Iduladha dan Jalan Menuju Indonesia Emas

Oleh. Moch. Muhaemin
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Jakarta (BMBPSDM)---Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan Iduladha, hari besar keagamaan yang tak sekadar menjadi ajang pelaksanaan ibadah kurban, tetapi juga momen reflektif atas makna pengorbanan, ketaatan, dan solidaritas sosial. Lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan, Iduladha mengandung nilai-nilai yang bisa menjadi referensi untuk mewujudkan visi besar Indonesia Emas 2045.
Salah satu pesan utama dari Iduladha adalah pengorbanan. Kisah Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putranya, Ismail, demi menjalankan perintah Tuhan, menjadi simbol ketaatan dan keikhlasan. Meskipun, akhirnya Ismail digantikan oleh seekor domba, esensi peristiwa itu terletak pada kesiapan untuk menyerahkan sesuatu yang sangat berharga demi menegakkan nilai yang diyakini.
Dalam konteks kebangsaan, pengorbanan ini bisa dimaknai sebagai kesediaan untuk menomorsatukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Para pemimpin dan masyarakat dituntut untuk menumbuhkan sikap ini, berani menahan diri dari praktik korupsi, menjauhi egoisme, serta mengedepankan kesejahteraan rakyat.
Menuju Indonesia Emas, kita tidak cukup hanya melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual. Kita butuh pribadi-pribadi yang rela berkorban demi masa depan bangsa.
Solidaritas Sosial
Pembagian daging kurban, saat Iduladha menjadi simbol semangat berbagi dan keadilan sosial. Ini bukan sekadar tradisi tahunan, tetapi cerminan dari ajaran Islam yang berpihak pada mereka yang membutuhkan. Sebagai pengingat bahwa kekayaan bukan untuk ditumpuk, melainkan untuk dibagikan sebagai wujud kepedulian.
Nilai solidaritas dalam Iduladha bisa menjadi panduan moral untuk membangkitkan empati dan kepedulian antarsesama. Dalam hal ini, Iduladha tidak hanya memperkuat relasi spiritual antara manusia dan Tuhan, tetapi juga mempererat hubungan sosial antarwarga.
Selain solidaritas, Iduladha juga mengajarkan ketaatan yang tulus, ketaatan yang tumbuh dari keyakinan, keteguhan hati, dan kejujuran moral. Nabi Ibrahim tidak hanya patuh pada perintah Ilahi, tetapi menunjukkan bahwa seorang pemimpin akan menempatkan nilai-nilai spiritual dan moral sebagai dasar dalam setiap tindakan.
Dalam konteks kenegaraan, ketaatan semacam ini dapat dimaknai sebagai loyalitas terhadap konstitusi, integritas dalam menjalankan amanah publik, dan kesetiaan pada nilai-nilai kebangsaan. Indonesia Emas tidak akan tercapai hanya lewat program besar atau kebijakan strategis. Kita membutuhkan pemimpin yang membangun dari hati, menjadikan etika dan nilai sebagai penuntun dalam setiap keputusan.
Menurut Bappenas (2019), untuk mencapai Indonesia Emas 2045, Indonesia harus bertumpu pada empat pilar utama. Pertama, pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, pembangunan ekonomi berkelanjutan. Ketiga, pemerataan pembangunan. Keempat, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan. Keempat pilar ini memerlukan pengorbanan kolektif dari pemimpin yang jujur dan visioner, birokrasi yang bersih, hingga masyarakat yang beretika, produktif, dan peduli.
Indonesia Emas bukan sekadar soal pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi. Ia merupakan proyek budaya dan spiritual bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam Iduladha bisa menjadi pondasi kokoh dalam membangun peradaban yang unggul, adil, dan bermartabat.
Menuju Indonesia Emas
Bappenas (2021) memproyeksikan bahwa pada periode 2030–2040, Indonesia akan menikmati bonus demografi, dengan sekitar 64% penduduk berada dalam usia produktif. Ini adalah peluang emas. Namun, peluang ini hanya bisa dioptimalkan, jika generasi muda dibekali karakter yang berpijak pada nilai spiritual dan moral.
Sayangnya, kita masih menghadapi tantangan serius di sektor pendidikan. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa skor literasi membaca siswa Indonesia turun 12 poin dibandingkan tahun 2018. Indonesia tertinggal 117 poin dari rata-rata global, dan hanya 25,46% siswa yang mencapai standar kompetensi minimum dalam literasi membaca.
Fakta ini menjadi alarm bahwa pembangunan manusia tak bisa hanya berlandaskan pada indikator ekonomi. Pendidikan karakter harus menjadi agenda utama. Sekolah dan lembaga pendidikan perlu menghidupkan kembali kisah-kisah profetik seperti kisah Nabi Ibrahim, bukan semata sebagai pelajaran agama, tetapi sebagai inspirasi pembentukan kepribadian dan integritas.
Kurikulum pendidikan perlu mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dengan pendidikan moral dan sosial, agar lahir generasi yang tak hanya unggul dalam capaian akademik, tapi tangguh dalam etika dan empati. Pendidikan harus menyentuh hati, bukan sekadar mengasah logika.
Perayaan Iduladha tak seharusnya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan makna. Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas, Iduladha bisa menjadi momen refleksi kolektif, sejauh mana kita telah menginternalisasi nilai-nilai pengorbanan, ketaatan, dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Oleh karena itu, semangat Iduladha perlu diwariskan kepada generasi mendatang, bukan sekadar sebagai bagian dari tradisi keagamaan, tetapi sebagai nilai hidup yang membentuk tindakan sehari-hari. Visi Indonesia Emas bukanlah utopia bila dijalani dengan jiwa pengorbanan.
Sebagaimana Nabi Ibrahim meninggalkan jejak keimanan yang membangun peradaban, kita pun dapat mewariskan Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat, jika nilai-nilai Iduladha dihidupkan dalam kerja kebangsaan. Kita membutuhkan lebih banyak sosok seperti Nabi Ibrahim, teguh pada prinsip, rela berkorban, dan setia pada kebenaran.
Saatnya, Iduladha bukan sekadar perayaan tahunan, tetapi sebagai momen pembaruan jiwa dan semangat kebangsaan. Sebab hanya dengan membangun jiwa, kita mampu membangun Indonesia yang benar-benar emas.