PENGINTEGRASIAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI PADA PROSES PEMBELAJARAN DI BALAI DIKLAT KEAGAMAAN
Oleh Zainul Arief*
Abstract
Living in the information era the 21st century is a fact. Information and communication technology (ICT) has become an inseparable part of the life of today’s global era. To encourage the preparedness of the Ministry of eligious Affairs Staff HR, both as technical and administrative workers in this global era of education and training needed to lead to improvements in attitude and spirit of dedication to the interest-oriented society, nation, state and homeland, increasing technical competence, managerial and leadership as well as increased efficiency, effectiveness and quality of implementation of task permomed with the spirit of cooperation and dedication. Integrating ICT into the learning process needs to be done to 1) develop higher level thinking skills training participants, 2) develop skills in the field of information and communication technology (ICT literacy) itself, and 3) to improve the effectiveness, efficiency and attractiveness of learning processes. In practice, not all teachers/senior lecturers understand what is meant by integrating ICT into the learning process and work. Badan Litbang dan Diklat in 2009 to develop a new paradigm in education and training increase the intensity, develop new new training models, expanding business parners, and expand education and training goals. New paradigm is referred Long Distance Training.
This paper describes what, why and how the integration of ICT in the learning process carried out on the Religious Training Center, both face to face learning is physically in the classroom (sincronous) or indirect physical face to face (asincronous) in long-distance training.
Key Word: Diklat, TIK, DJJ
I. PENDAHULUAN
Pendidikan dan Pelatihan jabatan PNS yang selanjutnya disebut Diklat adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Pegawai Negeri Sipil (PP No.101/2000, Bab I pasal 1). Unit yang menangani tugas dan tanggung jawab diklat di lingkungan Kementerian Agama disebut Pusdiklat (Pusat Pendidikan dan Pelatihan) dan Balai Diklat Keagamaan.
Dunia telah berubah. “Dewasa ini kita berada dalam kondisi yang kurang menggembirakan, dinamika perkembangan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan dirasakan semakin cepat dan menyisakan berbagai persoalan yang kompleks”, demikian disampaikan Menteri Agama pada saat peresmian Gedung Pusdiklat. Persoalan yang dihadapi adalah tantangan dan persaingan yang semakin tajam serta derasnya arus informasi, tidak ada sekat pemisah belahan dunia. Dengan teknologi informasi, apa yang terjadi di belahan bumi barat dengan serta merta pada waktu bersamaan dapat diketahui dan diikuti peristiwa tersebut di belahan bumi bagian timur. Konsekuensinya sistem sosial dan nilai-nilai budaya suatu bangsa dengan cepat akan berpengaruh merambah bangsa lain tidak terkecuali bangsa Indonesia. Hal ini merupakan tantangan yang harus diantisipasi menyaring hal-hal yang positif dan bermakna untuk diambil manfaatnya dan menghindarkan nilai-nilai negatif yang merusak akhlaq maupun kepribadian dengan memperkokoh jati diri bangsa dan secara individu dengan memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Dalam era informasi, kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya pertukaran informasi yang cepat tanpa terhambat oleh batas ruang dan waktu (Dryden & Voss, 1999). Berbeda dengan era agraris dan industri, kemajuan suatu bangsa dalam era informasi/ global sangat tergantung pada kemampuan masyarakatnya dalam memanfaatkan pengetahuan untuk meningkatkan produktifitas. Karakteristik masyarakat seperti ini dikenal dengan istilah masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Orang yang menguasai pengetahuan akan mampu bersaing dalam era global. Oleh karena itu, setiap negara berlomba untuk mengintegrasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Comunication Technologi (ICT) dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk membangun dan membudayakan masyarakat berbasis pengetahuan agar dapat bersaing dalam era global. Apa akibatnya? Negara yang telah maju dan mampu mengintegrasikan teknologi tersebut secara sistemik/ holistik, melompat jauh lebih maju. Beberapa contoh yang telah maju dan jauh meninggalkan diantaranya adalah Jepang, Cina, Korea Selatan dan Singapura. Sementara itu, negara-negara berkembang lain yang belum mampu mengintegrasikan teknologi tersebut secara komprehensif semakin jauh tertinggal. Kondisi seperti ini dinamakan kesenjangan digital (digital divide). Indonesia, perlu segera mengurangi kesenjangan digital ini dengan mengintegrasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara sistemik untuk semua sektor pemerintahan seperti perdagangan/ bisnis, administrasi publik, pertahanan dan keamanan, kesehatan dan tentunya juga pendidikan. Dalam artikel ini, penulis ingin mengupas masalah pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran di Balai Diklat Keagamaan, baik pembelajaran tatap muka secara fisik di dalam kelas (syncronus) maupun tidak langsung bertatap muka secara fisik (asyncronus) dalam diklat jarak jauh. Sementara itu, yang dimaksud dengan teknologi informasi dan komunikasi di sini meliputi teknologi cetak maupun non-cetak (seperti teknologi audio, audio-visual, multimedia, internet dan pembelajaran berbasis web).
Permasalahan yang penulis ingin coba bahas dalam artikel ini adalah
1) Mengapa TIK perlu diintegrasikan pada Pendidikan dan Pelatihan?
2) Bagaimanakah pengintegrasian TIK pada proses pembelajaran dalam Diklat Reguler dan Diklat Jarak Jauh (DJJ)
3) Hambatan pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran di Balai Diklat Keagamaan
II. PENGINTEGRASIAN TIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN
A. Urgensi
Jawabannya sangat berkaitan erat dengan mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia untuk siap memasuki era masyarakat berbasis pengetahuan. Tahun 2020 Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas (AFTA). Pada masa itu, masyarakat Indonesia harus memiliki ICT literacy yang mumpuni dan kemampuan menggunakannya untuk meningkatkan produktifitas. Pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan ICT literacy, membangun karakteristik masyarakat berbasis pengetahuan pada diri aparatur negara, guru dan siswa, disamping dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran itu sendiri.
UNESCO (2002) menyatakan bahwa pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran memiliki tiga tujuan utama: 1) untuk membangun “knowledge-based society habits” seperti kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mencarii dan mengelola informasi, mengubahnya menjadi pengetahuan baru dan mengkomunikasikannya kepada orang lain; 2) untuk mengembangkan keterampilan menggunakan TIK (ICT literacy); dan 3) untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran.
Mengapa demikian? Karena secara teoretis TIK memainkan peran yang sangat luar biasa untuk mendukung terjadinya proses belajar yang:
Active; memungkinkan peserta diklat dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna. Penggunaan TIK seperti pembuatan presentasi dengan powerpoint, pelaporan dengan MsWord, browsing internet akan membuat peserta lebih aktif. Penggunaan TV-edukasi, radio akan membuat pembelajaran lebih menarik sehingga peserta akan lebih antusias dalam belajar.
Constructive; memungkinkan peserta diklat dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keingintahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya. Menurut teori belajar konstruktivis, satu prisip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Dengan penggunaan bermacam-macam TIK, masing-masing peserta diklat dapat mengeksplore pengetahuannya sesuai kemampuan dalam penguasaan TIK.
Collaborative; memungkinkan peserta diklat dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya. Peserta dengan keahlian masing-masing dalam bidang TIK akan memungkinkan terjadinya kolaborasi dan sharing kemampuannya dengan peserta yang lain.
Intentional; memungkinkan peserta diklat dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan penggunaan beragam TIK, peserta akan lebih mudah dalam memahami materi diklat dan mencapai tujuan pembelajaran.
Conversational; memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana peserta memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun di luar kediklatan, misalnya memakai mobile phone, chatting, dan webcham.
Contextualized; memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan “problem-based atau case-based learning”. Pada abad digital ini, pembelajaran dengan mengintegrasikan TIK dalam pembelajaran berarti membuat pembelajaran seperti kehidupan kekinian.
Reflective; memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton et al (2001)).
Dengan kata lain, TIK memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000). TIK memungkinkan pembelajaran disampaikan secara interaktif dan simulatif sehingga memungkinkan peserta diklat belajar secara aktif. TIK juga memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung meningkatkan ICT literacy” (Fryer, 2001).
Dari rencana pembelajaran di atas terlihat jelas bahwa melalui mata pelajaran atau mata diklat, secara tidak langsung ICT literacy peserta diklat berkembang. Disamping itu, dengan metode pembelajaran yang lebih bersifat konstruktif (contructivisme) secara tidak langsung keterampilan berpikir tingkat tinggi (seperti berpikir kritis, problem solving, dll.) dan keterampilan berkomunikasi dengan TIK pada diri peserta juga meningkat. Dengan kata lain, pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran dapat membangun karakteristik masyarakat berbasis pengetahuan pada diri peserta diklat. Jika pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran dilakukan sejak saat ini, maka peserta diklat, baik tenaga teknis maupun administrasi, akan siap menjadi bagian dari masyarakat global pada masa diberlakukannya AFTA tahun 2020 mendatang. Penulis merasa bahwa pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran merupakan masalah yang urgen untuk mempersiapkan sumber daya manusia berbasis pengetahuan (knowledge-based human resources) yang sangat diperlukan di abad ke-21 ini.
Tidaklah heran kalau seorang futurolog, Eric Ashby (1972) seperti dikutip oleh Miarso (2004) menyatakan bahwa perkembangan TIK yang semakin mutakhir saat ini telah membawa revolusi pendidikan yang keempat. Revolusi pertama terjadi ketika orang menyerahkan pendidikan anaknya kepada seorang guru. Revolusi kedua terjadi ketika digunakannya tulisan untuk keperluan pembelajaran. Revolusi ketiga terjadi seiring dengan ditemukannya mesin cetak sehingga materi pembelajaran dapat disajikan melalui media cetak. Revolusi keempat terjadi ketika digunakannya perangkat elektronik seperti radio, televisi, komputer dan internet untuk pemerataan dan perluasan pendidikan.
B. Pengintegrasian TIK Pada Diklat Reguler
Mari kita bandingkan dua kalimat berikut! “Learning to Use ICT vs Using ICT to Learning”. Secara sederhana, mengintegrasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ke dalam proses pembelajaran sama maknanya dengan menggunakan TIK untuk belajar (using ICT to learn) sebagai lawan dari belajar menggunakan TIK (learning to use ICT). Belajar menggunakan TIK mengandung makna bahwa TIK masih dijadikan sebagai obyek belajar atau mata pelajaran. Sebenarnya, UNESCO mengklasifikasikan tahap penggunaan TIK dalam pembelajaran kedalam empat tahap sebagai berikut:
Tahap emerging, baru menyadari akan pentingnya TIK untuk pembelajaran dan belum berupaya untuk menerapkannya. Tahap applying, satu langkah lebih maju dimana TIK telah dijadikan sebagai obyek untuk dipelajari (mata pelajaran). Pada tahap integrating, TIK telah diintegrasikan ke dalam kurikulum (pembelajaran). Tahap transforming merupakan tahap yang paling ideal dimana TIK telah menjadi katalis bagi perubahan/ evolusi pendidikan. TIK diaplikasikan secara penuh baik untuk proses pembelajaran (instructional purpose) maupun untuk administrasi (administrational purpose).
Apa yang terjadi dalam praktek pembelajaran di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, TIK masih dijadikan sebagai obyek atau mata pelajaran. Sebagian besar, TIK masih dijadikan sebagai obyek belajar atau mata pelajaran di sekolah-sekolah maupun diklat-diklat pemerintah, misalnya pengenalan MSWord, exel, pembuatan powerpoint, membuat email, cara chatting. Secara ideal, kondisi yang seharusnya terjadi adalah TIK sudah diintegrasikan dalam proses pembelajaran.
Tabel 1: Contoh Rencana Pembelajaran dengan mengintegrasikan TIK ke dalam proses pembelajaran pada Diklat Reguler
Mata Diklat Pembinaan Mental PNS
Topik Pemberdayaan diri
Tujuan Pembelajaran Peserta diharapkan dapat:
· Meningkatkan kinerja dan prestasi kerja
· Mengatasi berbagai masalah fisik dan emosi
Petunjuk Kegiatan dan Penggunaan ICT · Diskusi kelompok “Bagaimana langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan prestasi kerja?
· Presentasi kelompok di depan kelas menggunakan Power Point
· Widyaiswara (WI) memberi penguatan bagaimana cara meningkatkan kinerja dan prestasi kerja melalui “Seven Steps to Peak Performance” dari SEFT
· WI menjelaskan teknik terapi SEFT dalam mengatasi masalah fisik dan emosi.
· Peserta mempraktekkan teknik yang telah dijelaskan
· Peserta diminta untuk membuka situs internet http://www.logos-institute.com
· Diskusi kelas tentang apa yang telah didapatkan dari situs tersebut
· WI meminta kepada peserta untuk melaporkan hasil dari praktek mereka di daerah masing-masing kepada WI melalui email.
Rencana pembelajaran di atas menunjukkan secara jelas bahwa melalui pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran, selain tujuan pembelajaran tercapai ada suatu agenda terselubung (hidden agenda) penting yang dapat dicapai pula, yaitu ICT literacy, seperti peserta diklat dapat melakukan browsing informasi melalui internet, berkomunikasi melalui e-mail, membuat laporan dengan aplikasi pengolah kata (MsWord), atau mempresentasikan sesuatu dengan program Power Point. Inilah yang dimaksud dengan mengintegrasikan TIK ke dalam proses pembelajaran.
Fryer (2001) mengatakan bahwa penggunaan TIK dalam pembelajaran bertujuan untuk melatih keterampilan menggunakan TIK dengan cara mengintegrasikannya ke dalam aktifitas pembelajaran, bukan mengajarkan TIK tersebut sebagai mata pelajaran yang terpisah. Jadi, sudah saatnya TIK diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran dan bukan hanya sekedar menjadi mata pelajaran yang terpisah.
C. Pengintegrasian TIK Dalam Diklat Jarak Jauh (DJJ)
Skenario pembelajaran yang mungkin bisa dilaksanakan dalam DJJ adalah:
1. Belajar mandiri secara individu, artinya peserta diklat akan mempelajari bahan belajar kapan saja dan dimana saja sesuai dengan kondisi dan kecepatan belajarnya sendiri. Media pembelajaran apa yang akan peserta diklat gunakan? Dalam hal ini media belajar utamanya adalah modul cetak, dimana mereka bisa mempelajarinya dimana saja dan kapan saja. Kemudian ditunjang dengan media pembelajaran online melalui web, dimana bahan belajar (baik berbasis teks (seperti pdf, doc, ppt, dll) maupun berbasis multimedia (flash animation, streaming video, dll) disimpan dalam web diklat Kemenag sehingga peserta diklat dapat mempelajarinya kapan saja, tapi di tempat tertentu, yaitu di BDK, Madrasah Tsanawiya atau Madrasah Aliyah Induk terdekat sebagai pusat belajar (learning center) atau pusat akses (access point/ warnet).
2. Belajar Mandiri secara Kelompok, artinya peserta diklat secara kelompok akan mempelajari bahan belajar kapan saja dan dimana saja sesuai dengan waktu, tempat dan agenda yang akan mereka pelajari bersama. Namun hal ini kemungkinan sulit dilaksanakan jika peserta yang terjaring dalam DJJ ternyata mempunyai rumah yang sangat berjauhan, mungkin berbeda kabupaten/kota. Sudah tentu belajar mandiri secara kelompok baru dapat dilaksanakan dengan lebih intens jika peserta yang ikut DJJ bertempat tinggal dalam satu wilayah yang berdekatan.
3. Tutorial Terjadwal; pada waktu-waktu tertentu, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya oleh penyelenggara (Balai Diklat Keagamaan), peserta diklat mengikuti tutorial langsung dengan instruktur/Widyaiswara. Menurut scenario yang diusulkan oleh pihak Pustekom, bentuk tutorial utamanya adalah menggunakan tutorial tatap muka. Artinya, peserta diklat bertemu muka langsung dengan WI pada saat tertentu yang lebih bersifat problem solving, atau pemecahan masalah, praktek, dll). Bentuk tutorial kedua yang diusulkan adalah tutorial elektronik.
Alat komunikasi (communication tools) yang dapat digunakan sangat bervariasi. Bisa dipilih dan ditentukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Alat komunikasi tersebut antara lain adalah: (1) secara sinkronous (real time) dapat menggunakan telpon (telpon rumah, HP), konferensi video dua arah (webcham), siaran televisi satu arah (tanya jawab bisa dilakukan via telpon), text-based conference (chatting menggunakan messenger tools seperti Yahoo Messenger, Face Book), dan tutorial elektronik secara asinkronous (tidak real time), dengan cara atau melalui e-mail, milist, dll. Masih menurut pihak Pustekom, pertemuan peserta diklat dengan widyaiswara/BDK minimal dilaksanakan tiga kali dalam masa DJJ. Pertemuan pertama, peserta diklat datang ke BDK untuk pendaftaran, diberi modul, diajari tentang program pembelajaran melalui web, yaitu program Moodle. Jika masih ada peserta yang belum familier dengan chatting, pertemuan melalui webcham, dll, maka perlu juga diajarkan.
Pertemuan kedua dilaksanakan pada paruh setengah massa kediklatan (bulan ketiga), agendanya adalah seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu peserta diklat bertemu muka langsung dengan WI untuk membahas hal yang lebih bersifat problem solving, atau pemecahan masalah, praktek, dll. Sedangkan pertemuan ketiga adalah ujian tulis secara langsung di BDK. Ujian dilaksanakan dua cara, yaitu secara online yang akan dijadwalkan oleh widyaiswara /BDK dan ujian offline bertempat di BDK. Menurut penulis pertemuan tiga kali secara langsung (sinkronous) terasa terlalu memberatkan beban pekerjaan bagi peserta maupun widyaiswara/BDK, demikian juga dengan beban anggaran untuk dana transport peserta diklat. Pertemuan maksimal dua kali secara sinkronous, penulis rasa sudah cukup karena jika ada permasalahan atau peserta menyakan sesuatu menyangkut materi diklat maupun lainnya, bisa melalui forum diskusi yang sudah tersedia di aplikasi LMS (moodle). Pertemuan dua kali dilaksanakan pada awal program dan akhir program saja. Apabila memungkinkan selama masa kediklatan DJJ bisa hanya melaksanakan satu kali pertemuan langsung (sinkronous) atau bahkan tanpa pertemuan langsung. Hal ini tergantung kesiapan peserta maupun BDK. Jika peserta yang terjaring dalam DJJ ternyata mempunyai kompetensi dalam ICT, mereka cukup mendaftar langsung lewat internet, system evaluasi dilakukan dalam bentuk evaluasi mandiri (self-assement).
Pertemuan satu kali secara sinkronous dilakukan hanya pada awal program, dengan memberikan pengarahan dan pengenalan aplikasi LMS serta pemberian modul atau pertemuan sinkronous hanya pada akhir program untuk penutupan program, pemberian sertifikat diklat serta penyelesaian adminitrasi. Jika penyelesaian administrasi bisa dilaksanakan tanpa peserta harus datang langsung ke BDK, maka selama masa DJJ tidak menutup kemungkinan tidak perlu ada pertemuan secara sinkronous. Uang transport/akomodasi, dll untuk peserta bisa melalui rekening, sedangkan tanda-tangan dan sertifikat bisa melalui jasa pos.
4. Sistem Evaluasi; system evaluasi bisa dilakukan dalam bentuk (1) evaluasi mandiri (self-assesment), dimana setiap selesai mempelajari satu modul atau beberapa modul, peserta diklat dapat mengukur hasil belajarnya melalui online self-assessment. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi LMS (moodle), sehingga semua soal evaluasi mandiri tersebut telah dimuat dalam aplikasi tersebut. Dimana evaluasi dilakukan? Evaluasi dapat dilakukan di BDK atau MA Induk, dimana setiap komputer sudah terhubung dengan LAN. Bisa juga evaluasi dilakukan dimana saja sesuai keinginan peserta, misalnya di rumah atau di warnet, yang penting mereka bisa mengakses internet pada saat evaluasi.
Waktu untuk self-assessment tidak harus satu waktu dalam satu hari, tetapi bisa diberi tenggang waktu satu minggu, mengingat kesibukan pekerjaan masing-masing peserta berbeda; (2) evaluasi akhir, yaitu evaluasi untuk menguji kelulusan yang dilakukan secara reguler di lokasi tertentu, yaitu di BDK atau MA Induk jika peserta DJJ semua hanya satu kota atau satu kabupaten tempat MA Induk itu berada. Evaluasi akhir bisa juga dilaksanakan secara online tanpa peserta harus datang di lokasi tertentu.
D. Hambatan dalam Mengintegrasikan TIK Pada Proses pembelajaran
Ada beberapa hambatan yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan pemanfaatan TIK untuk pembelajaran. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya adalah:
1. Penolakan untuk berubah (resistancy to change)
Sejak Tahun 2009 hambatan tersebut sudah mulai berkurang dengan kebijakan Kepala Badan Litbang dan Diklat serta Kapusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan dengan paradigma baru kediklatan-nya, yaitu Diklat Jarak Jauh (DJJ) yang mengharuskan seluruh Balai Diklat Keagamaan untuk menyediakan fisilitas internet, parabola untuk bisa akses TV-edukasi serta infastruktur penunjangnya. Tinggal Kepala Balai Diklat Keagamaan apakah mampu untuk melaksanakan kebijakan tersebut dan menyempurnakan pelaksanaan DJJ tersebut. Tahun 2009 belum semua Balai Diklat Keagamaan bisa melaksanakan DJJ. Mudah-mudahan di tahun 2010 ini semua bisa melaksanakannya. Sebelumnya, penolakan atau keengganan untuk berubah, khususnya dari para pembuat kebijakan merupakan hal yang wajar mengingat TIK masih dapat dikatakan sebagai suatu inovasi (hal baru). Sikap para pengambil kebijakan terhadap TIK sebagian besar masih rendah.
2. Kesiapan SDM
Baik WI maupun tenaga teknis harus bersama-sama meningkatkan ICT literacy-nya. Tenaga teknis berfungsi menyiapkan dan merawat peralatan TIK, sedangkan widyaiswara lebih berfungsi dalam penggunaan TIK dalam pembelajaran, disamping juga ikut menjaga dan merawat peralatan TIK agar selalu siap digunakan.
3. Ketersediaan fasilitas
Hal ini sangat erat hubungannya dengan dana dan kesiapan SDM Balai Diklat Keagamaan. Ketersediaan bahan belajar berbasis aneka sumber (resources-based learning packages). Bahan belajar tersebut terdiri dari bahan cetak, seperti modul, makalah, buku paket dan bahan non cetak, seperti CD/DVD pembelajaran, internet, TV-edukasi. Fasilitas Hot-Spot, Speedy atau Telkomnet Instan di beberapa Diklat belum dikembangkan sampai memasuki area kelas, laboratorium computer, maupun perpustakaan. Hal ini memang sangat disayangkan. Laboratorium on-line, perpustakaan on-line, dan kelas on-line sudah seharusnya dilaksanakan oleh BDK. Kalau Perpustakaan MAN Model Yogyakarta dapat merebut juara pertama perpustakaan tingkat nasional antar sekolah dan madrasah tahun 2007. Bagaimana dengan perpustakaan BDK? tentunya harus lebih bagus daripada madrasah karena BDK adalah tempat pendidikan dan pelatihan bagi seluruh pegawai Kementerian Agama, termasuk pegawai perpustakaan madrasah.
1) Keberlangsungan (sustainability). Agar fasilitas TIK tidak cepat rusak dan selalu siap digunakan, maka perlu adanya tambahan biaya untuk perawatan fasilitas dan berlangganan internet. Hal ini perlu dipikirkan oleh kepala Balai Diklat Keagamaan demi keberlangsungan proses pembelajaran berbasis TIK.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan:
1. Pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran sangat penting karena berkaitan erat dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia untuk siap memasuki era masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Penggunaan TIK dalam pembelajaran bertujuan untuk melatih keterampilan menggunakan TIK dengan cara mengintegrasikannya ke dalam aktifitas pembelajaran, bukan mengajarkan TIK tersebut sebagai mata pelajaran yang terpisah.
2. Pengintegrasian TIK dalam Diklat Reguler dengan cara membuat skenario pembelajaran yang menunjukkan secara jelas bahwa melalui pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran, disamping tujuan pembelajaran tercapai ada suatu agenda terselubung (hidden agenda) penting yang dapat dicapai pula, yaitu ICT Literacy, seperti peserta diklat dapat melakukan browsing informasi melalui internet, berkomunikasi melalui e-mail, membuat laporan dengan aplikasi pengolah kata (MsWord), atau mempresentasikan sesuatu dengan PowerPoint, dan lain-lain. Pengintegrasian TIK dalam Diklat Jarak Jauh (DJJ) dengan cara membuat skenario pembelajaran, yang hampir sama dengan Diklat Reguler, tapi lebih banyak pada komunikasi dan pemberian tugas melalui Learning Managemen System (LMS) dengan program Moodle, chatting, dan teleconference.
v Penulis adalah Widyaiswara pada Balai Diklat Keagamaan Surabaya
DAFTAR PUSTAKA
Atho Mudzhar, sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Dep.Agama pada acara “Pembukaan Sosialisasi Produk Sistem Diklat Tenaga Teknis dan Soft Launching Penyelenggaraan DJJ Tahun 2009 dan penandatanganan kerjasama kediklatan tanggal 16 Februari 2009 di kampus Pusdiklat Ciputat Jakarta.
Ahmad Faiz Zainuddin, Spiritual Emotional Freedom Technique, PT.Arga Publishing, Jakarta, 2008.
A. Machfudz Fathurahman, Diklat Langkah Strategis Mewujudkan Kualitas Aparatur Dep.Agama, Jurnal Diklat Tenaga Teknis Keagamaan Vol.IV.No.1,Nov,2007
Dryden, Gordon; dan Voss, Jeanette. the Learning Revolution: to Change the Way the World Learn. the Learning Web, Torrence, USA, 1999. http://www.thelearningweb.net
Fryer, Wesley A. Strategy for effective Elementary Technology Integration, 2001. http:// www.wtvi.com/teks/integrate/tcea2001/powerpointoutline.pdf
Johnson, Elaine B. Contextual Teaching and Learning. Penerjemah Ibnu setiawan, Bandung: MLC, 2007
NIE, Singapore, General Typology of Teaching Strategies in Integrated Learning System. http://www.microlessons.com
Norton, Priscilla; dan Spargue, Debra. Technology for Teaching, Allyn and Bacon, Boston, USA, 2001
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka, 2007.
Uwes Chaeruman. Pertimbangan-Teknis-PJJ-Depag. 2009. http://fakultasluarkampus.net/learning-condition-theory-robert-gagne/
UNESCO Institute for Information Technologies in Education (2002), “Toward Policies for Integrating ICTs into Education” Hig-Level Seminar for Decision Makers and Policy-Makers, Moscow 2002.
Widayanto, Pentingnya Perpustakaan On-Line pada Madrasah di Era Information Computer Technologi (ICT), Mimbar, Kanwil Depag Jatim, No.262, 1429 H, Juli 2008.
Yusufhadi Miarso. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Prenada Media, Jakarta. 2004