Penggerak Moderasi Beragama Tempati Posisi Strategis dalam Layanan Publik
Bandung (Balitbang Diklat)---Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Prof. Suyitno mengatakan penggerak moderasi beragama menempati posisi strategis karena terlibat langsung dengan masyarakat, baik para penyuluh agama maupun guru agama.
“Para guru harus bergerak berjamaah dalam penguatan karakter. Sebagaimana pengalaman negara-negara maju, misalnya, Finlandia yang terkenal dengan budaya disiplin. Oleh karena itu, MB merupakan karakter penting bagi anak bangsa agar memiliki landasan bagi cara pandang yang lebih moderat dalam membaca kebhinnekaan di Indonesia,” ujarnya.
Kaban mengatakan hal tersebut saat memberikan arahan di depan 90 orang peserta pelatihan Penguatan Penggerak Moderasi Beragama (MB) di Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung, Jumat (5/4/2024).
"Hal serupa juga terlihat di Jepang. Mereka di sana sangat tertib dan menjunjung tinggi etika dan budaya antri. Melalui insersi MB dalam pembelajaran di kelas, maka akan menjadi modal bersama menuju terwujudnya nilai-nilai karakter bangsa. Tentu ini sejalan dengan semangat Implementasi Kurikulum Merdeka yang bercirikan dengan pelajar profil Pancasila, dan di lingkungan Kementerian Agama plus nilai rahmatan lil 'alamin,” sambung Kaban.
Kaban mengingatkan bahwa nilai-nilai tersebut sejatinya mungkin dapat terimplementasikan dengan lebih baik ketika ada dukungan literasi yang baik. Jika selama ini Indonesia dalam peringkat PISA tahun 2022 masih menempatkan urutan yang belum menggembirakan menempati urutan 63 dari 81 negara, salah satunya karena miskin keteladanan. Dengan demikian, nyata bahwa guru dituntut untuk mampu menjadi figur bagi generasi anak didik.
Namun demikian, kata Kaban, tampaknya proses insersi nilai-nilai karakter ini terdisrupsi oleh pola-pola administratif yang keliru. Sehingga guru di beberapa tempat diduga lebih sibuk dengan urusan penyelesaian bahan ajar daripada mewujudkan aspek-aspek yang lebih elementer. Dengan demikian, penting untuk melakukan redefinisi tentang kurikulum, yang sejatinya adalah guru itu sendiri.
Menurut Kaban, wajar jika China (misalnya) gurunya yang kreatif dan berkarakter inovatif dewasa ini secara terukur mengajak para anak didiknya untuk bergerak sebelum belajar. Dengan ini membangkitkan semangat baru bagi anak-anak untuk siap belajar. Mereka yang siap belajar pada gilirannya akan menjadi SDM yang berdaya saing.
Persoalan ini, lanjut Kaban Suyitno, menjadi tantangan bersama. Ia menyinggung arah baru reformasi birokrasi di Kementerian Agama. Kantor Urusan Agama yang diproyeksikan menjadi instansi untuk melayani semua agama merupakan bagian dari bagaimana MB menjadi budaya dan ciri karakter bangsa Indonesia.
“Para Penyuluh Agama yang menjadi penggerak moderasi beragama harus mampu menjelaskan hal ini kepada masyarakat. Saat ini berkembang isu bahwa KUA mulai digerus dengan gerakan anti Islam. Hal tersebut keliru,” tegas Kaban.
"Harus dipahami, di kantor itu hanya ada ASN. Tidak ada ustaz, rabi, pendeta atau romo. Apa pun agamanya menjadi kewajiban negara untuk melayani mereka, termasuk layanan keagamaan. Secara khusus hal ini memang menjadi fungsi Kementerian Agama,” imbuh Kaban.
Kaban meyakinkan bahwa KUA nanti pada dasarnya menjadi bentuk layanan pemerintah kepada masyarakat, salah satunya dalam pencatatan pengesahan peristiwa pernikahan. Dan hal tersebut merupakan aktivitas administratif, bukan wilayah keagamaan an-sich. Tujuannya adalah memberikan perlindungan pada anak-anak generasi penerus dan juga para perempuan sebagai istri agar mereka dapat diakui statusnya oleh negara. “Semua ini akan menjadi lebih dapat dipahami bersama jika dan hanya jika nilai-nilai moderasi beragama telah menjadi karakter bersama,” pungkasnya. (Firman/barjah/bas)