Benarkah Indonesia semakin Tidak Toleran dalam Kehidupan Umat Beragama?

5 Jul 2012
Benarkah Indonesia semakin Tidak Toleran dalam Kehidupan Umat Beragama?

“Secara semantik dan logika adalah salah besar menggunakan generalisasi kesimpulan bahwa Indonesia negara yang tidak toleran hanya dengan melihat satu atau dua kasus yang tidak dominan, untuk itu kita harus bedakan antara Fakta dan Opini“……….
 

Jakarta, 27/06 (Puslitbang 1) - Demikian pernyataaan Wakil Menteri Agama Prof. DR. Nasaruddin Umar dalam pembukaaan Seminar sehari yang bertema ‘Benarkah Indonesia semakin Tidak Toleran dalam kehidupan Umat Beragama’. Seminar ini diadakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI dan dihadiri oleh sekitar lima puluh peserta yang merupakan representasi akademisi, peneliti, Ormas keagamaan dan pemuka agama, dengan narasumber KH. Hasyim Muzadi (World Conference of Religions for Peace/ WCRP), Bonar Tigor Naispospos (SETARA Institute), Acep Sumantri (representasi Ditjen HAM Kemenlu), Prof.Dr. Ronald Lukens-Bull dari University of North Florida (penulis buku ‘Peaceful Jihad’), serta Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan.

Dalam kesempatan ini Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Prof.DR Machasin, mengatakan bahwa acara ini diselenggarakan berdasarkan beberapa kebutuhan tentang konfirmasi dan klarikasi mengenai potensi kerukunan dan konflik di Indonesia (toleran/intoleran), dan lebih lanjut diharapkan forum ini menjadi media untuk menyeimbangkan informasi yang berkembang di masyarakat mengenai dinamika kehidupan keagaman terkini, tentu saja berdasarkan fakta dan data yang faktual dan bukan berdasarkan opini semata.

Salah satu narasumber yang paling menarik perhatian media dan audiens adalah KH. Hasyim Muzadi. Kyai kharismatik tersebut dalam seminar itu mengatakan bahwa HAM yang digelindingkan oleh PBB dan dunia internasional dan dijadikan parameter global dalam menilai dinamika HAM di negara-negara lain - termasuk Indonesia, selaiknya  mempertimbangkan ‘local culture’ dimana  setiap negara memiliki sistem kenegaraan, sistem kemasyarakatan dan tata nilai yang khas dan unik dan lebih detail dijabarkan pada perundang-undangan. Semua hal tersebut harus djadikan pertimbangan yang substansial dalam menilai realisasi HAM dinegara terkait, sehingga jangan karena alasan HAM kemudian berdampak pada disintegrasi NKRI, tirani minoritas dan atau dominasi mayoritas.

Prof.Ronald menegaskan juga bahwa sebaiknya definisi toleran dan tidak toleran dikaji ulang agar tidak terjebak pada generalisasi persoalan, karena, menurut beliau selama melakukan penelitian di Indonesia khususnya tentang Radikalisme dan Pesantren beliau tidak mendapatkan kasus intoleransi berkembang secara massif. Satu-satunya hal yang tidak dapat dikompromi dan tidak ditoleransi oleh bangsa Indonesia adalah kolonialisme.

Seminar ini ditutup oleh Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof.H. Abd. Rahman Mas’ud Ph. D, dengan peryataan bahwa : Kedamaian dan harmoni bukanlah satu hal yang  ‘taken for granted’ . Dua hal itu harus diupayakan oleh semua pihak dan elemen masyarakat, untuk itu kita semua harus melakukan optimalisasi peran dalam proses kerukunan dan harmoni, terutama di level akar ( grass-root).

Beliau juga mencontohkan salah satu program unggulan yang ada di Puslitbang Kehidupan Keagamaan yaitu ‘Dialog Mulitikulturalisme’ yang diadakan diseluruh 33 provinsi Indonesia. Program tersebut adalah bentuk nyata dari bentuk penanganan dan pengelolaan Negara atau Pemerintah dalam menumbuhkembangkan budaya damai di masyarakat umum . (photo by Pinmas)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI