Gereja di Atas Semuanya
Jakarta (Balitbang Diklat)---Setelah turun di bandara Flores, saya melanjutkan perjalanan darat lumayan panjang. Dan, menjelang tengah malam saya sampai di hotel, setelah bermalam pada pagi harinya saya melakukan tugas pertama di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Manggarai Timur. Karena kabupaten pemekaran dari Manggarai maka Kantor Kementerian Agama Kabupaten Manggarai Timur pada saat saya hadir masih cukup sederhana kendatipun posisinya menghadap jalan beraspal dan lebih pantas untuk dikatakan seperti rumah tinggal bukan sebuah kantor tingkat kabupaten.
Sepanjang perjalanan dari hotel menuju Kantor Kementerian Agama Kabupaten Manggarai Timur, saya melihat tanah-tanah yang masih kosong dari bangunan karena memang jumlah penduduk di kabupaten yang berada di Pulau Flores ini tidak terlalu padat, namun lalu lalang kendaraan lumayan ramai karena kantor yang akan saya kunjungi tergolong berada di daerah kota walaupun tidak persis berada di jantung pusat Pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur, namun rupanya kantor itu persis berada di pinggir jalan akses ekonomi.
Sekitar pukul 08.00 WITA saya sampai di kantor Kementerian Agama Manggarai Timur. Lumayan ramai juga penyambutannya pada pagi itu. Mobil yang mengantar saya berhenti di dekat pintu masuk kantor, begitu turun dari mobil saya langsung disambut dengan tradisi adat Manggarai Timur dalam menerima kehadiran tamu dari jauh, apalagi ketika tahu saya datang dari Bali yang harus terbang melewati Provinsi Nusa Tenggara Barat dan asli saya dari Jawa Timur.
Tepat di pintu masuk kantor berdiri dua orang tokoh yang menyambut saya, dua tokoh itu adalah Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Manggarai Timur dan seorang tokoh adat laki-laki yang berbusana putih dilengkapi dengan sarung dan selendang serta ikat kepala berbahan kain dengan tenunan khas Manggarai Timur, di belakang dua tokoh tersebut juga berjajar beberapa laki-laki dan perempuan yang membawa beberapa perlengkapan upacara penyambutan kehadiran saya untuk yang pertama di Kabupaten Manggarai Timur.
Begitu sampai di pintu gerbang kantor Kementerian Agama Kabupaten Manggarai Timur, petugas humas dan protokol di kantor itu mengarahkan posisi kami untuk berhadap-hadapan dengan tokoh adat, lalu dengan menggunakan bahasa lokal Manggarai Timur yang tidak semua masyakat sekitar bisa dan paham serta diucapkan dalam untaian kata-kata serta intonasi tertentu seperti dalam membaca mantera oleh tokoh adat berperawakan agak kurus, kemudian dikalungkan kain tenun khas Manggarai Timur di leher saya oleh Kepala Kantor Kementerian Agama, ritual adat berikutnya saya diberi sirih-pinang lalu diminta untuk memegang ayam yang masih hidup dan botol berwarna biru yang berisi bir oleh tokoh adat.
Setelah ritual adat penyambutan dilanjutkan ramah tamah di ruang tamu kepala kantor, dalam perbincangan saat ramah tamah itu tokoh adat menjelaskan pada saya dan tamu yang lain, bahwa bahasa yang digunakan adalah Bahasa Manggarai Timur asli dan tidak semua masyarakat bisa memahaminya. Mungkin yang diucapkan itu adalah bahasa kuno atau tua, sedangkan maksud pemberian sirih pinang adalah sebagai bentuk rasa senang dan membangun keakraban atas hadirnya tamu, sedangkan ayam menunjukkan kejujuran karena ayam pasti akan berkokok ketika menjelang datangnya pagi hari dan ini bisa dijadikan sebagai penanda waktu yang benar (jujur) bagi manusia. Sedangkan bir dalam botol, masyarakat menyebutnya dengan "air berkata-kata" yang artinya untuk membangun keterbukaan, maksudnya kita diajak saling terbuka untuk membangun kekerabatan atau persahabatan.
Dari ritual adat penyambutan itu dapat diketahui ternyata tradisi budaya asli masyarakat Manggarai Timur ternyata masih bertahan dan terjaga baik sampai hari ini. Keutuhan tradisi budaya itu tentunya karena masyarakatnya masih menganggap adat dan tradisi itu adalah sesuatu bernilai luhur peninggalan nenek moyang yang telah berlangsung ratusan tahun sehingga tidak mungkin ditinggalkan begitu saja karena masyarakatnya meyakini bahwa apa yang telah diajarkan para leluhur itu adalah suatu perbuatan baik dan mulia terutama dalam membangun hubungan baik antara manusia dengan alam sekitarnya serta sesama makhluk hidup lainnya.
Keutuhan adat tradisi budaya Manggarai Timur selain memang didukung oleh masyarakatnya, juga dipangku oleh para tokoh adat yang menduduki posisi cukup penting dan mulia terutama dalam pelaksanaan ritual upacara adat dan kegiatan kemasyarakatan. Keberadaan tokoh adat ini biasanya terjaga secara turun temurun dan walau tanpa ada pendidikan khusus dan formal ternyata model transfer pengetahuan tentang adat dan tradisi budaya dilangsungkan dalam hubungan keluarga atau hubungan guru dengan murid sebagai penjaga utama urusan tradisi adat dan budaya.
Adapun cara lain sebagai bentuk penjagaan terhadap kelestarian tradisi adat dan budaya yaitu adanya bangunan rumah adat atau balai adat yang berdiri kokoh dan megah di desa-desa yang digunakan sebagai sarana kegiatan kemasyarakatan seperti bermusyawarah serta melaksanakan ritual tradisi dan adat, sedangkan dalam bentuknya bangunan rumah adat ini memiliki kekhasan serta cukup mudah untuk dibedakan dengan bangunan rumah tinggal yang ditempati masyarakat pada umumnya.
Begitu kuatnya adat dan tradisi budaya asli dijaga serta kokohnya kedudukan tokoh adat, namun uniknya penghargaan terhadap tokoh gereja (pastor) juga begitu kuat dan agama Katolik adalah bentuk keyakinan yang telah menyatu dalam hidup keseharian sehingga identik Manggarai Timur (Flores) adalah daerah Katolik dengan aneka pernak-perniknya. Maka, untuk mencari tempat ibadah Katolik begitu mudah bahkan sampai di lereng-lereng bukit ada. Sebaliknya, untuk mencari tempat ibadah yang lain agak susah untuk ditemukan dan itu logis serta tidak ada yang salah karena agama Katolik adalah agama mayoritas di wilayah itu.
Lalu bagaimana mendudukkan dua hal yang sama-sama kuat ini, yaitu antara adat dengan agama dan antara tokoh adat (tetua) dengan tokoh gereja (pastor), karena tidak jarang pada masyarakat tertentu antara agama dan adat ini menjadi kekuatan yang vis-a-vis dan berposisi diametral, karena kedua tokohnya saling menunjukkan kekuatan, cuma bedanya yang tokoh gereja dengan power ajaran ketuhanan sedangkan yang tokoh adat dengan power keyakinan pada leluhur.
Namun, kearifan yang terjadi di Manggarai Timur adalah dua kutub yang dihormati masyarakat ini justru membangun harmoni antara agama dan tradisi budaya, sehingga agama (Katolik) dipeluk demikian kuatnya dan tradisi budaya tetap terjaga dan terus berlangsung mengiringi agama. Gereja ramai dikunjungi tradisi ramai diperingati, bahkan dalam ungkapan masyarakat yang sering terdengar, "tidak ada masalah antara tradisi dan agama, tokoh gereja dan tokoh adat saling menguatkan keberadaannya".
Terbukti semua upacara dalam siklus kehidupan di masyarakat Manggarai Timur masih tetap berlangsung, mulai upacara kelahiran, perkawinan, kematian, begitu juga dengan upacara mulai bercocok tanam maupun saat panen padi, tokoh adat memiliki peran utama, namun setelah dilangsungkan upacara adat akan diakhiri dengan dengan misa atau pemberkatan di gereja oleh para pastor, sehingga ada ungkapan dalam masyarakat, "gereja di atas semuanya" yang artinya adat dan tradisi tetap berjalan namun akhir dari itu adalah ritual yang diselenggarakan di gereja sebagai penutupnya.
Dengan demikian, maka antara tokoh adat dan tokoh gereja telah terbangun pembagian tugas dan peran sebagai menjaga umat dalam memegang agama dan menggenggam adat. Fenomena ini diperkuat lagi dengan adanya paham inkulturasi yang ada di agama Katolik, yaitu mempertemukan atau menyesuaikan antara agama dengan tradisi budaya masyarakat setempat, dengan harapan kehadiran agama Katolik lebih mudah diterima dan dipahami sepanjang tidak bertentangan dengan iman Katolik.