Beragama is Never Ending Process

4 Nov 2022
Beragama is Never Ending Process
Lukman Hakim Saifuddin memberikan materi penguatan moderasi beragama di BDK Denpasar, Jumat (4/11/2022).

Denpasar (Balitbang Diklat)---Dalam konsep moderasi beragama, bukan agamanya yang dimoderasi, tetapi bagaimana kita memahami dan mengamalkan ajaran agama, sehingga yang dimoderasi adalah cara beragamanya.

Demikian yang disampaikan oleh Lukman Hakim Saifuddin saat memberikan materi terkait moderasi beragama dalam Pelatihan Penguatan Penggerak Moderasi Beragama Angkatan XIV dan XV Balai Diklat Keagamaan Denpasar Tahun 2022. Kegiatan berlangsung pada 31 Oktober – 5 November 2022.

Lukman menegaskan terkait pemahaman moderasi, bahwa banyak di antara masyarakat Indonesia yang belum memahami seutuhnya konsep moderasi tersebut. “Yang dimoderasi adalah cara beragama yang dibawa ke tengah, yang berprinsipkan adil, tidak cenderung ke “kutub” manapun yang akan mengarah pada ekstremisme,” ujarnya di Denpasar, Jumat (4/11/2022).

“Ekstrem ini berada di pinggir jadi mudah tergelincir. Apa yang dimaksud di tengah, di tengah yang berprinsipkan adil dan tengah, dan tidak condong ke satu kutubnya yang ekstrim,” sambungnya.

Lebih lanjut, Lukman mengatakan manusia harus memahami inti ajaran agama yakni bagaimana memanusiakan manusia. Agama hadir agar harkat, derajat, dan martabat manusia menjadi terjaga bahkan meningkat kualitasnya.

“Agama itu vital bagi Bangsa Indonesia. Latar belakang munculnya moderasi adalah orang beragama justru mengingkari inti pokok ajaran agama, seperti munculnya fenomena tafsir-tafsir agama yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Muncul pula fenomena orang beragama justru mengoyak dan merusak ikatan kebangsaan,” katanya.

Menurut Lukman, inti ajaran agama adalah memanusiakan manusia. Agama hadir agar harkat derajat martabat manusia terjaga dan meningkat kualitasnya.

“Tuhan telah menurunkan wahyu dalam bentuk kitab suci dan orang-orang suci seperti nabi, sulinggih, dll. Orang–orang suci saat ini sudah tiada, kita tidak hidup lagi dengan mereka,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, lanjut Lukman, tidak terelakkan ketika kita ingin memahami ajaran agama, maka kita akan bersinggungan dengan teks-teks keagamaan yang ada di kitab suci. “Di sinilah muncul potensi untuk membenci perbedaan karena kita hanya memahami secara tekstual, tidak secara kontekstual, atau sebaliknya. Ini yang sangat berbahaya bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia,” papar Menteri Agama Republik Indonesia Periode 2014-2019 ini.

Dalam beragama ada wilayah internum dan eksternum. Wilayah internal dimana ada otoritas diri dalam meyakini agama yang dianut. Tidak ada yang bisa mengintervensi dan tidak ada toleransi di wilayah internum.

“Sedangkan di wilayah eksternum adalah wilayah eksternal, yakni mengimplementasikan paham agama saat memasuki wilayah publik yang beragam. Ketika inilah harus ada toleransi dan sikap menghargai antar sesama,” ujarnya.

Terakhir, Lukman mengatakan ada dua ciri utama Bangsa Indonesia yakni heterogenitas dan keberagamannya. “Inilah bangsa yang tidak bisa dipisahkan kehidupannya dengan nilai-nilai. Tidak ada urusan Bangsa Indonesia yang tidak terkait dengan nilai nilai agama,” tandas Bapak Pencetus Moderasi Beragama menutup paparannya.[]

Cucu/diad

Penulis: Cucu BDK Denpasar
Editor: Dewindah
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI