Warisan Budaya Bangsa Terancam Hilang, Ini Upaya Darurat Pelestarian Manuskrip dan Naskah Kuno Keagamaan

26 Jul 2024
Warisan Budaya Bangsa Terancam Hilang, Ini Upaya Darurat Pelestarian Manuskrip dan Naskah Kuno Keagamaan
Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat menggelar diskusi pembahasan upaya pelestarian manuskrip dan khazanah keagamaan Indonesia di Jakarta, Kamis (25/7/2024).

Jakarta (Balitbang Diklat)---Kementerian Agama melalui Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat menggelar diskusi yang membahas upaya pelestarian manuskrip dan khazanah keagamaan Indonesia. Kegiatan dihadiri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Perpustakaan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan UIN Syarif Hidayatullah.

 

Diskusi tersebut menyoroti pentingnya menjaga warisan budaya tak benda berupa manuskrip agar tidak hilang, rusak, dan tercecer begitu saja. Selain itu, ini sebagai upaya konkret untuk menjaga keberlanjutan dan keaslian warisan budaya bangsa.

 

Pada kesempatan tersebut, hadir narasumber Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra BRIN Herry Yogaswara, perwakilan Pusat Preservasi dan Alih Media Bahan Pustaka Ahmad Masykuri, dan Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah sekaligus founder Ngariksa, Prof. Oman Fathurahman. Diskusi dipimping langsung oleh Kepala Puslitbang LKKMO Moh. Isom.

 

Mengawali diskusi Kepala Puslitbang LKKMO Moh. Isom mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi manuskrip dan naskah kuno di Indonesia. Ia mengatakan dari data yang dihimpun dari seluruh Balai Litbang Keagamaan di Indonesia, baru sekitar 3.000 manuskrip yang terkumpul.

 

“Peneliti kami belum pernah melihat bentuk asli manuskrip secara langsung, yang sudah terkumpul baru dalam bentuk foto. Kondisi ini mengkhawatirkan sehingga perlu ada upaya pelestarian manuskrip keagamaan,” ungkap Isom di Jakarta, Kamis (26/7/2024).

 

Lebih lanjut, Isom juga menyoroti perlunya penanganan khusus terhadap manuskrip asli yang rentan terhadap kerusakan akibat beberapa faktor seperti tinta yang luntur, rusaknya bahan media yang digunakan, bencana alam, dan sebagainya.

 

Masalah lain, lanjut Isom, adalah penyebaran manuskrip yang tidak terpusat. Banyak manuskrip yang masih dimiliki oleh perorangan atau individu yang tidak dijaga secara profesional.

 

“Kurangnya kesadaran akan pentingnya pelestarian manuskrip menyebabkan banyak di antaranya tersimpan dalam kondisi yang tidak layak sehingga mengalami kerusakan,” tuturnya.

 

"Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah jelas mengatur perlindungan terhadap naskah kuno. Namun, kita perlu regulasi yang lebih kuat untuk mewajibkan pemilik manuskrip untuk mendaftarkan koleksinya ke Perpustakaan Nasional,” imbunya.

 

Menanggapi hal tersebut, perwakilan Perpusnas Ahmad Masykuri mengatakan instansinya memiliki tusi Konservasi dan Alih Media. Secara total naskah kuno dari Indonesia yaitu sekitar 121.000, yang berada baik di dalam negeri maupun luar negeri.

 

“Di dalam negeri terdapat sekitar 80.000-an dan di luar negeri 39.000-an, semuanya didigitalisasikan. Kami ada target dalam 1-2 tahun ini akan full kami digitalisasi,” jelas Ahmad.

 

Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra BRIN Herry Yogaswara memaparkan peta jalan riset manuskrip yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Solusi lain yang ditawarkan adalah pengembangan sistem informasi terpadu untuk menghimpun data manuskrip keagamaan melalui satu pintu.

 

 

"Dengan adanya sistem informasi ini, kita dapat memfasilitasi kolaborasi riset antara peneliti, universitas, dan lembaga terkait lainnya. Sistem informasi terpadu mengenai manuskrip keagamaan ini dapat menjadi referensi utama untuk mengambil data-data manuskrip keagamaan,"ujar Herry Yogaswara.

 

Kesimpulan dari hasil diskusi yaitu kolaborasi dan sinergi antar kementerian/lembaga termasuk juga organisasi masyarakat berbasis keagamaan menjadi kunci keberhasilan upaya pelestarian manuskrip dan naskah kuno keagamaan sebagai warisan budaya bangsa.

 

Menutup diskusi, Isom menekankan bahwa kita perlu mengubah paradigma untuk kemajuan bangsa Indonesia. Bahwa tidak hanya diperlukan pembangunan infrastruktur tetapi juga diperlukan pelestarian budaya tak benda.

 

“Bukan hanya pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, gedung, transportasi, dan benda-benda lainnya yang kita perlukan, tapi pelestarian budaya tak benda seperti manuskrip dan naskah kuno keagamaan sama pentingnya. Kita tidak ingin warisan budaya kita hilang begitu saja," tutup Isom.

 

(Maudy Mishfanny/diad)

Penulis: Maudy Mishfanny
Sumber: Puslitbang LKKMO
Editor: Dewi Indah Ayu/Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI