Literasi Keagamaan Jadi Solusi Intoleransi: Kepala PPBAL2K Ungkap Cara Wujudkan Indonesia Toleran

23 Apr 2025
Literasi Keagamaan Jadi Solusi Intoleransi: Kepala PPBAL2K Ungkap Cara Wujudkan Indonesia Toleran
epala Pusat Penilaian Buku Agama, Lektur, dan Literasi Keagamaan (PPBAL2K), M. Sidik Sisdiyanto, saat memberikan materi pada Diklat Pembelajaran Berdiferensiasi Guru Angkatan III dan Pelatihan Asesmen Pembelajaran bagi Guru Angkatan V dan VI secara daring, Selasa (22/4/2025).

Jakarta (BMBPSDM)--- Kepala Pusat Penilaian Buku Agama, Lektur, dan Literasi Keagamaan (PPBAL2K), M. Sidik Sisdiyanto, memaparkan strategi pembangunan bidang agama dan kehidupan beragama di Indonesia. Ia menekankan peran penting penguatan literasi keagamaan sebagai kunci terciptanya harmoni sosial dan pembangunan berkelanjutan di tengah keberagaman agama di Indonesia.

 

Menurut Kapus Sidik, tantangan utama dalam kehidupan beragama saat ini lebih berfokus pada pemahaman lintas agama serta munculnya sikap intoleransi dan ekstremisme. “Literasi keagamaan bukan sekedar memahami agama sendiri, tapi juga tentang bagaimana kita menghargai iman orang lain,” ungkapnya saat memberikan arahan pada diklat yang diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan Manado secara daring, Selasa (22/4/2025).

 

Dalam pelatihan bertajuk Pembelajaran Berdiferensiasi Guru Angkatan III dan Pelatihan Asesmen Pembelajaran bagi Guru Angkatan V dan VI tersebut, Sidik menyampaikan bahwa literasi keagamaan berperan penting dalam membentuk masyarakat yang inklusif dan toleran.

 

“Literasi keagamaan berperan dalam mencegah radikalisme, memperkuat demokrasi, dan menghormati hak asasi manusia. Hal ini karena literasi keagamaan mencakup pemahaman konsep dasar beragama dan sikap inklusif, reflektif, dan kritis dalam menjalani keberagaman,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Kapus Sidik juga memaparkan sejumlah strategi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan literasi keagamaan, antara lain perlunya penguatan pendidikan keagamaan, pemberdayaan lembaga keagamaan, pengembangan dialog antaragama, serta penguatan regulasi yang mendukung kerukunan.

 

“Di samping itu, kita perlu juga memberikan pelatihan kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta kampanye moderasi beragama yang dapat dijangkau masyarakat luas seperti melalui media sosial dan program literasi digital,” paparnya.

 

Sesi diskusi menghadirkan tanggapan dan pertanyaan kritis dari peserta. Salahudin, peserta asal Banggai, menyoroti lemahnya implementasi regulasi dalam kasus pendirian rumah ibadah.

 

Menjawab hal tersebut, Sidik menyampaikan bahwa kasus itu biasanya bukan karena tidak hadirnya regulasi, tetapi lebih pada ketaatan terhadap aturan yang berlaku.

 

“Saya setuju bahwa regulasi itu menjadi kunci, termasuk dalam pendirian rumah ibadah. Tapi kadang kita menghadapi ego sektoral. Padahal kalau regulasi sudah terpenuhi seperti izin lingkungan, tanda tangan warga, dan sebagainya, itu kan seharusnya tidak ada masalah,” tuturnya.

 

“Jangan sampai kita merasa terganggu hanya karena rumah ibadah umat lain berdiri. Apa iya, kalau ada gereja, keimanan kita jadi goyah?” imbuhnya.

 

Pertanyaan lain datang dari Supardi perwakilan dari MAN 2 Parigi. Ia bertanya mengenai keyakinan agama yang paling benar.

 

Menjawab hal tersebut, Sidik mengatakan itu wajar dan merupakan hak setiap orang. Tetapi yang menjadi kuncinya adalah jangan sampai memaksakan keyakinan kepada orang lain 

 

“Kita boleh meyakini agama kita yang paling benar, tapi itu tidak berarti kita boleh memaksakan kepada orang lain. Moderasi beragama itu tasamuh (toleransi), tawasuth (jalan tengah), dan tawazun (keseimbangan). Kita meyakini kebenaran agama kita sambil tetap menghargai saudara kita yang beragama lain,” jelasnya.

 

Pertanyaan terakhir disampaikan Ida Priyati, peserta dari Kemenag Banggai. Ia menanyakan langkah konkret dari frasa ‘determinasi keagamaan untuk harmonisasi sosial’ yang disebut dalam paparan.

 

Sidik menjelaskan bahwa determinasi keagamaan diwujudkan melalui peningkatan literasi keagamaan yang menyeluruh. Literasi keagamaan itu bukan hanya tahu ajaran sendiri, tapi juga memahami ajaran agama lain, agar ketika melihat orang lain beribadah, kita bisa menghargainya.

 

“Ini bukan soal ritual semata, tapi soal cara kita hidup berdampingan secara damai,” ujarnya.

 

Ia menambahkan bahwa kemampuan tersebut harus dikembangkan sejak dini, dimulai dari cara berpikir yang adil, moderat, dan menghargai keberagaman di lingkungan sekitar.

 

Sebagai penutup, Sidik berharap dengan adanya pendekatan literasi keagamaan, akan muncul agen-agen perubahan yang mampu menyemai perdamaian dan toleransi dari akar rumput. “Mari kita mulai berpikir secara adil, moderat, dan toleran yang dimulai sejak dalam pikiran, bukan hanya dalam tindakan,” tutup Sidik.

 

(Rheka. H)

Penulis: Rheka Humanis
Sumber: Pusat Penilaian Buku Agama, Lektur, dan Literasi Keagamaan
Editor: Dewi Indah Ayu D.
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI