Deradikalisasi dan Kontra Radikalisme

26 Apr 2019
Deradikalisasi dan Kontra Radikalisme

Jakarta (26 April 2019). Islam moderat, Islam damai, Islam wasathiyah, dan moderasi beragama merupakan cita-cita bersama bangsa Indonesia. Tumpah ruahnya informasi di dunia maya terkait radikalisme perlu di-counter. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menyediakan referensi atau bahan bacaan bagi masyarakat Indonesia. Lewat kehadiran buku sebagai sumber bacaan masyarakat mendapat pencerahan dan pengetahuan yang benar dan tepat terkait radikalisme. Salah satunya adalah buku Deradikalisasi: Kontra Radikalisme & Deideologisasi. Buku ini ditulis berdasarkan hasil riset yang mendalam dan ditulis para pakar dalam bidangnya.

Buku tersebut diseminarkan pada 16 April 2019 olehCentre for Security and Foreign Affairs Studies (CESFAS) Prodi Hubungan Internasional FISIPOL UKI di Gedung AB Lt.3 UKI, Cawang, Jakarta Timur. Buku tersebut diterbitkan oleh Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Hadir sebagai pembicara tiga orang penulis yaitu Prof. Dr. Noorhaidi Hasan (Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Dr. Sri Yunanto (Staf Ahli Menkopolhukam), dan Angel Damayanti, Ph.D (Dekan FISIPOL UKI). Dalam paparannya, Angel Damayanti menegaskan bahwa agama memiliki dua mata pisau. Satu sisi, agama membawa pesan-pesan baik dan positif, di sisi lain, agama bisa menjadi justifikasi untuk melakukan radikalisme. Lebih jauh dijelaskan fenomena radikalisme tidak hanya terjadi pada agama Islam tetapi juga pada agama-agama lain termasuk Yahudi, Hindu, Buddha, dan Kristen. Radikalisme dan terorisme sering diidentikkan atau lebih dikenal di dunia muslim, karena menurutnya dalam agama Islam tidak mengenal batas negara. Orang muslim memiliki solidaritas yang tinggi dan tersebar di berbagai negara di dunia. Hal ini tidak ada pada agama-agama lain. Untuk agama Kristen, Pemerintah perlu mengawasi adanya aliran-aliran gereja yang fundamentalis dan evangelistik yang berpotensi menimbulkan ketegangan dalam kerukunan hidup antar dan intra umat agama Kristen itu sendiri.

Pada kesempatan yang sama Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Noorhaidi Hasan menegaskan pentingnya pelibatan civil society dalam melakukan deradikalisasi dan kontra radikalisme. "Bahkan itu menjadi kunci keberhasilan pencegahan radikalisme dan terorisme di Indonesia," ujarnya.

Staf Ahli Menkopolhukam Sri Yunanto, menjelaskan, sejak adanya UU Terorisme No. 5/2018, ada pergeseran strategi yang sebelumnya lebih pada pendekatan law enforcement dan penindakan, saat ini pemerintah lebih menitikberatkan pada strategi soft approach berupa pencegahan dan deradikalisasi. "Ini menurut kami yang harus dikedepankan daripada langkah penindakannya," ungkap Yunanto. Selain itu dijelaskan, Indonesia belum memiliki road-map/strategi nasional dalam hal terorisme. Cara penyelesaiannya ditempuh secara yudisial dan non-yudisial. Non-yudisial dilakukan dengan memasukkanlocal wisdom dalam pencegahan.

Sementara itu, Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Dr. Muhammad Zain memberikan tanggapan. Radikalisme dan ekstrimisme, kata Zain, tidak hanya ada pada agama Islam tapi juga ada pada semua agama besar dunia. Radikalisme muncul tidak hanya karena agama tetapi juga karena adanya kesenjangan ekonomi, penguasaan lahan, dan politik. Menurut Zain, radikalisme bukanlah ajaran agama. Sebab agama hanya mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Dalam kaitan ini, Kemenag konsen untuk memperbaiki kurikulum, merevisi penulisan buku-buku pendidikan agama, dan memperkuat tema moderasi beragama. Bahkan saat ini Kemenag sedang  menulis “buku putih” untuk moderasi beragama. Sebab ini tantangan keberagamaan kita yang majemuk. Untuk itu, Puslitbang LKKMO berkomitmen untuk terus menggaungkan moderasi beragama. Misalnya lewat kegiatan penerjemahan Alquran ke dalam bahasa-bahasa daerah. Total seluruhnya saat ini sudah ada 20 terjemahan Alquran dalam bahasa daerah, yaitu  Kaili, Banyumas, Minang, Sasak, Mongondow, Batak Angkola, Kanayat, Minangkabau, Toraja, Melayu, Ambon, Bali, Banjar, Aceh, Madura, Bugis, Makassar, Palembang, Sunda, dan Osing. Selain itu, Puslitbang LKKMO juga melakukan riset terhadap indeks layanan Kitab Suci untuk semua agama.

Tampil sebagai penanggap kedua M. Syauqillah, Ph.D (Ketua Prodi Kajian Terorisme Universitas Indonesia). Ia menjelaskan bahwa hukuman mati masih diterapkan, teror yang dilakukan oleh kelompok di Indonesia faktanya oleh kelompok Islam, teror bukan musiman tapi mencari momen. Solusinya ditempuh lewat pendekatan humanis dengan harapan manusia tersebut sadar dan dapat kembali normal. 

Semoga kehadiran buku dan diskusi ilmiah ini dapat semakin menyadarkan dan mencerahkan hati dan budi masyarakat Indonesia untuk semakin mengerti akan hakikat agama dan kodrat kehidupan manusia yang sesungguhnya. (AS/bas)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI