Tiga Profesor Komentari Kajian Awal Strategis Pencapaian SDGs Pendidikan Berkualitas
Jakarta (Balitbang Diklat)---Tiga profesor Balitbang Diklat Kementerian Agama aktif memberi komentar dan catatan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) atau Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Jakarta, Rabu (18/9/2024). FGD tersebut bertema Kajian Strategis Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Pendidikan Berkualitas.
Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kemenag Prof Amien Suyitno saat didaulat sebagai narasumber mengatakan bahwa sejatinya kajian ini hendak memotret SDGs dalam konteks Kemenag. Oleh karena itu, penting diketahui ruang lingkup dalam konteks pendidikan di Kemenag.
“Ada dua pendekatan. Pertama, berbasis Islam. Kedua, berbasis non-Islam. Jadi, kita tidak sedang ingin memotret pendidikan secara umum. Karena itu sudah banyak. Sebenarnya asal-usul kajian ini saya diundang Bappenas. Salah satu pertanyaannya apakah SDGs sudah diimplementasikan di pendidikan tinggi Kemenag,” ujarnya.
Kaban mengatakan, jika judulnya ingin lebih spesifik adalah implementasi SDGs di Kemenag. Khususnya di satuan pendidikan yang dikelola Kemenag baik yang ada di Ditjen Pendidikan Islam maupun di Bimas semua agama.
“Ini memang sejalan dengan ide GusMen agar pendidikan itu untuk semua (education for all). Tinggal kemudian apakah yang kita rancang ini sudah sejalan dengan standar SDGs atau belum,” kata Kaban Suyitno.
Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang ini berpesan agar riset Balitbang Diklat berkontribusi bagi unit Eselon 1 terkait. “Jangan hanya riset untuk riset. Kenapa riset kita tidak dirujuk oleh pejabat kita untuk policy brief karena memang tidak dibutuhkan,” terangnya.
Perlu Benchmarking
Sesban Litbang Diklat Prof Arskal Salim selaku narasumber kedua menyoroti bahwa paparan tentang SDGs yang cukup general ini agar direduksi menjadi data-data spesifik yang berkaitan dengan pendidikan agama dan keagamaan.
“Ketika kita ingin memotret bagaimana peta pendidikan berkualitas di lingkungan Kemenag, jawabannya tentu kita harus ada bencmarking,” kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Menurutnya, kajian ini tepat sekali dilakukan Puslitbang Penda karena memiliki efek banyak, khususnya untuk mendatangkan argumen bahwa kita butuh anggaran tambahan. “Kita butuh dari pemda dan juga nasional,” tandas Sesban.
Sesban menambahkan bahwa kajian ini seperti membongkar ulang sekaligus menyusun kembali untuk mendapatkan data-data relevan yang menggambarkan bagaimana pendidikan berkualitas di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan.
Fokuskan Kajian
Sementara, Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Prof Rohmat Mulyana Sapdi sebagai ‘tuan rumah’ memiliki sejumlah catatan. Antara lain, fokus kajian seharusnya tidak melebar.
“Nggak usah ke mana-mana. Mikirin pendidikan yang dikelola Kemenag itu sudah mumet. Boleh data tentang madrasah digunakan, akan tetapi perlu dipahami betul konteksnya,” kata Prof Rohmat.
Kedua, lanjut Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini, analisis variabel tentang sekolah negeri dan swasta sejatinya tidak perlu dilihat secara internal pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh Kemenag. Kemudian, lingkup kajian melebar ke nonformal.
“Saya lihat di meta data indikator, tidak perlu masuk ke situ. Kalau masuk isu nonformal dalam pengertian luas itu memang membingungkan. Masuknya isu tentang Puskesmas, layanan kesehatan, dan sebagainya juga tidak relevan karena itu tugas Kemenkes,” terangnya.
Disparitas Pendidikan
Sebelumnya, Prof Maila dari selaku pemateri memaparkan temuan bahwa terjadi disparitas pendidikan. Terutama di daerah terpencil di mana akses guru berkualitas terbatas kemampuan literasi dan numerasi juga terbatas.
“Analisis kami, meskipun ada perbaikan dalam kemampuan literasi dan numerasi, capaian ini masih belum optimal,” ungkapnya.
Dalam temuannya, ia menyebut bahwa pada 2022 tingkat kemahiran membaca di kelas 5 mencapai 61,53%. Sedangkan Matematika hanya 53,47%. Penurunan kemahiran terlihat lebih signifikan di kelas 11 dengan tingkat kemahiran Matematika hanya 41,14%.
“Jadi, inilah PR kita. Kemampuan literasi dan numerasi yang rendah dapat disebabkan oleh pendekatan pembelajaran yang kurang efektif dan kurikulum yang kurang relevan dengan kebutuhan siswa atau keterbatasan akses terhadap sumber belajar berkualitas,” papar Prof Maila.
Ia berharap FGD ini dapat menghasilkan rekomendasi strategis serta menjadi dasar dalam pengembangan kebijakan pendidikan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. “Kita berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam pencapaian SDGs, terutama dalam bidang pendidikan, demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang,” ujarnya.
FGD yang dijadwalkan sehari ini menggandeng PT Mahardika Riset and Consulting sebagai mitra. Hadir dalam diskusi perwakilan Kemdikbud dan Ditjen Pendidikan Islam Kemenag. Kegiatan dihelat di Hotel 101 Urban Thamrin Jl Taman Kebon Sirih, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
(Ova)