Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Selenggarakan Seminar Indeks Kesalehan Sosial
Jakarta (25 September 2018). Setelah dilakukan Survei Indeks Kesalehan Sosial (IKS) pada bulan Mei-Juni 2018, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) menyelenggarakan seminar pada Selasa (25/9). Hadir sebagai narasumber Abdul Mu’thi (PP Muhamamdiyah), Romo Paulus Christian Siswantoko (KWI), dan Farhan Muntafa.
Unit eselon 2 Kementerian Agama di bidang penelitian dan pengembangan yang fokus pada problematika kehidupan keagamaan diamanati untuk mencari tahu sejauhmana relevansi antara pemahaman dan pengamalan umat beragama. Hal itu ditegaskan Kapuslitbang BALK, Muharam Marzuki, saat memberikan laporan kegiatan di depan Kepala Badan Litbang dan Diklat, Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D. dan 50 peserta yang menghadiri seminar tersebut.
“Sebagai Kapuslitbang, saya diamanati untuk menemukan fakta yang menjelaskan sejauhmana relevansi antara pemahaman dan pengamalan umat beragama. Hal ini menjadi Indikator Kinerja Utama (IKU) Menteri Agama dan turun menjadi Perjanjian Kinerja Kapuslitbang. Karena itulah survei IKS ini dilakukan”, tegas Muharam di Ruangan Irian Hotel Millenium Jakarta Pusat.
Seakan ingin merespon bawahannya, Rahman dalam pengarahannya sangat mengapresiasi positif survei yang diadakan Puslitbang BALK ini. Bila dalam Visi Kementerian Agama disebutkan “terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama”, maka survei ini berusaha untuk mengukur sejauhmana peran Kementerian Agama dalam menggapai visinya. Ini semestinya bisa dilakukan secara rutin, walau dalam beberapa hal dimensi-dimensi survei ini masih perlu dijelaskan karena masih ada yang dianggap membingungkan. Aspek demokrasi dan aspek menghargai perbedaan misalnya, apa perbedaan keduanya. Ini perlu dijelaskan secara gambling.
Dalam presentasinya, Farhan Muntafa menjelaskan bahwa lokus penelitian IKS ini menyasar ke 30 Kabupaten/Kota se-Indonesia. Karena terkait aspek keberagamaan, maka survei IKS ini berbasis kerumunan umat beragama, yaitu rumah ibadah. Dari sekian Kab./Kota itu, porsi umat Islam diwakili oleh 20 Kab./Kota, Kristen 4 Kab./Kota, Katolik dan Hindu 2 Kab./Kota, sedangkan Buddha dan Konghucu 1 Kab./Kota.
Pendekatan kuantitatif survei ini menggunakan instrumen kuesioner dengan teknik pengambilan data wawancara. Teknik sampling heterogen menggunakan Stratified Random Sampling. Penelitian ini fokus pada 10 dimensi kesalehan sosial, antara lain: 1). Sikap memberi (Giving); 2). Sikap peduli (Caring); 3). Menghargai perbedaan nilai; 4). Tidak memaksakan nilai; 5). Tidak menghina nilai yang berbeda; 6). Partisipasi pada sistem demokrasi; 7). Keterlibatan dalam perbaikan kinerja pemerintah (good governance); 8). Pencegahan kekerasan fisik dan budaya; 9). Keterlibatan dalam restorasi lingkungan; dan 10). Keterlibatan dalam konservasi lingkungan.
Setelah data lapangan diinput dan dihitung secara statistik dengan fokus pada 10 dimensi di atas, menurut Farhan, skor IKS Tahun 2018 ini mencapai nilai 76,00. Skor indeks sebesar itu termasuk signifikan dan kesalehan sosial umat berkategori “baik”.
Yang menarik, urai Dosen Universitas Tirtayasa Serang ini, dari 10 dimensi penilaian IKS di atas ternyata dimensi Sikap Peduli (Caring) dan Menghargai Perbedaan Nilai berada pada posisi dua terendah. Dengan cut off pada skor 66,00, maka dua dimensi tersebut masuk kategori buruk dalam IKS tahun ini. Caring pada skor 61,09, sedangkan Menghargai Perbedaan pada skor 50,10. Dalam hal ini, kebiasaan (habituasi) keluarga ternyata signifikan mempengaruhi kesalehan sosial seseorang.
Merespon hasil survei tersebut, Romo Iswantoko berkomentar bahwa aspek kesalehan sosial inklusif (terhadap beda agama dan kepercayaan) pada masyarakat kita memang masih perlu dipupuk, beda dengan kesalehan sosial eksklusif (pada sesama agama dan kepercayaan).
Dengan bahasa lain, Abdul Mu’thi menegaskan perlunya inklusi sosial bagi umat. Hanya saja, menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini, inklusi sosial yang dikhawatirkan akhir-akhir ini justru bersifat internal keagamaan. Pada masyarakat Islam, jelasnya, sekarang begitu menguat terjadi konfrontasi antar faham dan aliran keislaman, terutama antara kelompok yang cenderung konservatif dan liberal. Ini juga sebenarnya terjadi di kalangan umat Kristiani dan agama lainnya.
Berbeda dengan agama lainnya, kata Abdul Mu’thi, dalam Islam kesalehan sosial tidak bisa dilepaskan dengan keimanan (believe). Keimanan dan kesalehan sosial (amal saleh) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan. Dalam ajaran Islam, aspek horisontal (kesalehan sosial) dan aspek vertikal (keimanan) harus seiring-sejalan. Kesalehan sosial merupakan buah dari keimanan seorang muslim. Bisa saja seseorang melakukan kesalehan sosial bukan karena keimanan, begitu juga sebaliknya, seorang yang merasa dirinya beriman tidak saleh secara sosial.
Terkait dengan hasil survei IKS yang menemukan bahwa habituasi keluarga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesalehan sosial, maka menurut Abdul Mu’thi inklusi sosial juga perlu pembiasaan dalam sebuah lingkungan. Baginya, lingkungan lebih baik daripada pengetahuan (kognisi) dalam membentuk kesalehan sosial. Berangkat dari hal ini, tegas Mu’thi, penguatan inklusi sosial pada lingkungan pendidikan dan keluarga menjadi hal yang perlu direkomendasikan untuk membangun kesalehan sosial yang lebih baik ke depan.
Dihadiri sejumlah Kabag Perencanaan dari beberapa Direktorat Jenderal Bimas Agama, seminar ini berjalan cukup dinamis. Karena IKS menjadi Perjanjian Kinerja Dirjen Bimas Agama, maka di antara mereka sangat mengapresiasi dan mendapatkan informasi berharga dari hasil Surnas IKS ini. Begitu pula dengan beberapa ormas, seperti Muhammadiyah dan Jam’iyatul Islamiyah, juga LSM, seperti Wahid Institute dan P3M.
Melihat kehadiran mereka, Kabid Litbang Bimas Agama, Kerukunan dan Aliran, Sholahuddin, berharap hasil survei ini bisa dimanfaatkan sebaik mungkin untuk merancang program kegiatan tahun depan. Apalagi, hadir pula dalam seminar ini Perwakilan dari Kemenko PMK dan Bappenas. [Edijun/Puslitbang1/bas/ar]