Turun ke Jambi, Fakta Menjelaskan Penyegelan Tiga Gereja Tepat Menghindari Konflik

19 Okt 2018
Turun ke Jambi, Fakta Menjelaskan Penyegelan Tiga Gereja Tepat Menghindari Konflik

Jakarta (Oktober 2018). Sejak akhir September kemarin, pemberitaan soal penyegelan tiga gereja di Kota Jambi cukup mewarnai media massa. Sebagaimana diberitakan di beberapa media, penyegelan tersebut dilakukan oleh Satpol PP dengan dukungan Kesbangpol dan aparat kepolisian Kota Jambi pada tanggal 27 September 2018 lalu. Penyegelan dialami pada Gereja Methodist Indonesia (GMI), Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), dan Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI).

Polemik terjadi di media sosial soal penyegelan tiga gereja yang terletak di RT. 07 Kelurahan Kenali Besar, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi tersebut. Sebagian media mempersoalkannya lewat pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM), yang menganggap penyegelan tersebut telah merenggut hak asasi pemeluknya untuk beribadah. Sebagian lain bisa menerima langkah penyegelan oleh Pemkot itu dengan sudut pandang regulasi pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No. 8 dan 9 Tahun 2006. Lingkungan RT.07 sendiri ditempati 200 KK dan hanya  15 KK yang beragama Kristen.

Sebagaimana diketahui, dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri (PBM) No. 8 dan 9 Tahun 2006 itu dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadat wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu juga harus memenuhi persyaratan khusus. Persyaratan khusus tersebut meliputi:

  1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;

  2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

  3. Rekomendasi tertulis dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota; dan

  4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten/Kota.

Sejauh laporan yang diterima Balitbang, Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK), Ibnu Hasan Muchtar dan Edi Junaedi, selama di Jambi sempat bertemu dan mewawancarai beberapa pihak terkait dengan kasus tersebut. Mereka antara lain: Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Jambi bersama Kasubbag KUB dan Hukum, Kepala Kemenag Kota Jambi, Pengurus RT.07 dan beberapa Pengurus RT sekitar di Kelurahan Kenali Besar, Pendeta GMI dan GSJA (HKI berhalangan), Kaban Kesbangpol, Ketua MUI, dan sejumlah Pengurus FKUB Kota Jambi.    

Fakta menjelaskan bahwa secara resmi warga sudah melakukan laporan keberadaan bangunan yang dijadikan tempat beribadah di RT.07 sejak 12 Juli 2018. Mereka menganggap tiga bangunan tersebut tidak memiliki izin dari warga dan sudah diingatkan sejak awal. “Kami sudah ingatkan sejak gedung itu mulai dibangun, agar tidak diteruskan bila memang untuk rumah ibadah”, tegas Ketua RT.07 Wahyuddin. Kami sesungguhnya hanya mempersoalkan keberadaan tiga gereja itu yang tidak sesuai dengan aturan (baca: PBM). Hak jemaatnya untuk beribadah tetap dihormati dan itu sudah ditentukan tempatnya oleh Pemkot di Kota Baru, imbuh pria separuh baya itu Kamis (2/10) malam di rumah Ketua DKM Asy-Syuhada, Abdul Gani Siregar.

Problem legalitas itu diakui oleh pendeta GMI, Tampubolon. “Kami memang mengakui bahwa gereja kami belum memiliki Izin Mendirikan bangunan (IMB). Hanya saja, kami kaget dan kecewa bila langkahnya adalah penyegelan”, jelas Pendeta yang baru dua tahun bertugas di Jambi dalam pertemuan di rumah samping gereja GSJA (3/10) lalu.

Pihak Pemkot, yang diwakili Kesbangpol melakukan pertemuan dengan warga pada tanggal 20 Juli 2018 dan dengan pendeta gereja pada tanggal 26 Juli 2018 dalam rangka menindaklanjuti surat warga di atas. Karena dianggap belum ada kejelasan, pada tanggal 01 Agustus pihak warga mengirimkan kembali surat yang mempertanyakan tindaklanjut pertemuan sebelumnya.

Karena belum juga ada tindaklanjut dari pemerintah, akhirnya pihak warga kembali mengajukan surat pada tanggal 27 Agustus 2018 yang berisi tuntutan penutupan gereja dan segala aktivitasnya, dengan memberi batas waktu sampai tanggal 28 September 2018. Merespon hal itu, pada tanggal 5 September 2018 Kesbangpol Kota Jambi mengadakan rapat koordinasi dengan beberapa instansi terkait.

Di sisi lain, pihak warga sendiri melakukan pertemuan intensif untuk membahas langkah-langkah yang diambil menyikapi kelambanan pemerintah dalam menyelesaikan keberadaan tiga gereja yang dilaporkan warga itu. Hasil pertemuan tersebut disampaikan warga lewat surat tertanggal 17 September 2018 kepada Pemkot Jambi. Puncaknya, seminggu kemudian warga menyampaikan surat kembali tertanggal 24 September 2018. Lewat surat ini warga dan tokoh masyarakat tetap menolak keberadaan Geraja di RT. 07 dan bila sampai batas waktu tersebut (28 September 2018) tidak ada keputusan pemerintah, mereka akan mengadakan “Aksi Damai” (demonstrasi) penutupan gereja.

Merespon surat warga tersebut, selain rapat di Kesbangpol, Camat Alam Barajo dan Kapolres Jambi juga secara terspisah melakukan pendekatan dengan warga. Namun, upaya mediasi tersebut tidak membuat mereka merubah rencana aksi damainya pada tanggal 28 September 2018.

Dalam kondisi yang sudah mulai tidak kondusif tersebut, pada tanggal 26 September 2018, di Balai Adat Kota Jambi diadakan Rapat dengan Ketua Lembaga Adat, Ketua MUI, Ketua FKUB, Kesbangpol Kota Jambi, Camat Alam Barajo, Sekum PGI, Tokoh Lintas Agama (Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu) beserta instansi terkait lainnya.  Pertemuan ini menyepakati untuk menyegel tiga gereja tersebut, karena tidak memiliki IMB sebagimana Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No. 8 dan 9 Tahun 2006 Pasal 14 Ayat 2A dan B. Dengan pertimbangan demi menjaga stabilitas keamanan dan ketentraman Kota Jambi, maka diputuskan pula untuk melakukan penyegelan oleh Pemkot Jambi pada tanggal 27 September 2018.

Saat hari penyegelan, suasana sekitar gereja sempat mengkhawatirkan karena ada penolakan dari puluhan jemaat gereja yang dating, terutama di Gereja Methodist Indonesia (lihat:https://www.youtube.com/watch?v=_nDFJ86jQH8). Warga sendiri saat itu hanya melihat dari jauh proses penyegelan dan tidak mendekati gereja, karena  langkah itu dianggap sudah memenuhi keinginan sementara warga, kata Ketua RT.07 ketika ditemui di Masjid Syuhada hari Sabtu (6/10). “Untung tidak ada aksi massa dari warga saat itu. Kalau ada, entahlah apa yang terjadi”, ujar Beni, salah satu Kabid di Kesbangpol Kota Jambi, menceritakan suasana penyegelan saat ngobrol santai di sebuah warung kopi hari Kamis (4/10) malam.

Saat ditanya tentang keputusan penyegelan itu, Kaban Kesbangpol Liphan Pasaribu hari Rabu (03/10) lalu di kantornya menjelaskan, “Penyegelan gereja merupakan keputusan tepat untuk menghindari konflik antara umat beragama, terutama warga dan jemaat tiga gereja tersebut”. Pada kesempatan lain, Tarmizi Ketua MUI Kota Jambi memiliki pandangan yang sama, begitu juga dengan Husain Ketua FKUB Kota Jambi hari Kamis (04/10) lalu. Dengan bahasa lain, Husain menyatakan bahwa karena secara hukum memang tidak berizin dan upaya mediasi tidak bisa merubah keberatan warga atas keberadaan gereja tersebut, maka penyegelan adalah langkah yang tepat untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan.

[Edijun/diad]

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI