INTOLERANSI DI KALANGAN PEMUDA PERLU DIWASPADAI DAN DISIKAPI SECARA PRODUKTIF
Jakarta ( 13 Oktober 2017). Hasil kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menunjukkan adanya fenomena intoleransi di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, dan bahkan di lingkungan Perguruan Tinggi Agama.
Begitu dikatakan Kaban Litbang dan Diklat, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D., ketika menyampaikan paparan dalam Program INDONESIA BICARA yang ditayangkan secara LIVE oleh TVRI Jakarta, Jum’at, 13 Oktober 2017, pukul 20. 00- 21.00 WIB, dengan tema Intoleransi di Kalangan Pemuda.
Hadir pula sebagai patner dialog dalam forum tersebut dua narasumber lainnya, yakni pengamat pendidikan Prof. Dr. Hafid Abbas dan seorang akademisi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Dr. Sunandar Ibnu Nur, MA.
Kaban menjelaskan, kalau Badan Litbang dan Diklat telah melakukan banyak kajian mengenai fenomena intoleransi yang terjadi di lingkungan sekolah, masyarakat, dan bahkan Perguruan Tinggi Agama (PTA).
“Kami ada penelitian tahun 2013 tentang Potensi Radikalisme di Perguruan Tingga Agama, semua agama bukan hanya satu agama. Disinyalir potensi radikalisme di lingkungan Perguruan Tinggi Agama itu memang ada,” ujar Kaban yang akrab disapa Prof. Rahman.
Menurutnya, bangsa ini perlu mewaspadai potensi radikalisme dan menyikapinya secara produktif. Munculnya intoleransi secara individual terjadi karena sikap serba tidak sabaran, tidak terbuka, tidak kooperatif, jauh dari lapang dada dan murah hati.
Lebih lanjut dikatakan, sikap intoleransi itu mencakup intoleransi dalam konteks kebangsaan dan intoleransi dalam konteks kehidupan sosial.
“Intinya, mereka tidak siap untuk berbeda, tidak siap menerima keberagaman dan kebhinekaan,” tegasnya.
Kaban berpendapat, intoleransi di kalangan generasi muda semakin diperparah dengan adanya lingkungan sosmed yang menyebarkan konten-konten hoax. Konten-konten itu semakin menumbuhkan sikap intoleran.
Meski begitu, hemat Kaban, akhirnya dikembalikan kepada cara pandang dan tingkat keberagamaan pemuda itu sendiri. Bagaimanapun fenomena intoleransi baik yang terjadi di lingkungan sekolah maupun di luar tetap kembalinya kepada individu terlebih dahulu sebelum dipengaruhi lingkungan.
Soal tanggungjawab pemerintah, Kaban menuturkan tugas utama Kementerian Agama adalah meningkatkan keberagamaan masyarakat. Salah satunya melalui berbagai program pembinaan yang dilakukan oleh Ditjen-Ditjen di lingkungan Kementerian Agama.
Revolusi mental, ungkap Kaban, menjadi solusi kunci untuk menjawab fenomena intoleransi di kalangan pemuda. Revolusi mental ini, diterjemahkan oleh Kementerian Agama sebagai penguatan karakter yang tertuang ke dalam lima budaya kerja.
Dari lima itu ada tiga yang sangat relevan untuk mengatasi fenomena intoleransi, yakni mengembangkan integritas, amanah, tanggungjawab dan keteladanan. Budaya ini pas sekali jika dikembangkan kapada siswa, remaja dan pemuda supaya mereka punya karakter ideal yang diharapkan
Dalam kesimpulan dan sarannya, Kaban mengutip kata bijak dari seorang penyair sufi yang mengatakan, kita perlu mendengar dengan penuh kesabaran, melihat dengan pandangan kasih sayang, dan bicara dengan bahasa cinta. “ Pendidikan kita sudah seharusnya meneguhkan ketiga potensi ini,” pungkas Kaban.
Sementara itu, Prof. Hafid Abbas menyoroti dari sisi yang berbeda. Menurutnya, tumbuhnya sikap intoleransi lebih disebabkan oleh faktor inkonsistensi lingkungan, yakni lunturnya kultur keteladanan. Hafid berpendapat, ada situasi sistemik bangsa ini yang tidak memungkinkan seseorang untuk bersikap toleran.
Senada dengan itu, pendapat Dr. Sunandar Ibnu Nur, MA. yang mengatakan bahwa intoleransi terjadi karena faktor pendidikan yang belum benar-benar mampu menumbuhkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual secara bersama-sama. Sistem pendidikan nasional harus diperbaiki agar ke depan para pemuda memiliki karakter yang kuat. (sopi/bas)