PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH: Menimbang Jumlah Hari Sekolah

7 Agt 2017
PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH: Menimbang Jumlah Hari Sekolah

Oleh: Hayadin

Peneliti (madya) pada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan

Balitbang Kemenag RI

e-m@il: hayadinsaja@yahoo.co.id

 

PENDAHULUAN

Program penguatan pendidikan karakter (PPK), full-day school, dan jumlah hari sekolah , menjadi isu yang ramai dibahas publik pada saat sekarang. Isu tersebut terkait dengan keluarnya peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 23 tahun 2017. Dalam konteks jumlah hari sekolah, peraturan tersebut menyatakan agar sekolah pendidikan formal melaksanakan sekolah selama lima hari dalam seminggu, yakni mulai hari Senin sampai dengan hari Jum’at. Ini merubah kebiasaan dan aturan sebelumnya, dimana pada banyak sekolah, melaksanakan hari belajar sebanyak enam hari setiap pekannya. Ketentuan ini berakibat pada penambahan jumlah jam belajar pada setiap hari sekolah dari enam jam menjadi delapan jam. Karena itu, menjadi akrab disebut dengan istilah  sekolah satu hari penuh atau Ful-Day School (FDS).

Dalam konteks penguatan pendidikan karakter, peraturan tersebut secara tersurat (dinyatakan) bertujuan untuk meningkatkan karakter peserta didik. Dengan sistem FDS, maka aktivitas pembelajaran berbasis sekolah menjadi panjang, dan akan mengurangi waktu anak untuk beraktivitas yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran. Argumen naskah akademik peraturan tersebut juga menyatakan bahwa sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pembelajaran dengan sistem FDS, berkarakter lebih baik dan berprestasi lebih unggul.

Pada konteks yang lain, pendidikan karakter juga sudah menjadi program nasional sejak satu dasa warsa terakhir. Pada periode pemerintahan sebelumnya, juga sudah dilakukan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter. Sehingga dapat dikatakan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) merupakan lanjutan dari Gerakan Nasional Pendidikan Karakter yang sudah dimulai sejak tahun 2010. Hal ini sejalan dengan salah satu butir Nawacita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo melalui Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Atas dasar ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) secara bertahap mulai tahun 2016.[1]

Di media, terlihat bahwa masyarakat merespon lebih reaktif terhadap rencana penerapan kebijakan lima hari sekolah, ketimbang pada penguatan pendidikan karakter. Tidak ada masalah dan tidak ada keberatan dengan kebijakan penguatan pendidikan karakter yang dirumuskan oleh pemerintah. Semua masyarakat Indonesia setuju dengan kebijakan penguatan pendidikan karakter. Namun, tidak demikian halnya dengan kebijakan ‘hari sekolah’. Sehingga dalam perkembangannya, Presiden membatalkan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan tentang ‘Hari Sekolah’ tersebut, dan akan disusun kebijakan baru dalam bentuk dan hirarki hukum yang lebih tinggi yakni ‘Peraturan Presiden’.[2]

 

BELAJAR DARI HASIL RISET PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH

Dalam rangka memberi masukan kontributif terhadap perbaikan kebijakan tersebut di atas, maka beberapa hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, sangat penting dan relevan untuk dikemukakan. Pada tahun 2010, telah dilakukan penelitian tentang Efektivitas Kebijakan Pemerintah Daerah tentang Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ) dalam meningkatkan mutu Pendidikan Agama. Pada tahun 2014, dilakukan penelitian tentang Pendidikan Karakter di sekolah, pada tahun 2014. Hasil penelitian tersebut dapat diangkat kembali dalam rangka memperkaya perspektif para praktisi pendidikan dalam melakukan penguatan pendidikan karakter di sekolah.

** Belajar Mengaji di Sekolah

Dalam hasil riset tahun 2010 yang dilakukan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, terungkap fakta bahwa mayoritas peserta didik pada sekolah menengah pertama (SMP), mengerti dan memiliki pengetahuan dan keterampilan baca tulis Al-Qur’an bukan melalui pendidikan agama dalam jam normal di sekolah, tetapi melalui pembelajaran di luar rumah. Mereka yang mampu BTQ, mayoritas belajar dari Madrasah Diniyah, TPQ, dan di rumah sendiri. Hanya sedikit prosentase peserta didik yang belajar dan memperoleh kemampuan mengaji dari guru agama di sekolah. Riset yang dilakukan pada kota/ kabupaten berikut: Tasikmaklaya, Indramayu, Serang, Cilegon, Kampar, Pekanbaru, Banjarbaru, Banjarmasin, Mataram, Lombok Timur, Gorontalo, Gowa, Maros; menunjukan adanya prosentase angka sebagai berikut: 29% belajar mengaji di rumah sendiri; 28% belajar mengaji di masjid/mushollah; 18% belajar mengaji di madrasah diniyah; dan ada 17,51% yang dapat mengaji karena belajar di sekolah.

Data tersebut menunjukan bahwa dapat dilihat bahwa mayoritas yang menjadi tempat belajar baca-tulis al-Qur’an pelajar SMP adalah: rumah, mesjid/mushola dan Madrasah Diniyah. Dua tempat belajar yang pertama yakni rumah, dan mushollah merupakan (diasumsikan sebagai) tempat konvensional yang sudah umum digunakan oleh masyarakat muslim di Indonesia sejak dulu. Sementara tempat belajar yang ke tiga yakni Madrasah Diniyah merupakan tempat belajar yang bersifat institusional dengan pola manajemen dan sistem pembelajaran yang lebih teratur dan sistemik. Dan itu berarti bahwa, sekolah formal tidak menjadi tempat belajar mengaji yang dapat diandalkan untuk memberikan kemampuan dan keterampilan mengaji.

Fakta tersebut juga sejalan dan didukung pula oleh fakta tentang ustadz/guru yang menjadi sumber belajar peserta didik. Terdapat 27% menyatakan bahwa mereka diajar oleh guru/Ustadz di lingkungan keluarga sendiri atau mengundang ustadz datang ke rumah; 27% juga menyatakan bahwa mereka belajar mengaji di masjid atau mushollah; 21% diajar oleh ustadz di madrasah diniyyah; dan ada 19% yang diajar oleh guru agama di sekolah.

Data di atas menunjukkan bahwa orang tua dan ustadz di masjid merupakan sumber utamapeserta didik belajar mengaji. Guru pendidikan agama di sekolah tidak berkontribusi besar. Kelemahan dan keterbatasan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yakni jumlah jam dan sistem mengajar agama yang sangat terbatas di sekolah formal.

Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam penyelenggaraan sistem lima hari sekolah atau Fulday School, perlu dipikirkan strategi dan pola baru mengajarkan BTQ kepada peserta didik. Apakah sekolah akan mengambil alih tanggung jawab mengajar BTQ? Bagaimana para ustadz di TPQ, Masjid dan Madrasah Diniyah dilibatkan untuk mengajarkan keterampilan BTQ, sebab peserta didik sudah menghabiskan waktu hingga sore di sekolah.

 

** Mengatasi Tawuran Pelajar dengan Lima Hari Sekolah

            Salah satu harapan dari implementasi FDS adalah untuk mengatasi masalah tawuran pelajar dan perilaku menyimpang lainnya, seperti: miras, dan narkoba. Alasannya, dengan belajar sepanjang hari di sekolah, maka peserta didik tidak memiliki waktu luang dan kesempatan  untuk berkeliaran di jalan dan mall-mall atau di tempat mangkal, publik.

            Dari hasil riset, diketahui bahwa peristiwa tawuran pelajar sering terjadi pada jam (waktu) dan bertempat di luar sekolah. Kasus di kota Bogor tahun 2016, aktivitas tawuran antar pelajar berlangsung terorganisir dan diatur pada waktu dan tempat yang disepakati. Para pelajar sudah mempersiapkan diri dengan mempersenjatai diri masing-masing. Senjata tawuran dibawa ke sekolah dan dititip pada tempat-tempat tersembunyi. Ketika pulang sekolah, mereka mengambil senjata yang dititip tersebut dan menuju ke lokasi yang sudah disepakati.

Beberapa kasus tawuran terjadi pada malam hari, bukan siang hari. Jarak antara rumah dengan sekolah yang jauh memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkumpul dan membentuk ‘barisan siswa (basis)’. Basis tersebut menjadi salah satu sumber yang memicu tawuran pelajar. Mereka menghadang (menghentikan dengan paksa) kendaraan umum yang menuju ke arah sekolah mereka, untuk dijadikan tumpangan gratis. Dalam perjalanan, sering terjadi persaingan antar geng sekolah, dan antar kendaraan (truck) yang mengantar mereka ke sekolah. Ini menjadi awal mereka  adu mulut dan berujung pada tawuran yang mematikan.

Ada juga kejadian tawuran pelajar pada jam (waktu) sekolah, ketika para guru dan civitas sekolah sedang rapat, atau keluar sekolah (ke kantor dinas atau pemerintah daerah). Ada jam kosong, dimana tidak terdapat layanan pendidikan kepada anak. Ini memicu kreativitas negatif peserta didik. Mereka menginisiasi berbagai aksi yang tidak terarah dan tidak edukatif. Ada yang adu panco, duduk di atas meja, games, dan ada yang ke luar lingkungan sekolah. Meski, ada juga beberapa siswa yang baik, dengan menginisiasi kegiatan yang positif seperti remedial pelajaran atau berkunjung ke perpustakaan. Salah satu kejadian tawuran, yang belum lama ini terjadi di kota Bogor (Oktober 2016), berlangsung pada hari Jum’at, ketika para guru menunaikan sholat (ibadah) Jum’at, Pimpinan sekolah ke kantor Dinas Pendidikan; dan guru agama mengisi khutbah di masjid luar sekolah.

Fakta juga menunjukan bahwa mayoritas siswa yang terlibat tawuran adalah mereka yang tidak aktif pada kegiatan ektra-kurikuler dan keagamaan (seperti ROHIS). Beberapa sekolah melaksanakan treatment khusus (ala pesantren) untuk membina siswa yang terlibat tawuran.[3] Pola ini juga (tratment ala pesantren) sudah pernah dilakukan Polresta Bogor tahun 2016 untuk menghukum pelajar yang terlibat tawuran. Semua hal di atas , menjadi  bahan pertimbangan dalam menyelenggaraan sekolah sehari penuh (full-day). Melalui implemenasi sekolah lima hari, masih akan terbuka peluang terjadinya tawuran, pada saat pulang sekolah, dan pada jam sekolah. Prasyarat yang harus dipenuhi adalah keterpenuhan fungsi layanan pendidikan di sekolah selama jam pendidikan berlangsung, serta kerjasama dengan seluruh stakeholder pendidikan.

 

** Praktek Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama di Sekolah

Menindaklanjuti kebijakan pemerintah tentang ‘Gerakan Nasional Karakter Bangsa’, guru pendidikan agama, telah mendesain pembelajaran pendidikan agama di sekolah, dengan mengintegrasikan pendidikan karakter. Beberapa poin penting dari proses integrasi tersebut dapat dipaparkan antara lain.

Melalui kurikulum pendidikan agama yang ada, yakni KTSP dan Kurtilas, guru pendidikan Agama (GPA) telah melakukan integrasi pendidikan karakter dan pendidikan agama melalui pendekatan intrakurikuler, cokurikuler, ekstrakurikuler dan pembiasaan atau keteladanan. Pada pendekatan intra-kurikuler mata pelajaran pendidikan agama, praktek implementasinya dilakukan (sejak) melalui tahap perencanaan pengajaran, proses instruksional, dan evaluasi. Pada tahap perencanaan maka silabus, RPP, kompetensi inti (KI), dan kompetensi dasar (KD), serta materi pembelajaran pendidikan agama disinkronkan dengan aspek-aspek nilai karakter. Dalam dokumen perencanaan pembelajaran (RPP), nilai-nilai karakter dinyatakan pada setiap pokok bahasan. Guru agama melakukan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi terhadap nilai-nilai karakter yang relevan tersebut. Tahap ini sangat bergantung pada kompetensi dan kualitas GPA.

Sebagai contoh perencanaan pembelajaran pendidikan agama Islam untuk kelas X (SMA kelas 1) dengan topik keesaan Allah, dihubungkan dengan karakter religius dan perilaku keluhuran budi, kokoh pendirian, pemberi rasa aman, tawakal dan perilaku adil. Meskipun pokok materi utama adalah tentang Aqidah yang secara langsung terkait dengan karakter religius, namun pada penjabarannya, secara terencana (direkayasa) agar materi tersebut tidak semata-mata membahas tentang aspek Ketuhanan, tetapi dikembangkan dan dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan sosial yang secara tidak langsung diberikan muatan karakter kejujuran, kepedulian terhadap lingkungan dan sesama, serta sifat-sifat terpuji lainnya.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, nilai-nilai karakter menjadi materi utama yang disampaiakan dan dibiasakan oleh guru agama. Diawali dengan do’a bersama sesuai dengan agama masing-masing, kemudian guru memulai melakukan appersepsi dan mendiskusikan atau menjelaskan materi inti. Kegiatan juga diakhiri dengan do’a.  Perbedaannya pada penekanan kegiatan refleksi pada akhir pelajaran. Refleksi ditekankan pada implementasi dan aktualisasi nilai-nilai perilaku dan keterampilan. Terkadang ini juga ditindaklanjuti dengan penugasan terstruktur.

Guru juga melakukan penilaian otentik selama proses pembelajaran di dalam kelas, dan penilaian melalui portopolio siswa. Pada akhir pembelajaran guru agama akan melakukan penilaian portopolio siswa yang meliputi seluruh materi pelajaran dan mengandung unsur standar kompetensi/kompetensi dasar (SK/KD) atau  kompetensi inti (KI1, KI2,KI3 dan KI4).[4]

Pada pendekatan Ekstrakurikuler, biasanya diarahkan pada pengembangan wawasan dan keterampilan keagamaan siswa, serta pembiasaan dalam beribadah. Untuk siswa muslim, kegiatan eksrakurikuler pendidikan agama Islam diselenggarakan untuk memperluas wawasan dan keterampilan serta pengayaan baca-tulis Al-Qur’an bagi siswa yang belum bisa. Biasanya, Musholah atau Masjid sekolah menjadi salah satu pusat kegiatan ekstrakurikuler. Secara umum, program ekstrakurikuler pendidikan agama Islam di sekolah antara lain: Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), pawai ta’aruf, pengajian rutin, pesantren, Gema Islam, lomba keagamaan, kegiatan keagamaan, dan praktek ibadah (contoh terlampir).

Oleh karena itu, untuk implementasi kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter di sekolah, guru pendidikan agama, tidak ada masalah. Guru pendidikan agama sudah terbiasa mengimplementasikannya. Mereka tidak akan menghadapi masalah besar, baik pada praktek enam hari sekolah ataupun pada lima hari sekolah. Guru agama tinggal melakukan penyesuaian terkait dengan skedul dan beban tanggungjawab. Dalam hal ini perlu respon kebijakan terkait tugas, dan beban mengajar guru agama. Tidak harus berbasis kelas, seperti selama ini terjadi, tetapi bisa dikaji lagi agar bisa berbasis sekolah, baik di dalam kelas ataupun di luar kelas, selama jam sekolah (full-day).

 

PENUTUP

Beberapa butir penting sebagai penutup dari tuisan ini disarikan sebagai berikut.

  • Dalam konteks penguatan pendidikan karater (PPK), Guru Agama melalui strategi dan pendekatan pendidikan agama di sekolah, sudah memiliki konsep, dan pengalaman untuk mengintegrasikan pendidikan karakter. Baik melalui pola enam hari sekolah atau lima hari sekolah, pola dan strategi tersebut, dapat diimplementasikan.

  • Posisi dan peran kepala sekolah dan guru agama dalam implementasi PPK di sekolah sangat penting dan strategis. Dalam banyak kasus di lokasi penelitian, terdapat pola dimana guru agama menjadi penginisiatif atas berbagai kegiatan penguatan karakter. Kerjasama dan dukungan kepala sekolah terhadap pragram karakter dan keagamaan menjadikan kegiatan pendidikan agama dan karakter di sekolah berjalan secara efektif dan lancar.

  • Untuk menjamin pemenuhan pendidikan karakter melalui pendidikan agama maka perlu diupayakan pemenuhan jumlah guru pendidikan agama, dan perlu pengembangan wawasan dan kapasitas terutama terkait dengan perencanaan pengajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Selain untuk penguatan pendidikan karakter (PPK) di sekolah, posisi dan status guru agama di sekolah dipandang sebagai agen negara yang dapat mencegah berkembangnya paham radikal melalui agama atau melalui jalur lainnya. Beberapa kasus dimana peserta didik suatu sekolah terlibat pada aktivitas radikal dan kekerasan, selalu terdapat fakta bahwa layanan pendidikan agama tidak berjalan dengan baik, karena tidak ada guru agama.

  • Reposisioning GPAI dalam kebijakan perubahan hari sekolah. Pengakuan jam mengajar untuk aktivitas pendidikan di luar kelas pada jam belajar. Pengakuan tersebut, dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap pemenuhan fungsi-fungsi sekolah dalam mendidik anak, dan pemenuhan jumlah jam mengajar guru pendidikan agama. Dalam implementasi kebijakan sekolah lima hari, maka guru pendidikan agama perlu melakukan penyesuaian jadwal kegiatan ekstra-kuriuler, dan sinkronisasi kegiatan intra-ekstra kurikuler mata pelajaran pendidian agama.

 

 

 

[1] Kemdikbud, 2017. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.

[2]http://nasional.kompas.com/read/2017/06/19/21033801/istana.benarkan.permen.soal. hari. sekolah.dibatalkanhttp://nasional.kompas.com/read/2017/06/19/14420391/jokowi.batalkan.program.sekolah.8.jam.sehari; dikutip pada Senin 24 Juli 2017.

[3] Hayadin, 2016. Laporan Penelitian Tawuran Pelajar pada Jenjang Sekolah Menengah di Kota Bogor tahun 2016. Jakarta: Puslitbang Penda.

 

[4] Qowaid, dkk. 2014. Laporan Penelitian Penyelenggaraan Pendidikan Karakter melalui Pendidikan Agama di Sekolah. Jakarta: Puslitbang Penda.

 

Sumber gambar: https://kumparan.com/nurul-hidayati/pgri-usul-jumlah-hari-bersekolah-diserahkan-ke-pemda

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI