PUSLITBANG LKKMO LAUNCHING ALQURAN TERJEMAH BAHASA DAERAH

13 Des 2018
PUSLITBANG LKKMO LAUNCHING ALQURAN TERJEMAH BAHASA DAERAH

Jakarta (13 Desember 2018). Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) me-launchingAlquran terjemah bahasa daerah Aceh, Bugis, dan Madura di ruang H.M. Rasyidi Gedung Kementerian Agama Thamrin Jakarta, Kamis (13/12). Desain acara yang cukup meriah namun menyejukkan hati, dihadiri berbagai kalangan seperti akademisi, agamawan, unsur organisasi masyarakat: NU, Muhammadiyah, dan MUI. Turut memeriahkan acara tersebut para siswa MAN 19 Jakarta  dengan tampilan tari saman dan tari sufi Jalaluddin Rumi yang cukup menghibur seluruh peserta.

Kepala Badan Litbang dan Diklat, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. dalam laporannya mengungkapkan bahwa Puslitbang LKKMO merupakan pusat yang berada di bawah Badan Litbang dan Diklat dengan tugas terkait penelitian dan pengembangan bidang naskah dan perbukuan, sejarah dan budaya, serta pengelolaan dan layanan kelembagaan. Menurut Mas’ud, penerjemahan Alquran ke dalam bahasa daerah telah diselesaikan sebanyak 16 (enam belas) bahasa daerah, antara lain: 1) Bahasa Daerah Jawa Banyumasan, 2) Bahasa Sasak, 3) Bahasa Makassar, 4) Bahasa Kaili, 5) Bahasa Minang, 6) Bahasa Dayak Kanayant, 7) Bahasa Batak Angkola, 8) Bahasa Toraja, 9) Bahasa Bolaang Mongondow, 10) Bahasa Bali, 11) Bahasa Ambon, 12) Bahasa Banjar, 13) Bahasa Osing, 14) Bahasa Aceh, 15) Bahasa Madura, dan 16) Bahasa Bugis.

Alquran terjemah 3 bahasa daerah yang akan diluncurkan kali ini, telah dimulai proses penerjemahannya sejak tahun 2017 bekerja sama dengan UIN Ar-Raniry Banda Aceh (Bahasa Aceh), UIN Alauddin Makassar (Bahasa Bugis), dan IAIN Madura (Bahasa Madura). Selain itu, juga saat ini sedang berlangsung proses penerjemahan Alquran dalam Bahasa Sunda dan Palembang yang diharapkan dapat selesai pada tahun mendatang. 

“Sesuai dengan pakem yang sering diungkapkan Menteri Agama, peluncuran Alquran terjemah tiga bahasa daerah ini mengambil tema: Literasi al-Quran Untuk Moderasi Beragama,” tegas Mas’ud. Tema ini penting katanya agar kehadiran Alquran terjemah dapat memperkuat misi Kementerian Agama yang terus merespon dinamika masyarakat agar selalu hidup rukun dan damai dalam bingkai NKRI. Selain program unggulan di atas, dilakukan pula kegiatan 1) Konservasi manuskrip/naskah keagamaan, 2) Kajian tematik dan moderasi agama, 3) Kerjasama dengan perpustakaan dan museum, 4) Penulisan sejarah kesultanan, dan 5) Merancang pendirian pusat kajian manuskrip keagamaan sebagai sumber informasi dan data untuk pengembangan ilmu dan riset.

Sedangkan pada aspek penelitian, Mas’ud mengurai beberapa jenis penelitian yang dilakukan LKKMO antara lain: 1) Penelitian indeks layanan kitab suci yang merupakan salah satu Indikator Kinerja Utama Kementerian, 2) Penelitian rumah ibadah bersejarah, 3) Penelitian tentang trend Islam kontemporer di Indonesia, 4) Penelitian implementasi lima nilai budaya kerja, 5) Penelitian evaluasi PMA Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama.

Terkait dengan perbukuan, menurut mantan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) ada kegiatan lain yang sangat urgen yakni penilaian buku Pendidikan Agama dan Keagamaan. Ini perlu dilakukan untuk memastikan substansi buku benar dan aspek grafikanya memiliki nilai estetis. Buku harus berkesesuaian dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, tidak mengandung ideologi ekstrimisme, tidak mengandung pornografi, tidak diskriminatif. Penilaian buku ini merupakan amanah Undang-Undang Perbukuan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan seiring dengan lahirnya PMA Nomor 9 Tahun 2018 tentang Buku Pendidikan Agama. Hingga saat ini, di atas mejanya banyak permintaan penilaian buku dari Bimas-Bimas yang segera direfer ke Puslitbang LKKMO.

Narasumber yang hadir dalam launching adalah Prof. Dr. Nurhayati Rahman dan Prof. Dr. Ali Yasa Abu Bakar. Sebagai tokoh sekaligus ilmuwan, keduanya mengulas secara singkat tentang perkembangan Islam perspektif budaya lokal. Jika di Aceh, literasi agama tidak lepas dari pikiran Nurudin Arraniry, maka di Sulwesi Selatan ada La Galigo warisan literasi leluhur Bugis. Dalam paparannya, Nurhayati mengungkapkan bahwa La Galigo merupakan karya sastra yang sangat panjang melebihi kisah Mahabarata sehingga oleh UNESCO ditetapkan sebagai “Memory of The World” karya terpanjang di dunia dengan 360 ribu bait syair.

Jika ditilik, kata Nurhayati, La Galigo banyak mengajarkan nilai-nilai Islam sejalan dengan budaya lokal. Islam masuk abad ke 16 di Sulawesi Selatan bukan melalui perang tetapi melalui pintu budaya. Bagaimana sang raja dulu menyemangati pasukannya untuk membela Islam bukan dengan kata jihad/perang tetapi dengan kata “siri” yang berarti mempertahankan harga diri hingga titik darah penghabisan. “Pembagian warisan dua banding satu antara pria dengan wanita dianalogikan dengan beban wanita yang menjunjung dan tugas pria memikul. Ternyata semuanya diterima dengan baik oleh masyarakat karena agama didekatkan dengan budaya lokal bukan dipertentangkan,” ujarnya.

Momen launching oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin disambut meriah oleh seluruh peserta sesaat setelah bunyi tombol yang menandakan ketiga terjemahan Alquran bahasa daerah itu resmi diluncurkan. Dalam sambutannya, Menag mengapresiasi usaha yang telah dilakukan Puslitbang LKKMO melakukan penerjemahan Alquran dalam bahasa daerah dan tim penerjemah serta pihak-pihak terkait. Bahkan secara tegas Menag mendorong Dr. Muhammad Zain untuk tetap melanjutkan program penerjemahan tersebut walaupun entah sampai kapan karena sungguh banyak bahasa daerah yang ada di nusantara ini. Tiga makna penting dalam penerjemahan Alquran yang ditegaskan Menag, yaitu 1) berarti membumikan nilai-nilai dan ajaran Alquran, 2) melestarikan nilai dan kearifan lokal, dan 3) melestarikan budaya religius masyarakat Indonesia. 

Selain terjemahan itu sendiri, menurut Menag, kita perlu juga menyusun buku tentang apa dan bagaimana menerjemahkan itu sehingga dapat dipahami oleh khalayak banyak. “Saya tahu bahwa menerjemahkan Alquran itu perlu energi dan waktu yang banyak hingga dua sampai tiga tahun,” tegas Menag. Oleh karena itu, perlu kita semua tahu sehingga memiliki pemahaman betapa menerjemahkan ayat-ayat itu tidak mudah, satu kata dalam ayat bisa dimaknai dengan berbagai kata bahkan mungkin ada yang tidak bisa dimaknai secara tegas karena memang terjemahan itu adalah produk manusia yang bisa salah, ini berbeda dengan ayat itu sendiri sebagai sesuatu yang absolut kebenarannya. (IA)

 
Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI