PETA KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROPINSI MALUKU

9 Jul 2007
PETA KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROPINSI MALUKU

PETA KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROPINSI MALUKU

Tim Puslitbang Kehidupan Beragama
2006

 

Keragaman masyarakat Maluku yang terdiri dari berbagai etnis dan ras (Jawa, Sunda, Bugis Makassar, Buton, Cina, Arab dan Ambon sendiri) dan agama (Islam, Kristen, Hindu dan Buddha) dapat menjadi potensi untuk membangun kekuatan dan kedinamisan kehidupan masyarakat Maluku. Keragaman ini, selain merupakan perbedaan, juga dapat mewujudkan kooperasi dan kompetisi.

Peningkatan migran dan penduduk Muslim sedikit banyak menimbulkan krisis persepsi dan sikap di kalangan penduduk asli beragama Kristen. Hal itu selanjutnya menimbulkan semacam krisis hubungan, kecurigaan dan ketegangan sosial antara kedua komunitas berbeda agama yang berlangsung cukup lama di komunitas Maluku sejak sebelum konflik Januari 1999 meletus. Karena pada umumnya kaum migran itu orang-orang Islam yang berasal dari Sulawesi dan Jawa, ada anggapan dari pihak Kristen bahwa Maluku terjadi Islamisasi.

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan diantaranya adalah dari aspek geografi dan demografi Provinsi Maluku merupakan wilayah yang kurang menguntungkan dalam usaha pembinaan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Provinsi yang terdiri dari ribuan pulau dan penyebaran penduduk yang tidak merata, serta terjadinya kantong-kantong konsentrasi pemukiman umat beragama tertentu telah dapat difahami sebagai permasalahan yang cukup rumit yang tidak mudah diatasi.

Bila diidentifikasi faktor-faktor yang mendukung terjadinya kerukunan atau konflik umat beragama hampir berimbang, namun faktor pemicu terjadinya konflik atau benturan antar umat beragama lebih dominan, terutama di kalangan masyarakat lapis bawah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat faktor adat dan budaya yang telah lama berfungsi sebagai perekat mengalami kepudaran, sedangkan peran pemimpin formal dan informal yang telah terbangun selama ini mengalami krisis wibawa terutama setelah era reformasi. Potensi konflik terutama di kota Ambon cukup dominan karena faktor sentimen antar suku, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dalam politik, stereotipe negatif yang berkembang di masyarakat, serta ekses migrasi dan mobilitas penduduk yang tidak terkendali akan dapat mendorong terjadinya benturan-benturan kepentingan antar kelompok antar umat beragama.

Penelitian ini merekomendasikan perlunya upaya-upaya mendamaikan hubungan antar umat beragama provinsi Maluku, khususnya di Kota Ambon harus tetap dilanjutkan dengan segala macam pendekatan baik keamanan, budaya, agama, politik dan ekonomi secara simultan. Sebagai faktor pemicu masih berkembang di tengah masyarakat seperti fanatisme (agama dan suku), kecemburuan dan stereotipe sosial, maka upaya-upaya tersebut di atas harus tetap ditingkatkan. Demikian juga ke depan relokasi pemukiman dan rekonstruksi sosial perlu direncanakan secara matang dan aplikatif agar dapat terwujud integrasi sosial yang hakiki. Oleh karena itu fungsi dan peran pemerintah beserta tokoh agama, adat dan LSM secara terpadu sangat diperlukan.***

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI