Ekoteologi dan Puasa Ramadan

17 Mar 2025
Ekoteologi dan Puasa Ramadan
Muhammad Ali Ramdhani, Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Saya Manusia Kementerian Agama.

APA hubungan antara ekoteologi dengan puasa Ramadan? Mungkin beberapa kalangan merasa dua hal ini terlalu disangkutpautkan. Tidak juga. Kalau kita menelisik pesan di balik perintah puasa dan area ekoteologi, kita akan menyadari betapa rapatnya hubungan antarkeduanya.

 

Ekoteologi adalah sebuah area teologi yang mengeksplorasi hubungan antara agama dan lingkungan. Ekoteologi berusaha memahami konsep-konsep teologis dan berbagai praktik keagamaan serta kontribusinya terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.

 

Ekoteologi lahir dari berkembanganya perhatian atas berbagai kerusakan lingkungan dan kesadaran bahwa tradisi keagamaan dapat menyediakan pandangan dan motivasi yang berharga bagi pemeliharaan lingkungan. Ekoteologi mengintegrasikan perspektif ekologis dengan konsep teologis, terutama kesucian ciptaan dan posisi manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas pemeliharaan bumi, planet di mana ia hidup.

 

Dalam konteks Islam, ekoteologi berhubungan dengan konsep kesucian ciptaan dan posisi manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Allah yang Maha Suci tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia (Ali Imran:191). Ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan alam ini dengan kesucian yang melekat dalam dirinya.

 

Sebagai khalifah, manusia dituntut untuk bertanggung jawab memelihara keseimbangan dan harmoni alam semesta. Tidak kurang ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menjaga lingkungan, mengutuk kerusakan, dan memperlakukan seluruh makhluk dengan rasa hormat dan kasih sayang.

 

Islam mengajarkan bahwa bumi dan seluruh isinya adalah amanah dari Allah untuk manusia (Al-Baqarah:22). Umat Muslim diperintahkan untuk memelihara dan melestarikan alam, bukan merusaknya (Al-Qasas:77).

 

Salah satu dari keterhubungan antara agama dengan lingkungan dalam konteks ekoteologi adalah praktik puasa Ramadan oleh umat Muslim. Bulan suci Ramadan tidak hanya menyangkut perintah menjalankan puasa, tapi juga menawarkan sebuah kesempatan bagi umat Muslim untuk merefleksikan kembali tanggung jawabnya sebagai khalifah terhadap lingkungan.

 

Kewajiban puasa di bulan Ramadan bukanlah sebuah perintah untuk pengorbanan manusia untuk menyakiti dirinya atau mendorong manusia ke arah kematian. Tidak ada satupun ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang membicarakan perintah puasa dengan semangat ke arah kematian.

 

Bahkan, orang yang karena keletihan di perjalanan maupun kelemahan karena sakit diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Islam bahkan memperbolehkan umat Muslim mengonsumsi sesuatu yang dalam keadaan normal diharamkan, jika itu dilakukan dalam keadaan darurat untuk menjaga kehidupan.

 

Puasa adalah kewajiban dalam rangka pertumbuhan spiritual, disiplin diri, dan empati terhadap mereka yang berada dalam ketakberuntungan. Karena itu, puasa Ramadan bukan semata-mata tentang haus dan dahaga, tapi lebih sebagai upaya untuk mendisiplinkan diri dari berbagai perilaku negatif dan menumbuhkan rasa spiritualitas yang dalam. Puasa Ramadan juga berimplikasi langsung pada pemeliharaan lingkungan.

 

Berbagai kerusakan alam semesta ini sebagian besar diakibatkan oleh kerakusan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam. Peningkatan pemanasan global, menyempitnya area hutan, pencemaran air dan udara, melelehnya es di kutub, punahnya jutaan spesies tanaman dan binatang, serta berbagai data kerusakan alam lain diakibatkan oleh keserakahan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam.

 

Ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si” yang berjudul “On Care for Our Common Home” yang kuat menyoroti bagaimana paradigma konsumerisme yang tak mengenal batas mengakibatkan kerusakan bumi yang menjadi rumah tinggal bersama.

 

Kerakusan tentu saja berbeda dengan kebutuhan. Kita memiliki takaran objektif atas sebuah kebutuhan, bahkan jika kebutuhan itu berbeda setiap orang. Tapi tidak akan ada batas untuk sebuah kerakusan. Kerakusan ibarat lubang hitam raksasa yang menyedot apa saja. Kebutuhan mungkin bisa dipenuhi dengan hitungan gaji, tapi kerakusan tak akan bisa dipenuhi sekalipun seluruh semesta dimasukkan ke dalam mulutnya.

 

Puasa menyadarkan kepada kita untuk membedakan antara kebutuhan dan kerakusan. Ketika kita menunda makan dan minum, ternyata kita tidak sakit atau mati. Itu artinya bahwa di situlah sebetulnya kadar kebutuhan makan dan minum kita.

 

Saat siang hari, kita membayangkan makan dan minum apa saja saat magrib, bahkan kita mengumpulkan berbagai makanan yang akan kita santap saat berbuka, tapi saat berbuka tiba, kita disadarkan oleh tubuh kita sendiri seberapa batas lambung manusia dalam menampung makanan dan minuman.

 

Jika pun puasa tak sanggup membangun kesadaran spiritual yang mendalam, perilaku puasa itu sendiri memberi dampak positif langsung terhadap alam. Jejak-jejak baik perilaku puasa yang dilakukan umat Muslim akan dengan sendirinya mampu memberi kontribusi terhadap pelestarian alam.

 

Reduksi makan dan minum selama Ramadan secara langsung memiliki implikasi terhadap lingkungan. Puasa dengan sendirinya mereduksi penggunaan sumber daya alam yang berlebihan yang seringkali tak diperlukan dan pada akhirnya hanya menjadi sampah.

 

Puasa juga membangun perasaan komunilitas dan tanggung jawab sosial yang kuat. Perasaan lapar dan dahaga melahirkan perasaan empati kepada mereka yang selama ini hidup dalam kekurangan. Perlu diingat bahwa kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh kemalasan dan rendahnya etos kerja, tapi tidak jarang dikarenankan ketidakadilan struktural, di mana sekelompok kecil manusia mengeruk dan menikmati terlalu banyak sumber daya.

 

Di sini kita ingat dengan perkataan Gandhi yang sangat terkenal, “The world has enough for everyone’s need, but not enough for everyone’s greed.” Dunia ini cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia, tapi tidak untuk memenuhi kerakusan manusia.

 

Jelaslah bahwa terdapat hubungan yang sangat rapat antara pesan puasa Ramadan dan semangat ekoteologi dalam merawat dan menjaga alam. Keduanya mengundang umat Muslim, khususnya, untuk merefleksikan kembali keimanannya dengan alam. Umat Muslim, melalui puasa Ramadan, diajak menyadari bahwa agama juga memberi inspirasi dalam menjaga dan melestarikan alam ini.

 

Dengan menyadari keterhubungan seluruh makhluk dan tugas suci kekhalifahan dalam menjaga semesta ini, puasa Ramadan pada akhirnya menjadi sebuah praktik keagamaan yang konkret dalam mewujudkan semangat ekoteologi.


 

Penulis: Muhammad Ali Ramdhani
Sumber: https://nasional.sindonews.com
Editor: Barjah dan Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI