Betawi dan Banten: Dua Wilayah Berdekatan Namun Berbeda dalam Menerima ajaran Abdussamad

10 Sep 2020
Betawi dan Banten: Dua Wilayah Berdekatan Namun Berbeda dalam Menerima ajaran Abdussamad

Banten (Balitbang Diklat). Penelitian Diaspora Abdussamad Al-Palembani menguak perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan di wilayah yang berkembang ajarannya. Tentu pijakan budaya menjadi sangat berperan dalam penyebaran ajaran Abdussamad terutama ajaran tarekatnya. Pada umumnya ajaran Abdussamad diterima dengan baik kemudian berbaur dan menginternalisasi dengan budaya setempat.

Berbeda dengan Sumatera, Betawi dan Banten menyerap dan mengembangkan ajaran Abdussamad dalam bentuk yang tergolong unik. Temuan penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Betawi melanjutkan praktek tarekat Samaniyah dengan ratib/zikir dan manaqib-nya. Ratib dibaca pada hari-hari tertentu dan manaqib dibaca khususnya pada haul syekh Saman. Perbedaan manaqib dan ratib adalah manaqib menceritakan sejarahnya Syekh Saman hingga perilaku Syekh Saman sampai akhir hayatnya. Sementara ratib adalah bacaan zikir saman yang dibaca al-muluk pada awalnya, istighfar, tahlin dari 100, 500, hingga 10.000 kali. Kemudian dibaca Al fatihah kepada para aulia, dan langsung ke Syekh Saman. Demikian ungkap salah satu informan, Kiyai Sairoji pada saat peneliti wawancara.

Ajaran Samaniyah tidak lakukan di setiap wilayah Betawi. Wilayah Pramuka, misalnya, sama sekali tidak mengenal ajaran Abdussamad. Namun demikian wilayah Kuningan masih kental dengan praktek ajaran Abdussamad, masih mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Abdussamad dalam berzikir. Mengapa Kuningan? Karena di wilayah ini murid Abdussamad mengembangkan ajarannya, yang hingga saat ini masih diteruskan secara turun temurun oleh zurriyat guru Mugni. Tidak hanya itu, di Kuningan juga ditemukan masjid-mesjid yang cukup mewah yang di sana terdapat tokoh dan pengikut tarekat Saman ajaran Abdussamad al-Palembani, yaitu Mesjid al-Mugni, Mesjid Babussalam dan masjid di Padurenan.

Di Kuningan sendiri kemudian berkembang tiga tokoh tarekat yang cukup berpengaruh untuk masyarakatnya. Ketiga tokoh tersebut adalah Ustaz Taufiq Rahmad, Ustaz Sairoji, dan Ustaz Arif yang masing-masing mereka memiliki masjid tempat mereka mengembangkan ajaran Tarekat Saman. Pengembangan ajaran ini di ketiga tempat ini juga terlihat perbedaannya terutama dari sisi pelaksanaan teknis dan intonasi dalam bacaan zikir. Sementara isi zikir tetap sama dengan yang diajarkan Abdussamad.

Lain pula dengan Banten, pelaksanaan samaniyah jauh berbeda dengan praktek yang dilakukan masyarakat Kuningan Betawi. Di Banten tidak ditemukan praktek ratib saman dalam bentuk tarekat, meskipun ditemukan diaspora penduduk Palembang ke Banten, begitu juga sebaliknya sebagian orang Banten berdiaspora ke Palembang. Model ajaran Abdussamad yang berkembang di sini sudah dimodifikasi menjadi seni. Tepatnya di wilayah Pandegelang, desa Kadu Heulak, Suksukan, dan Saketi misalnya, masih melakukan zikir saman namun sudah dibuat dalam bentuk seni. Sehingga istilah yang sangat popular dikenal oleh masyarakat setempat adalah “Seni Beluk Zikir Saman”. Dikatakan beluk karena dalam tradisi seni ini suara adalah yang utama ditonjolkan dalam seni ini. Anggota seni ini khusus laki-laki dan pada umumnya adalah orang tua. Mereka menggunakan kitab Barzanji dalam mengisi seni ini dan dimodifikasikan dengan zikir di dalamnya. Seni ini sudah menjadi tradisi di msyarakat Pandegelang dan dilakukan secara turun temurun. Mereka menyebutkan tradisi seni mereka memiliki hubungan dengan tradisi seni Tari Saman yang di Aceh. Penelusuran untuk wilayah Aceh segera dilakukan dalam waktu dekat untuk mendapatkan jawaban hubungan tersebut.

Temuan penelitian dapat disimpulkan untuk sementara berdasarkan wilayah yang sudah diteliti bahwa jejak Abdussamad dan ajarannya ketika berdiaspora, telah menjadi bagian masyarakat setempat. Nuansa budaya lokal ikut mempengaruhi dalam praktek pelaksanaan ratib dan manaqib saman. Diduga masih ada perkembangan ajaran Abdussamad di wilayah Timur, Manado, dan Ternate sebagai tempat pembuangan Sultan Badarudin 1 dan 2 oleh Belanda pada masa jajahan Belanda. Karena bagi Palembang kedekatan sultan dan ulama adalah ibarat dua sisi mata uang yang punya nilai kalau dua-duanya ada bersama-sama.[]

FI/diad

Penulis: Fakhriati
Editor: Dewindah
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI