RASIONALISASI PEMBINAAN AGAMA DI LINGKUNGAN PENJARA (Membangun Model Pendidikan Agama terhadap Komunitas Narapidana di Lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan dan Pajangan Bantul)

12 Mar 2007
RASIONALISASI PEMBINAAN AGAMA DI LINGKUNGAN PENJARA (Membangun Model Pendidikan Agama terhadap Komunitas Narapidana di Lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan dan Pajangan Bantul)

RASIONALISASI PEMBINAAN AGAMA DI LINGKUNGAN PENJARA 
(Membangun Model Pendidikan Agama terhadap Komunitas Narapidana di Lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan dan Pajangan Bantul)

Oleh: Dandung Budi Yuwono, dkk
76 halaman

Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2006


Tingginya kriminalitas menyebabkan penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) di berbagai wilayah mengalami peningkatan jumlah narapidana (napi). Kriminalitas tidak hanya diakibatkan karena kondisi kemiskinan dari aspek struktural, namun aspek kultural memiliki signifikansi jauh lebih tinggi. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang agama (aspek kultural) mempunyai andil besar dalam memicu tingginya kriminalitas. Dengan sendirinya, sebagai sebuah lembaga pembinaan yang dikonstruksi secara sosial, penjara memiliki tanggung jawab yang tidak ringan dalam menormalisasi kehidupan napi. Melalui penerapan mekanisme pendisiplinan, diharapkan penjara dapat merubah napi menjadi manusia (tubuh) patuh dan berguna. Sebab itu, di samping program pembinaan yang mengarah pada pendisiplinan dan keterampilan, program pembinaan agama ‘mau tidak mau’ perlu diperhatikan, bahkan diutamakan. Pembinaan agama dimaksud adalah program pemberian pemahaman agama yang dapat membentuk napi sebagai manusia berkualitas, yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai agama pada kehidupan pasca penjara.

Agama tidak sekadar menjadi pedoman dalam berperilaku tetapi lebih merupakan sebuah culture yang mesti dipegang teguh, dan diimplementasikan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan agama yang lebih mengarah kepada pemahaman agama secara kafah sangat diperlukan untuk dapat mengantisipasi jurang antara ‘pengetahuan’ dan ‘praktik’. Karena itu, konsep dan metode penanganannya sudah barang tentu mesti memperhatikan dan menyesuaikan kultur masyarakat atau komunitas setempat, dan yang lebih mengedepankan pada pola dan materi yang dapat merubah napi untuk memiliki sikap, mental yang humanis-religius. Lebih dari itu, agar napi berkemampuan secara optimal menggali potensi diri yang diperlukan dalam rangka mengelola sumber daya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi diri dan masyarakat luas menjadi hal yang tidak dapat diabaikan.

Menyadari untuk dapat mencapai keberhasilan sebuah pendidikan –pembinaan agama- khususnya di lingkungan penjara bukanlah hal yang mudah dilakukan mengingat komunitas napi memiliki karakteristik, tingkat religiusitas serta kultur yang relatif berbeda dengan masyarakat di luar penjara. Konsekuensinya, untuk membangun konsep tersebut tidak hanya berdasar atas perspektif dari luar, tetapi sangat perlu memperhatikan perspektif dari dalam. Artinya, untuk mencapai keberhasilan konsep pendidikan yang akan diterapkan hendaknya merujuk atau menyesuaikan dengan kondisi internal Napi dan Penjara.***

 

kemenag 

BADAN LITBANG DAN DIKLAT

Kementerian Agama RI

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI