Inilah Arah Baru Moderasi Beragama dalam RPJPN 2025-2045
Jakarta (Balitbang Diklat)---Tim Ahli/Kelompok Kerja Moderasi Beragama Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menegaskan bahwa saat ini Indonesia berada di akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang memerlukan pembaruan peta jalan. Menurutnya, tantangan utama dalam implementasi moderasi beragama adalah menjaga keseimbangan antara identitas sebagai umat beragama dan sebagai warga negara Indonesia.
“Program moderasi beragama muncul karena ketidakseimbangan dalam masyarakat yang terlihat di berbagai tempat,” ungkap Alisa dalam sebuah diskusi pada acara Peluncuran Sekretariat Bersama (Sekber) dan Aplikasi Pemantauan Implementasi Moderasi Beragama (API-MB) di Jakarta, Jumat (3/10/2024).
Alissa menjelaskan bahwa dalam RPJPN 2025-2045 terdapat delapan misi pembangunan transformasi Indonesia, salah satunya adalah penguatan peran agama sebagai landasan spiritual, etika moral, dan modal dasar pembangunan. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat.
“Selain itu, pembangunan kehidupan beragama yang eksklusif, rukun, dan toleran juga menjadi fokus utama yang berorientasi pada penguatan moderasi beragama, baik antar umat beragama maupun dalam pengelolaan dana sosial keagamaan, filantropi, pemberdayaan umat beragama, serta peningkatan produktivitas,” tegasnya.
Lebih jauh, Alissa menekankan kontribusi agama dalam pembangunan transformasi Indonesia, yang mencakup kemaslahatan bangsa, perspektif agama yang moderat, pendidikan agama sebagai pembentuk karakter, serta pemenuhan hak keagamaan warga negara dan hak kolektif.
Dalam buku Peta Jalan Moderasi Beragama, Alisa menyebutkan bahwa salah satu urgensi moderasi beragama adalah tantangan terhadap cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang ekstrem, yang mengesampingkan martabat kemanusiaan. Ia juga menekankan pentingnya peran Sekretariat Bersama (Sekber) di tingkat daerah yang akan berinteraksi langsung dengan masyarakat umum.
Tantangan lainnya, menurut Alissa, adalah adanya dua jenis praktik beragama di Indonesia. "Ada praktik beragama yang substantif inklusif, di mana seseorang meyakini bahwa agamanya paling benar namun tetap membuka ruang interaksi dengan yang lain, dan ada pula praktik beragama yang eksklusif legal formalistik, di mana seseorang menganggap agamanya yang paling benar dan melihat yang lain sebagai musuh," jelasnya.
Inilah kata Alissa yang menjadi tantangan untuk menjaga keseimbangan antara peran sebagai umat beragama dan warga negara, serta memperkuat moderasi beragama di tengah masyarakat. (Barjah)