Pesantren Al-Zaytun: Subkultur atau Kontrakultur?
Jakarta (21 Januari 2015). Majelis Rabuan Thamrin (MRT) kembali digelar oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Rabu (21/1). Pada edisi yang ke-3, MRT mengangkat kontroversi Pesantren Al-Zaytun sebagai sebuah pesantren modern.
Bertindak sebagai narasumber Abdul Aziz, peneliti senior Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Pada kesempatan ini, Aziz membawakanmakalah berjudul “Dari Subkultur menuju Kontrakultur: Kontroversi Al-Zaytun sebagai Pesantren”.
Menggunakan teori subkultur dan kontrakultur, Aziz mencoba memetakan posisi Pesantren Al-Zaytun. Aziz mengawali pemaparan dengan menjelaskan tentang teori subkultur dan kontrakultur.
Menurutnya, kedua istilah ini digunakan untuk menyebutkan suatu komunitas yang memiliki kultur yang berbeda dengan kultur utama masyarakat. Namun demikian, kedua istilah ini juga memiliki perbedaan pemaknaan. Aziz menjelaskan jika subkultur dimaknai sebagai perilaku/kultur yang “sekedar berbeda” dari kulturmainstream, maka kontrakultur dimaknai tidak hanya “sekedar berbeda”, tetapi juga melakukan ”perlawanan” terhadap kulturmainstream yang berkembang di masyarakat.
Ia menyatakan dalam penelitiannya, teori subkultur yang digunakan adalah teori yang dikembangkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurutnya, Gus Dur mengajukan lima kriteria agar pesantren dapat dikategorikan sebagai pesantren subkultur. Kriteria tersebut adalah:eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola kehidupan umum masyarakat di tanah air;adanya sejumlah penyokong yang menjadi tulang punggung kemandirian pesantren; berlangsungnya proses pembentukan tata nilai yang tersendiri di dalam pesantren; adanya daya tarik keluar sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap sikap hidup di pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup di masyarakat; danberkembangnya suatu proses saling mempengaruhi antara pesantren dengan masyarakat di luarnya yang berujung pada pembentukan nilai baru yang secara universal diterima kedua pihak.
Sementara itu, teori kontrakultur yang ia gunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Theodore Roszak. Roszak mengajukan empat kriteria kelompok/gerakan kontrakultur, yaitu:kultur pemisahan diri secara radikal dari asumsi-asumsi kultur arus utama; menampakkan kesan adanya penebaran ancaman yang menimbulkan rasa takut pada khalayak umum; memiliki norma atau nilai etika pemisahan diri dari sistem nilai kultur arus utama; dan memiliki tindakan-tindakan dan cara-cara pemisahan diri dari kultur arus utama.
Selanjutnya, Aziz menyatakan bahwa berdasarkan pengamatannya, Pesantren Al-Zaytun tidak dapat dikategorikan dalam pesantren subkultur sebagaimana pesantren umumnya yang ada di Indonesia. Pesantren Al-Zaytun lebih tepat dikategorikan sebagai pesantren kontrakultur. Hal ini karena menurutnya, keberadaan Pesantren Al-Zaytun memenuhi kriteria-kriteria yang ditawarkan oleh Roszak.
Paparan Abdul Aziz mendapatkan respon dari para peserta diskusi. Peserta yang sebagian besar merupakan peneliti pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan menyampaikan apresiasi atas makalah yang disampaikan narasumber.
Dalam sesi diskusi, setidaknya terdapat dua bahasan yang dipertanyakan oleh peserta diskusi. Pertama, pertanyaan tentang pendalaman teori yang digunakan dan kemungkinan digunakannya teori ini untuk meneliti komunitas lain selain pesantren. Kedua, pertanyaan tentang kedalaman fakta terkait keberadaan Pesantren Al-Zaytun.
Menanggapi pertanyaan kategori pertama, Aziz menyampaikan bahwa pada dasarnya setiap teori memiliki keterbatasan dan kelemahan. “Teori apapun dalam ilmu sosial selalu memiliki keterbatasan dan kelemaham” ujarnya. Oleh karena itu, ia menyarankan bagi para peneliti untuk selalu melihat objek penelitian berdasarkan teori dan sudut pandang lainnya untuk memperkaya analisis. Aziz juga menyatakan, bahwa meskipun teori subkultur dibangun dalam konteks pemetaan pesantren, namun ia berpendapat bahwa baik teori subkultur maupun teori kontrakultur dapat dijadikan sebagai pisau analisis untuk menelaah dan mengkaji kelompok-kelompok “anti mainstream” yang ada di masyarakat.
Sementara itu dalam menanggapi pertanyaan kategori kedua, Aziz menyatakan bahwa masih banyak fakta yang belum dapat digali olehnya. Ia tidak dapat menyatakan secara tegas apakah Pesantren Al-Zaytun termasuk pesantren kontrakultur yang terkategori sebagairadical protest movement ataukah dikategorikan sebagairevolutionary movement. Oleh karena itu, ia menantang para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan untuk lebih mendalami Pesantren Al-Zaytun.
ags/viks/ags