, selebaran, buku-buku cerita, buku pelajaran, literatur dan sebagainya. Dengan demikian aktivitas membaca tentang berbagai sumber informasi tersebut akan sangat membuka dan memperluas dunia dan horizon seseorang.

Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Dengan Pendekatan Konstruktivisme

Pembelajaran membaca dengan pendekatan konstruktivisme dapat diaktualisasikan antara lain dalam kegiatan sebagai berikut;

Dari matrik di atas dapat dilihat tahap-tahapnya;

1. Tahap Pengamatan

Pengamatan terhadap tindakan pem-belajaran membaca pemahaman dilakukan bersama pelaksanaan tindakan. Hal ini dilaksanakan secara intensif, obyektif, dan sistematis. Dalam tahap ini guru mengenal, merekam, dan mendokumentasikan semua indikator dari proses hasil perubahan yang terjadi baik dari tindakan yang terencana maupun dampak intervensi dalam pembelajaran.

2. Tahap Refleksi

Refleksi diadakan setelah siklus tersebut berakhir. Masalah yang didiskusikan menyangkut kegiatan menganalisis tindakan yang baru dilakukan, mengulas dan menjelaskan perbedaan rencana dan pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan, dan melakukan intervensi, pemaknaan, penyimpulan data yang diperoleh. Hasil refleksi ini dimanfaatkan sebagai masukan pada tindakan selanjutnya.

Tidak ada satupun teori tunggal konstruktivisme, begitu pula tidak ada satu-satunya model pembelajaran sebagai penerapan konstruktivisme. Walaupun demikian banyak dari kaum konstruktivis, merekomendasikan kepada pendidik bahwa:

1. Pembelajaran melekat dalam lingkungan belajar yang kompleks, realistis, dan relevan.
2. Menyediakan negosiasi sosial, dan tanggungjawab bersama sebagai bagian dari

pembelajaran.
3. Mendukung pandangan beragam dan menggunakan representasi yang juga beragam terhadap

isi yang dipelajari.
4. Meningkatkan kesadaran diri dan pengertian bahwa pengetahuan itu dibangun, dan
5. Mendorong kesadaran dalam pembelajaran.

Semua tahapan ini dapat dikondisikan oleh Guru Bahasa Inggris baik untuk tingkat M Ts maupun MA. Membaca (Reading) merupakan aspek ketrampilan berbahasa, di samping ketrampilan bahasa lainnya, yang harus terus ditingkatkan pencapaian kemampuannya. Dengan penerapan yang berulang - ulang maka peningkatan kemampuan membaca (reading) para guru akan tercapai. Lebih lanjut, tahapan ini dapat diterapkan di kelas sekolah masing - masing sehingga kemampuan membaca para siswa pun dapat ditingkatkan.

 

C. Kesimpulan

 

Untuk belajar, anak mesti aktif. Untuk belajar membaca, anak harus membaca, mengatakan tentang apa yang mereka baca, atau menyatakan tentang ide yang ada dalam buku. Kegiatan mental dalam membangun pengetahuan baru adalah hasil dari kegiatan fisik (dalam hal ini, membaca adalah kegiatan fisik). Anak akan belajar ketika mereka mempunyai pengalaman dalam membangkitkan skemata yang melibatkan mental.

Anak memperoleh bahasa secara alamiah melalui interaksi dengan orang dewasa dan anak lain. Supaya siswa menjadi pembaca yang lancar seharusnya guru atau orang dewasa menyediakan materi atau bahan-bahan bacaan, menyediakan waktunya untuk bertanya tentang materi bacaan pada anak, dan menjadi model membaca bagi anak. Proses membaca terjadi apabila terjalin interaksi antara pembaca dengan teks bacaan. Dalam membaca terjadi transaksi antara aktivitas jiwa pembaca dengan teks bacaan. Strategi yang diterapkan oleh guru akan sangat membantu peningkatan kemampuan siswa.

 

DAFTAR RUJUKAN

Arbainsyah, Penerapan Pendekatan Konstruktivisme untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Interpretatif Siswa, Telabang: Jurnal Kependidikan Volume I, Nomor I, Januari-Juni, 2008

Baradja, Muhammad Fuad. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa, Malang: FKIP.

Bernard, E. S. 2005. Kompetensi Membaca, Yogyakarta: Balitbang LP3 UMY

Brooks, J.G. & Brooks, M.G. 1999. In Search of Understanding the Case for Constructivist Classrooms. Alexandria, Va.: ASCD.

Carr, A.A., Jonassen, D.H., Litzinger, M.E. & Marra, R.M. 1998. Good Ideas to Foment Educational Revolution: The Role of Systemic Change in Advancing Situated Learning, Constructivist, and Feminist Pedagogy. Educational Technology, 38 (1): 5-15.

Cox, Carole & James Zarrillo. 1999. Teaching Reading with Children’s Literature, New York: Mac Millan Publishing Company

Fachrurrazy. 1993. Teaching English Language Skills and Components: A Handbook for TEFL Course. Malang: English Department FPBS IKIP Malang.

Fachrurrazy. JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 1, APRIL 2002: 1-6

Flood, J. & Lapp, D. 1989. Reading Comprehension Instruction: Research on Teaching Specific Aspects of the English Language Arts Curriculum.

Fosnot, C. 1996. “Constructivism: A Psychologycal Theory of Learning”.Dalam C. Fosnot (Editor): Constructivism: Theory, Perspectives, and Practice. New York: Teachers College

Jonassen, D.H. & Rohrer-Murphy, L. 1999. Activity Theory as a Framework for Designing Constructivist Learning Environments. Educational Technology, Research and Develop-ment, 47 (1): 61-79.

Novak, J.D., & B. Gowin. 1984. Learning How to Learn. Cambridge: Cambridge University Press

Nunan, D. 1991. Language Teaching Methodology: A Textbook for Teachers. New York: Prentice Hall.

Nurgiantora, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, Yogyakarta: BPFE.

Piaget, Jean (1954). The Construction of Reality in the Child. New York: Ballantine Books.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruk tivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Wikipedia (2008)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI