Catatan Penting Iktikaf

11 Apr 2023
Catatan Penting Iktikaf
Ustaz/Dai

Jakarta (Balitbang Diklat)---Hari ini kita akan bahas tentang fikih iktikaf. Semoga bermanfaat.

Definisi 

Definisi iktikaf secara bahasa adalah  إقامة (berdiam) atau “الاحتباس”   (memenjarakan).

Secara istilah adalah 

الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة

“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” 

 Iktikaf merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Allah berfirman:

… فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ.

Artinya:  …maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang   ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa” (QS. al-Baqarah, 2: 187).

Rasulullah bersabda:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Bahwa Nabi saw. melakukan iktikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan ramadan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan iktikaf setelah beliau wafat” [HR. Muslim]

Bahkan salah satu fungsi masjid adalah untuk iktikaf

Allah berfirman:

وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (kaabah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah makam Ibrahim itu tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk, dan orang yang sujud” (QS. Al-Baqarah, 2: 125).

Hukum Iktikaf 

Hukum asal iktikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wasallam

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beriktikaf di sepuluh hari awal ramadan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beriktikaf di sepuluh hari pertengahan ramadan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan ramadan. Barang siapa yang ingin beriktikaf, hendaklah dia beriktikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beriktikaf bersama beliau” (HR. Muslim, no: 1167).

Waktu Iktikaf

Secara umum, kita boleh melakukan iktikaf kapan pun kita mau. Namun, khusus untuk sepuluh hari terakhir lebih ditekankan lagi kesunnahannya karena Rasulullah selalu melakukannya bahkan “mengqodho’nya” di tahun lain jika tahun sebelumnya beliau safar.

Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِذَا كَانَ مُقِيماً اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ وَإِذَا سَافَرَ اعْتَكَفَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ عِشْرِينَ.

Nabi sallallahu alaihi wasallam beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beriktikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari” (HR. Ahmad, no: 12036).

Kadang Rasulullah “mengganti” iktikafnya itu di bulan syawal.

Ada riwayat dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wasallam beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan syawal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan syawwal (HR. Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172). Hal ini dilakukan karena beliau pernah meninggalkan iktikaf di bulan ramadan dan menggantinya di bulan syawal.

Iktikaf bisa menjadi wajib jika dinazarkan.

Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi sallallahu alaihi wasallam:

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernazar untuk beriktikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka Nabi sallallahu alaihi wasallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nazar tersebut (HR. Bukhari, no: 1927).

Batas Waktu Iktikaf

Tidak ada batasan khusus dalam syari’at tentang waktu iktikaf. Boleh lama boleh sebentar seperti satu jam atau kurang dari itu.

Allah Swt. berfirman:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Sedang kamu beriktikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Swt. tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beriktikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa” (Al Muhalla, 5: 180).

Dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,

إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف

“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beriktikaf” (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Syarat Iktikaf

Syarat-syarat iktikaf adalah sebagai berikut:

A. Islam

Allah berfirman:

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلاوَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)

“Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterimanya nafkah-nafkah mereka, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak mengerjakan sembahyang melainkan dengan malas, dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan” (At Taubah: 54).

Mafhum mukholafah-nya adalah syarat utama diterimanya amal ibadah apa pun adalah iman dan Islam.

B. Niat

Iktikaf seorang yang gila, mabuk, dan pingsan tidaklah sah karena mereka tidak mampu berniat, tidak pula berakal. Padahal Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya“ (HR. Bukhari, no: 1, Muslim, no: 1907).

Disyariatkannya niat adalah untuk membedakan adat dan syariat. Orang yang mabuk, gila,pingsan, dan tidak berakal tidak sah karena mereka tidak berniat.

C. Suci dari Haid dan Nifas

Firman Allah Swt.,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi” (An Nisa: 43).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

“Allah tabaraka wa ta’ala melarang para hamba-Nya yang beriman mengerjakan salat dalam keadaan mabuk sehingga dia tidak mengetahui makna surat yang dibacanya. Demikian pula Dia melarang mereka yang junub mendekati tempat salat, yaitu masjid kecuali hanya sekedar lewat dari satu pintu ke pintu yang lain tanpa berdiam di dalamnya” (Tafsir Quran al-’Azhim).

Dalil lain adalah sabda Nabi sallallahu alaihi wasallam kepada Aisyah radhiallahu ‘anha yang tengah melaksanakan ihram kemudian tertimpa haid,

افْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

“Kerjakanlah apa yang dikerjakan seorang yang berhaji, namun janganlah engkau bertawaf di Bait al-Haram hingga kamu suci” (HR. Bukhari, Muslim).

Lalu perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha,

كُنَّ الْمُعْتَكِفَاتُ إذَا حِضْنَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِخْرَاجِهِنَّ عَنْ الْمَسْجِدِ

“Kami wanita yang beritikaf, apabila mengalami haid, maka sallallahu alaihi wasallam akan memerintahkan untuk mengeluarkannya dari masjid.” (Ibnu Jarir dalam Al Mughni 5/174 menisbatkan riwayat ini pada Abu Hafsh al ‘Akbari dan dia berkata, “sanad riwayat ini jayyid.”)

Seorang wanita yang mengalami isthadhah diperbolehkan beriktikaf berdasarkan hadis Aisyah radhiallahu ‘anha,

اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ ، فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ ، وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهْىَ تُصَلِّى

“Salah seorang istri Nabi sallallahu alaihi wasallam beriktikaf bersama beliau dalam keadaan ber-istihadhah. Istri beliau tersebut mengeluarkan darah dan lendir berwarna kuning, dia mengerjakan salat dan di bawah tubuhnya terdapat bejana (untuk menampung darah tersebut)” (HR. Bukhari, no: 304).

D. Bagi wanita, memperoleh izin dari suami dan aman dari fitnah

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha

قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ أَنْ تَعْتَكِفَ فَأَذِنَ لَهَا فَضَرَبَتْ فِيهِ قُبَّةً

“Rasulullah sallallahu alaihi wasallam senantiasa beriktikaf di bulan ramadan. Apabila beliau selesai melaksanakan salat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat iktikaf. (Salah seorang perawi hadis ini mengatakan), “Maka Aisyah pun meminta izin kepada Nabi untuk beriktikaf. Beliau pun mengizinkannya dan Aisyah pun membuat kemah di dalam masjid” (HR. Bukhari, no: 1936).

وَسَأَلَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَسْتَأْذِنَ لَهَا

“Hafshah meminta bantuan Aisyah agar memintakan izin baginya kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam (untuk beriktikaf)” (HR. Bukhari, no: 1940).

E. Dilaksanakan di Masjid, lebih utama lagi jika dilakukan di masjid yang dilaksanakan slat Jumat di dalamnya

Firman Allah Swt.,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Dan janganlah kalian mencampuri mereka (para wanita), sedang kalian beriktikaf dalam masjid” (Al Baqarah: 187).

Hadis Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan bahwa ketika Nabi sallallahu alaihi wasallam beriktikaf, beliau mengeluarkan kepalanya dari masjid agar dapat disisir oleh Aisyah dan beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak (HR. Bukhari: 1925, Muslim: 297).

Ijmak yang diklaim oleh sejumlah ulama, Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,

أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون في إلا في المسجد

“Ulama bersepakat bahwa iktikaf hanya boleh dikerjakan di dalam masjid” (Al Jami’ li Ahkam Al Quran 2/324).

Masjid di Indonesia dibedakan menjadi 2 yaitu masjid jamik yang digunakan untuk salat Jumat, dan masjid biasa yang kadang disebut dengan musala,langgar,dll.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan,

لا اعتكاف إلا في مسجد تجمع فيه الصلوات

“Tidak ada iktikaf melainkan di masjid yang di dalamnya ditegakkan salat berjamaah.” (HR. Abdullah ibn Ahmad dalam Masailnya 2/673 dari ayah beliau (imam Ahmad))

Lebih disukai jika hal itu dilaksanakan di masjid jamik (masjid yang juga digunakan untuk salat Jumat). (Al Majmu’ 6/480).

Apakah puasa menjadi syarat iktikaf

Menurut jumhur ulama bukanlah syarat.

Firman Allah Swt.,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Sedang kamu beriktikaf dalam masjid” (Al Baqarah: 187).

Ayat ini menunjukkan pensyariatan puasa tanpa dibarengi puasa karena tercantum secara mutlak tanpa ada pembatasan.

Hadis Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi sallallahu alaihi wasallam

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ »

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernazar untuk beriktikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka Nabi sallallahu alaihi wasallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nazar tersebut.(HR. Bukhari, no: 1927).

Dari Ibnu Abbas ra. dengan sanad yang sahih, bahwa beliau berpendapat bahwa seorang yang beriktikaf tidak wajib berpuasa kecuali dia mewajibkan puasa atas dirinya (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubra:  8370).

Pembatal Iktikaf

a. Jimak (bersetubuh)

Allah Swt. berfirman,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ“

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid” (Al Baqarah: 187).

Ath-Thabari rahimahullah mengatakan,

“Pendapat yang paling benar menurutku adalah pendapat yang menyatakan bahwa maknanya adalah jimak dan segala hal yang serupa dengan itu yang mengharuskan pelakunya mandi. Kemungkinan yang ada hanya dua, yaitu memberlakukan ayat tersebut secara umum atau mengkhususkan ayat tersebut untuk sebagian makna dari mubasyarah. Banyak hadis dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam secara jelas menginformasikan bahwa istri-istri beliau menyisir rambut beliau ketika sedang ber-iktikaf, maka dapat diketahui bahwa makna mubasyarah dalam ayat ini hanya mencakup sebagian maknanya, bukan seluruhnya” (Jami’ul Bayan 2/181).

b. Keluar dari masjid

Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah sallallahu alaihi wasallam pernah memasukkan kepala beliau ke dalam kamarku, sementara beliau berada di dalam masjid, dan saya pun menyisirnya. Beliau tidak akan masuk ke dalam rumah ketika sedang beriktikaf, kecuali ada kebutuhan mendesak” (HR. Bukhari: 1925; Muslim: 297).

c. Memutus niat untuk beriktikaf

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya “ (HR. Bukhari,no: 1, Muslim, no: 1907).

Berbagai Perkara yang Dianjurkan ketika beriktikaf

a. Memperbanyak ibadah mahdhah

Tujuan iktikaf adalah agar fokus ibadah, maka semestinya saat iktikaf yang dilakukan adalah memperbanyak ibadah apa pun, baik itu salat, tilawah, dzikir, dll.

b. Melakukan ibadah sosial yang tak memakan waktu lama seperti zakat, memberi fatwa, dll. Hal ini disyari’atkan karena Nabi sallallahu alaihi wasallam berbincang-bincang dengan para istri beliau (HR. Bukhari: 1933), Nabi sallallahu alaihi wasallam berbicara dan memberi pengarahan kepada para sahabatnya (HR. Muslim: 1167), dan Nabi juga disisirkan rambutnya tatkala beliau tengah beriktikaf (HR. Bukhari: 1925; HR. Muslim: 297).

c. Membuat sekat atau tenda di dalam Masjid

Tujuannya untuk mengisolir diri dari para muktakif lainnya. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi sallallahu alaihi wasallam (HR. Muslim: 1167) dan para istri beliau (HR. Bukhari: 1929).

Terlebih lagi bagi wanita yang beriktikaf di masjid yang digunakan untuk salat berjamaah agar dirinya tidak terlihat oleh para pria sehingga tidak menimbulkan fitnah.

d. Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat

Hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Merupakan tanda baiknya keislaman seorang adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi: 2318).

e. Bergegas menunaikan salat Jumat

Berdasarkan keumuman hadis yang menganjurkan seorang untuk bersegera pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jumat (HR. Bukhari, no: 841; Muslim, no: 850). Hal ini bagi yang iktikaf di masjid yang tidak mengadakan salat jumat. Dan keluar dari masjid dalam konteks ini tidak membatalkan iktikaf karena alasan syar’i

f. Tetap berdiam di masjid ketika malam id

Sebagian ulama menganjurkan agar muktakif tetap berdiam di masjid pada malam id dan baru keluar ketika hendak menunaikan salat id (Al Muwaththa:1/315; Al Majmu 6/475; Asy Syamilah).

Wallahu a'lam bisshowwab

 

Penulis: Junaedi Putra
Editor: Sri Hendriani/Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI