Shalat dan Pendakian Spiritual
Renungan Peristiwa Isra dan Mikraj
Oleh: H. M. Hamdar Arraiyyah
(Profesor Riset Bidang Agama dan Tradisi Keagamaan pada BLA Makassar)
Peristiwa Isra dan Mikraj (al-Isra’ wa al-Mi‘raj) yang dialami oleh Nabi Muhammad saw. terjadi pada tanggal 27 Rajab (kurang lebih) satu setengah tahun sebelum beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Demikian disebutkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997). Tanggal 27 Rajab 1440 H bertepatan dengan 3 April 2019. Sehubungan dengan hal itu, mengenang peristiwa yang terjadi lebih dari empat belas abad silam dapat dijadikan sebagai momentum untuk merenungkan kembali keutamaan salat lima waktu yang mulai diwajibkan pada waktu itu. Salat sebagai rukun Islam yang kedua merupakan ibadah yang hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang sudah mencapai usia akil balig.
Kata ibadah sudah dikenal luas di kalangan pemeluk Islam. Umat menggunakan kata ibadah yang dihubungkan dengan kewajiban keagamaan yang sifatnya khusus, seperti salat, zakat, puasa dan haji. Kata ibadah digunakan juga untuk pengertian yang sifatnya umum, yakni semua perbuatan Muslim yang diridai oleh Allah Swt. yang mencakup kepatuhan, menuruti perintah dan menjauhi larangan-Nya (Ibnu ‘Asyur, 2000). Bahkan, ulama sering menjelaskan firman Allah Swt. di dalam Alquran terjemahnya, “Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (adz-Dzariyat/51: 56).
Ibadah adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Melalui ibadah, manusia sebagai hamba Allah yang kedudukannya rendah dan lemah menjalin komunikasi dengan Allah Yang Mahakuasa, Mahamulia dan tak tampak oleh indra mata. Ibadah merupakan suatu bentuk komunikasi antara makhluk dan Khalik. Karenanya, aktivitas ibadah dapat disebut sebagai upaya pendakian spiritual.
Istilah pendakian ini juga mengisyaratkan bahwa upaya itu memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh dan terus-menerus. Pendakian itu mempunyai ketentuan yang harus dipenuhi, yakni sebelum dan pada saat melaksanakan suatu ibadah. Ketentuan itu mencakup larangan yang yang harus dihindari. Lebih dari itu, ibadah mengandung nilai-nilai luhur yang harus dijaga dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan mematuhi berbagai macam ketentuan itu, seorang hamba dapat mencapai tujuan dan meraih manfaat yang diharapkan dari ibadah.
Ketekunan dalam melaksanakan ibadah akan melahirkan pribadi yang saleh. Istilah saleh mengandung arti “baik”. Dengan demikian, orang yang saleh akan menampakkan kebaikan pada dirinya sebagai individu yang taat dan sebagai warga masyarakat. Sebutan yang lazim dipakai yakni, kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Jika di dalam kehidupan sehari-hari ada pemeluk Islam yang rajin menunaikan ibadah, namun belum menunjukkan perilaku yang baik, maka penyebabnya harus ditelusuri pada diri orang yang bersangkutan. Sebab, ajaran yang bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui mengandung kebaikan dan bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Dalam kaitan ini, penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa kelemahan dan keterbelakangan pada sebagian orang dan komunitas Muslim harus ditimpakan pada orang yang besangkutan, bukan pada Islam. Dengan demikian, hal yang perlu dilakukan adalah memberi dorongan dan bantuan kepada setiap Muslim agar memiliki pengetahuan yang dalam dan penghayatan yang kuat serta penerapan yang tepat dari ajaran agamanya. Kesemua itu dilakukan di bawah bimbingan ulama dan pemuka agama yang diakui ilmunya dan dikenal kesalehannya.
Isra Mikraj dan Salat
Peristiwa Isra dan Mikraj dijelaskan pada sejumlah ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw. Peristiwa itu mengandung banyak pelajaran bagi kaum Muslimin. Di antaranya: 1) Perintah salat disampaikan langsung oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. di Sidratulmuntaha pada waktu Mikraj ke langit. Nabi Saw tidak diampingi oleh malaikat Jibril a.s. pada saat menerima perintah itu. Ini mencerminkan kedudukan salat yang istimewa dibandingan dengan ibadah lainnya; 2) Nabi Muhammad saw. sebagai pembimbing spiritual mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt. Kedudukan itu cocok bagi seorang teladan; 3) Tata cara salat bersumber dari Allah Swt. Artinya, upaya manusia mendekatkan diri kepada Allah Swt. harus didasarkan pada tuntunan-Nya, bukan atas keinginan atau pikiran manusia; 4) Nabi saw. mengajarkan tata cara salat kepada umatnya secara lisan dan pengamalan nyata. Tatacara itu bersifat baku dan mengikat.
Di dalam ibadah salat terdapat sejumlah ucapan dan gerakan tubuh serta amalan hati yang harus dikerjakan. Amalan hati menurut ulama, adalah niat untuk menunaikan salat karena Allah Swt. Hati diarahkan agar meresapi makna bacaan yang diucapkan dan gerakan yang dilakukan. Perhatian tertuju sepenuhnya pada apa yang sedang diucapkan dan dikerjakan yakni, melaksanakan perintah Allah, mengingat dan mengagungkan nama-Nya, dan menyampaikan permohonan kepada-Nya.
Bacaan salat mengandung makna komunikasi langsung antara hamba dan Khalik. Ini dapat dilihat, misalnya, pada kandungan surah al-Fatihah yang wajib dibaca pada waktu salat. Ayat kelima menyatakan, yang artinya “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” Pernyataan ini ditujukan langsung kepada Allah Swt.
Nabi Muhammad saw. menyatakan bahwa “Sesungguhnya salat ini tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena salat itu pada dasarnya adalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an”(HR. Muslim). Tuntunan ini mengharuskan bacaan salat dibaca sesuai aslinya dalam bahasa Arab. Tuntunan ini mengharuskan setiap Muslim untuk menghafal sejumlah teks. Ini mengisyaratkan bahwa jalan spiritual ini berlaku untuk semua orang yang beriman di muka bumi, termasuk orang yang baru masuk Islam. Hanya saja Islam memberi petunjuk bahwa pendakian spiritual itu dilalui secara bertahap. Orang beriman berusaha mendekatkan diri kepada Allah Swt. sedekat mungkin seiring dengan peningkatan pengetahuan, penghayatan dan pengamalan agama dari waktu ke waktu.
Pendekatan diri kepada Allah dalam salat tercermin pula pada gerakan rukuk dan sujud. Alquran melarang manusia sujud kepada matahari dan bulan (Fushshilat/41: 37). Islam melarang pemeluknya untuk menempatkan sesama manusia dan semua makhluk setara dengan Allah Swt. Perbuatan semacam itu disebut syirik. Orang yang melakukannya disebut musyrik. Manusia hanya diperintahkan sejud kepada Allah Swt. Ini disebutkan di dalam Alquran, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah)(al-‘Alaq/96: 19). Hadis Nabi Muhammad saw. menerangkan keutamaan sujud: “Kedudukan hamba yang paling dekat dengan Allah ialah pada waktu ia bersujud. Maka perbanyaklah doa saat sujud.” (HR. Muslim). Diharapkan agar setiap Muslim merasakan kedekatan itu.
Menunaikan salat berarti menempuh jalan spiritual yang dapat mengangkat derajat hamba yang menjalankannya di sisi Allah di dunia dan akhirat. Setiap bacaan dan gerak dalam salat mengandung hikmah yang harus diresapi. Pemahaman tentang hal ini dapat ditingkatkan dengan mengikuti kajian agama secara rutin. Salat sunat diperbanyak. Frekuensi partisipasi dalam salat berjemaah di masjid ditingkatkan. Demikian seterusnya, amal saleh lainnya juga diperbanyak. Semoga. []
Hamdar Arraiyyah/diad