SALAT JUMAT DI MASJID NURUL LATIEF

26 Nov 2018
SALAT JUMAT DI MASJID NURUL LATIEF

Keinginan untuk berkunjung ke Cape Town sudah lama terbetik di hati. Pendorong utama adalah ziarah ke makam Syaikh Yusuf  al-Makassari (w. 1669 M) dan silaturahmi dengan warga Muslim, termasuk keturunan Indonesia, di sana. Alhamdulillah harapan itu menjadi kenyataan. Pada tanggal 29 Maret 2018 penulis bersama seorang teman Peneliti Utama di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama di Makassar, Dr. H. Arifuddin Ismail, M.Pd., bertolak dari Jakarta menuju Cape Town, Afrika Selatan. Kali ini kami memilih maskapai penerbangan yang transit di Doha, bukan Dubai atau Singapura. 

Penerbangan Jakarta - Doha menempuh waktu sekitar delapan jam. Hampir semua seat terisi. Sebagian penumpang yang transit di sini akan melanjutkan perjalanan ke Eropa, Afrika dan kota tujuan lainnya. Salah seorang penumpang adalah tenaga kerja Indonesia yang bertugas di kapal laut yang melayani rute antar pulau di Afrika Selatan. Ia seorang perempuan usia sekitar tiga puluh tahun. Ia sudah bekerja di negara itu beberapa tahun. Ia baru saja pulang menjenguk ibunya di Jakarta. Orang tuanya berasal dari Jawa Barat. Ia kelihatannya tidak ragu untuk mencari rezeki di negeri yang jauh dari sanak saudara. 

Waktu transit di Doha sekitar dua jam. Pesawat yang membawa kami ke Cape Town juga penuh penumpang. Sebagian besar orang Eropa. Saya dengar dan lihat banyak turis berkunjung ke Cape Town yang indah. Selain itu, memang ada sebagian warga kulit putih yang berdiam di Afrika Selatan. Penerbangan dari Doha ke Cape Town berlangsung sekitar sepuluh jam. Turbulensi pesawat cukup besar. Pesawat tipe Dreamliner mengalami goncangan besar untuk waktu yang lama. Biasanya memang begitu pada penerbangan jarak jauh dengan pesawat berbadan lebar. Seorang teman pernah mengingatkan seperti itu pada suatu penerbangan dari Jakarta ke Frankfurt. Nasihat itu cukup efektif. Goncangan mengingatkan juga untuk memperbanyak tasbih dan salawat kepada Nabi Saw. Keduanya mendatangkan pertolongan Allah Swt. untuk keluar dari kesulitan.  

Pesawat mendarat di bandara internasional Cape Town sekitar jam sepuluh pagi. Berhubung kami berusaha untuk menunaikan salat Jumat, maka kami mengabaikan untuk menukar uang dari  US Dollar ke Rand (mata uang Afrika Selatan). Kami ditemui oleh Imam Adam Philander, imam di Masjid Nurul Latief, kawasan Macassar, di pinggiran Western Cape (nama provinsi). Sewaktu transit di Doha, Imam Adam sudah mengingatkan agar salah seorang dari kami menyampaikan ceramah di masjid pada hari Jumat.

Saya hanya mandi sebentar lalu ganti pakaian di guest house, Voetboeg Lodge. Saya pakai jas bundar leher, sarung dan kopiah hitam. Sekitar dua menit sebelum beres, Imam Adam sudah mengetuk pintu kamar. Jam 13.00 waktu Zuhur (salat Jumat) masuk. Masjid sudah penuh dengan jamaah. Lantai utama laki-laki. Di balkon lantai dua ada beberapa perempuan, tapi tidak kelihatan dengan jelas, terhalang oleh dinding setinggi 75 cm dengan lubang-lubang kecil. Saya baru tahu ada jamaah perempuan setelah selesai menunaikan salat Jumat. 

Masjid memiliki dua mimbar. Satu untuk ceramah dan satu untuk khutbah. Imam Adam memberi pengantar lalu mepersilahkan saya menyampaikan ceramah. Saya hanya menggunakan waktu sekitar lima belas menit, takut kelamaan. Sebelumnya, ia menjelaskan di mobil bahwa waktu yang tersedia bisa sampai setengah jam. Ternyata tradisi di sini, khutbah Jumat (pertama dan kedua) berlangsung singkat, sekitar sepuluh menit dan dalam bahasa Arab tanpa teks. Khatib pegang tongkat. Isi khutbah hamdalah, syahadat, salawat, ayat Al-Qur’an, Hadis dan doa. Sebelum khutbah Jumat, Imam biasanya menyampaikan ceramah dalam bahasa Inggris sekitar tiga puluh menit. Berhubung waktu yang saya gunakan singkat, maka Imam Adam menggunakan sisa waktu lima belas menit untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sesekali ia mengingatkan jamaah untuk mengucapkan amin. Sesekali jamaah merespons ceramah imam dengan meneruskan ayat yang dibaca. Intinya, ada interaksi sedikit di antara pembicara dan jamaah. Khutbah disampaikan oleh petugas yang lain. Jamaah menyimak dengan khusyuk.

Tatacara salat Jumat di sini mirip di masjid Kobe Jepang. Pada suatu waktu tahun 2016, khatib menyampaikan ceramah dalam bahasa Inggris sekitar setengah jam. Kemudian orang yang sama menyampaikan khutbah bahasa Arab. Pokok-pokok isi ceramah dan khutbah sama. Di sini umat menganut pandangan bahwa khutbah Jumat harus dalam bahasa Arab. Khatib tersebut berasal dari India.    

Tata cara seperti itu juga terdapat di Masjid Saad bin Abi Waqqash di Guangzhou, Cina (2017). Khatib menyampaikan ceramah dalam bahasa setempat (mungkin Mandarin atau Cantonese language) selama hampir satu jam. Setelah itu khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ceramah hingga salat Jumat selesai sekitar dua jam. Khutbah dengan bahasa Arab juga masih diterapkan di beberapa masjid di Indonesia, seperti di salah satu masjid di kawasan Puncak, Bogor. Ketika itu, ceramah sebelum khutbah disampaikan dalam bahasa Sunda. Khutbah dalam bahasa Arab. Tujuannya untuk menjaga ketentuan dan kekhusyukan ibadah, sedangkan ceramah untuk menambah pengetahuan dan wawasan jamaah. []

(H.M.Hamdar Arraiyyah)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI