Empat Indikator Moderasi Beragama Tidaklah Tepat Sebagai Alat untuk Menilai Tingkat Moderasi di Pesantren
Surabaya (Balitbang Diklat)---Setiap kali kita menilai moderasi, biasanya kita menggunakan empat indikator yakni komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan penerimaan terhadap tradisi. Namun, indikator-indikator tersebut tidak selalu relevan, karena dalam pesantren terdapat elemen-elemen arkanul ma’had, yaitu kiai, santri, masjid, asrama, dan pengajian kitab kuning.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Suyitno dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang Evaluasi Pelaksanaan Moderasi Beragama di Pesantren, di Balai Diklat Keagamaan Surabaya, Jumat (7/6/2024).
Lebih lanjut, Kaban mengatakan jika pertanyaan penelitian hanya satu, seperti tentang integrasi kurikulum, penelitian ini bisa sangat mendalam. Pertanyaan utamanya adalah, moderasi pesantren dalam konteks apa? Misalnya, dalam konteks integrasi kurikulum. Ada arkanul ma’had yang dapat digunakan untuk menilai apakah pesantren sudah memenuhi standar arkanul ma’had menurut jamiul masyayikh pemerintah.
“Saya sarankan untuk melihat arkanul ma’had dan mengambil aspek spesifiknya, seperti integrasi kurikulumnya, untuk menilai moderasi,” tambah Suyitno.
Dalam melakukan survei, kata Suyitno, sebaiknya dilakukan dengan lingkup yang sempit untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Jika perlu, lakukan observasi partisipan. Pengukuran moderasi bisa dilakukan dengan fokus pada satu indikator saja, seperti implementasi kurikulum.
“Mungkin dalam kurikulum formal tidak terlihat adanya moderasi beragama, tetapi bisa jadi terdapat dalam kurikulum tersembunyi (seperti mata pelajaran lokal),” ungkap Suyitno.
Mengenai metode pengukuran moderasi, Suyitno menyebutkan bahwa dengan pendekatan kuantitatif dalam survei ini, sulit untuk menemukan akar masalah, terutama karena lokasinya terbatas. Oleh karena itu, yang terpenting adalah kedalaman analisis, bukan seberapa besar representasinya.
“Jika dalam penelitian ditemukan pesantren yang kurang moderasi, kita akan mencari solusi lain untuk mendukung pesantren-pesantren menjadi moderasi, tidak hanya dalam bentuk bantuan finansial, tetapi juga dukungan sumber daya manusia,” tegas Suyitno.
Sekretaris Badan (Sesban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Arskal Salim GP menyatakan dinamika keagamaan di pesantren berkembang pesat seiring pertumbuhan lembaga yang awalnya hanya tahfiz, kini telah bertransformasi menjadi pesantren.
“Lembaga tahfiz yang bertransformasi menjadi pesantren akan mengalami kesulitan dalam mengukur tingkat moderasinya, berbeda dengan pesantren yang sudah lama berdiri di Nusantara,” ujar Arskal.
Mengenai pendekatan yang digunakan, Arskal menyatakan kajian ini disayangkan jika hanya mengandalkan data kuantitatif dan kualitatif tanpa adanya advokasi. “Perlu adanya advokasi yang memungkinkan pesantren tidak hanya menjadi obyek, tetapi juga menjadi subyek dalam pelaksanaan Moderasi Beragama,” ungkap Arskal.
Arskal mengapresiasi kegiatan yang diadakan Balai Litbang Agama Semarang. Menurutnya, kegiatan semacam ini bisa direplikasi di Balai Litbang Agama lainnya karena moderasi di pesantren di wilayah lain juga perlu diperhatikan.
“Jika mereka diundang untuk pelatihan, tentu akan ada resistensi. Sebaliknya, melalui kegiatan riset ini, interaksi menjadi lebih mudah dan alur diskusi tentang moderasi menjadi lebih terbuka,” tandas Arskal.
Kepala Balai Litbang Agama Semarang Moch. Muhaemin menyatakan FGD ini merupakan bagian dari serangkaian kegiatan evaluasi pelaksanaan moderasi beragama di pondok pesantren.
“Tujuan dari FGD ini, untuk mengeksplorasi kebijakan-kebijakan yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam,” kata Muhaemin.
Muhaemin menginginkan hasil penelitian ini bisa menjadi panduan untuk mengukur tingkat moderasi di pesantren.
Kegiatan ini dihadiri perwakilan dari Ditjen Pendis, Perwakilan Kanwil Kemenag Jateng, dan Kemenag Se-Solo Raya. (Fathurrozi/bas/sri)