Formulasi Deteksi Dini Konflik untuk Indonesia yang Majemuk
Padang (Balitbang Diklat)---Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Resolusi Konflik Bernuansa Agama.
Kegiatan yang dilaksanakan untuk kelima kalinya ini, sebelumnya di beberapa kota di Indonesia yang didatangi. “Tujuannya untuk mengeksplorasi, menggali, dan berdiskusi mengenai satu tema yang sangat penting, sekaligus menjadi never ending issue bagi negara Republik Indonesia yang majemuk ini,” ujar Kapuslitbang BALK, Arfi Hatim, di Padang, Rabu (29/11/2023).
Pada kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Mercure Padang tersebut, Arfi menghadirkan sejumlah peserta dari berbagai unsur, seperti pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat. Tujuannya, untuk dimintakan masukan mengenai cara memitigasi dan mengelola konflik.
“Dalam konteks ini, akan fokus berbicara mengenai bagaimana resolusi konflik atau penyelesaian konflik, penanganan konflik, dalam konteks dimensi keagamaan. Ini bisa menjadi satu formula dalam melakukan mitigasi dan mengelola konflik, sehingga dapat diupayakan satu early warning system, dan respons terhadap potensi-potensi konflik,” tutur Arfi.
Berbicara kerukunan dan konflik, kata Arfi, ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu dan lainnya. Sehingga, dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara, menciptakan kerukunan dan Harmoni ini tidak bisa kita hindari, harus kita hadapi, dan kelola sedemikian rupa.
Menurut Arfi, sedikitnya ada dua instrumen kalau berbicara mengenai resolusi konflik. Dari sisi regulasi sudah ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1012 tentang Penanganan Konflik Sosial, khusus di Kementerian Agama sudah ada Keputusan Menteri Agama Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan.
“Sehingga beberapa regulasi tersebut, akan menjadi rujukan dalam mengatasi berbagai konflik, mencegah, dan memitigasinya. Berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dan berkembang di masyarakat, bisa menjadi dasar rujukan untuk penyelesaian konflik” ungkap Arfi.
Berdasarkan pada nilai-nilai tersebut, penyelesaian konflik masing-masing daerah tentu akan berbeda-beda. Setiap daerah akan dimintakan masukannya, sehingga hal ini bisa menjadi satu formula bagaimana dalam mitigasi dan mengelola konflik dan respons terhadap potensi-potensi konflik.
Secara empirik, lanjut Arfi, Indonesia sudah teruji, baik itu dengan konflik yang berdimensi sosial, keagamaan, politik, maupun lainnya. Sehingga bisa menyelesaikan konflik-konflik tersebut. “Deteksi dini tersebut perlu dibangun dengan satu sistem yang terintegrasi, yang melibatkan banyak stakeholder baik itu dari unsur pemerintah, akademisi, maupun masyarakat,” pungkasnya. (Barjah/bas/sri)