Kemaslahatan SKB

11 Des 2024
Kemaslahatan SKB
Aji Sofanudin periset pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN

Jakarta (BMBPSDM)---Beberapa waktu lalu, tepatnya 10 Desember 2024, saya diundang Kementerian Agama RI untuk “omon-omon” terkait Ahmadiyah. Saya sampaikan, saya tidak punya kompetensi untuk bicara tema ini. Kalau pun bisa, sekedar sebagai pelengkap, bukan yang utama. Lebih tepat, Kementerian Agama RI mengundang penulis When Muslims are not Muslims yang juga adalah pimpinan saya di BRIN, Prof ANB.

 

Terkait isu aktual Ahmadiyah, saya hanya baca, tulisan Rektor UIN Sunan Kalijaga periode lalu, Al-Makin berjudul Solidaritas untuk Ahmadiyah (kompas, 6/12/2024) yang isinya ”muring-muring” dan menekankan pentingnya solidaritas untuk Ahmadiyah. Usut punya usut ternyata ybs diundang Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada acara Jalsah Salanah, 6-8 Desember 2024 di Manislor, Kuningan Jawa Barat, tetapi acara dibatalkan oleh Pj Bupati Kabupaten Kuningan dan otoritas setempat.

 

Pembatalan Jalsah Salanah

Secara mudah, jalsah berarti pertemuan besar dan salanah artinya tahunan. Jalsah salanah merupakan kegiatan tahunan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kabarnya, Jalsah Salanah ada yang bersifat nasional dan ada juga yang berskala internasional.

 

Singkat cerita, Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui surat Nomor 200.1.4.3/4697/BKP, Perihal Pelaksanaan Kegiatan Jalsah Salanah JAI di Kab. Kuningan, tertanggal 4 Desember 2024, meminta agar kegiatan tersebut Tidak Dilaksanakan. Surat Pj Bupati tersebut, kemudian dilanjutkan dengan surat Pj Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 200.1.4.3/4666/BKBP, Perihal Pemberhentian Kegiatan Persiapan Jalsah Salanah JAI di Kab. Kuningan, tertanggal 5 Desember 2024.

 

Argumentasi yang disampaikan bahwa kegiatan Jalsah Salanah dapat menyebabkan kondisivitas daerah terganggu. Keputusan tersebut diambil sebagai hasil dari pertemuan dengan unsur Forkopimda Kabupaten Kuningan, Forkopimcam Jalaksana, Ketua Ormas Keagamaan, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

 

Atas keputusan tersebut, berbagai pihak menyesalkan melalui berbagai statement, aktivitas, dan gerakan.  Ada menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan bentuk intoleransi, persekusi, mengabaikan pluralitas, dan sekaligus kegagalan moderasi beragama. Konon, Kementerian Agama RI juga menerima surat yang sebaliknya, tuntutan pembubaran Ahmadiyah.

 

 

 

Sekilas Ahmadiyah

Ahmadiyah berdiri tahun 1889 M di India oleh Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1925 M. Di Indonesia ada dua organisasi Ahmadiyah yaitu  Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). GAI berpusat di Yogyakarta dan memiliki PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia). PIRI memiliki berbagai lembaga pendidikan seperti TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Sementara, JAI berpusat di Parung, Bogor Jawa Barat.

 

Pendiri Ahmadiyah adalah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (1835 – 1908 M). Kemudian kepemimpinan Ahmadiyah dilanjutkan oleh khalifah, yang saat ini sudah yang kelima, yakni (1) Hadhrat Maulana Hakim Nuruddin (1841 – 1914 M); (2) Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad  (1889 – 1965 M); (3) Hadhrat Mirza Nasir Ahmad (1909 – 1982 M); (4) Hadhrat Mirza Tahir Ahmad (1982 – 2003 M); dan (5) Hadhrat Mirza Masroor Ahmad (2003 - sekarang).

 

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia terutama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mendapatkan penolakan dari umat Islam dalam bentuk keberatan, penyegelan, penghancuran masjid, musalla, dan aset-aset JAI di berbagai wilayah, dan pelarangan kegiatan. Sementara GAI, tidak pernah ”problem” dengan komunitas muslim mainstream di Indonesia. Problemnya hanya tunggal, yakni JAI dianggap memiliki keyakinan ada nabi lain setelah Nabi Muhammad saw.

 

Secara organisasi, Jemaat Ahmadiyah Indonesia terdaftar sebagai badan hukum berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman RI Nomor: JA.5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 yang dimuat dalam tambahan berita negara nomor: 26 tanggal 31 Maret 1953. JAI terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan di Departemen Dalam Negeri Nomor: 75/D.1/VI/2003 tanggal 5 Juni 2003. Sebenarnya tidak ada masalah dengan aspek legalitas pada JAI. Berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).

 

Sebenarnya tidak ada hal baru terkait kebijakan pemerintah terhadap eksistensi Ahmadiyah sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang. Regulasi yang digunakan tetap sama yakni Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 tahun 2008; Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008; Nomor: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

 

Ada yang menilai SKB ini setengah hati, tidak jelas, dan bukan solusi. Faktanya SKB ini terbukti efektif mengurangi, mengeliminir, bahkan menghentikan ketegangan di antara elemen masyarakat setidaknya sejak tahun 2014 sd 2024 ini.

 

Sekiranya Jalsah Salanah, 6-8 Desember 2024 dilaksanakan di homebase JAI di Parung Bogor, hemat kami akan berjalan normal. Tetapi karena direncanakan akan dilaksanakan di lapangan terbuka, akan berpotensi menimbulkan gesekan.

 

Adagium ”mencegah tentu lebih baik daripada mengobati” berlaku dalam hal ini. Peristiwa 2008 dan 2010 tak perlu terulang lagi. Mungkin ada baiknya JAI mauquf, dan masyarakat pun menahan diri.

 

NGO juga tak perlu berkoar-koar ada diskriminasi dan intoleransi di Indonesia. Faktanya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) selalu meningkat. Indeks KUB tahun 2017 (71,13); tahun 2018 (69,83); tahun 2019 (72,61); tahun 2020 (-); tahun 2021(72,39); tahun 2022 (73,09); tahun 2023 (76,02); dan tahun 2024 (76,47).

 

Indonesia tak perlu juga mencontoh model Pakistan dalam penanganan Ahmadiyah, menganggap bahwa Ahmadiyah bukan bagian Islam. Selain konteks, relasi agama-negara di Pakistan dan Indonesia berbeda, solusi tersebut juga problematik. Bagaimana nanti terkait pencatatan perkawinan warga Ahmadiyah, bagaimana nanti masjid-masjid yang dibangun Ahmadiyah, apakah perlu ganti nama, dan seterusnya.

 

Resolusi konflik model SKB Ahmadiyah tahun 2008 adalah jalan tengah. Mungkin bukan yang terbaik, tetapi terbukti efektif mencegah konflik. Pola SKB terbukti maslahat untuk Ahmadiyah dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Pola ini ”persis” diterapkan tahun 2016 kepada Ormas Gafatar. Kita tahu ada SKB Menteri Agama Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 93 Tahun 2016; Nomor: KEP-043/A/JA/02/2016; Nomor: 223-865 Tahun 2016 tentang Perintah dan Peringatan Kepada Mantan Pengurus, Mantan Anggota, Pengikut dan/atau Simpatisan Organisasi Kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara atau Dalam Bentuk Lainnya untuk Menghentikan Penyebaran Kegiatan Keagamaan yang Menyimpang dari Ajaran Pokok-pokok Agama Islam.

 

Indonesia bukan negara sekuleristik yang memisahkan secara tegas urusan agama dan negara. Negara yang memberikan kebebasan sebebas-bebasnya. Indonesia juga bukan negara yang menerapkan pola relasi agama-negara dengan model integralistik, ad dinu wa al-daulah, agama adalah negara, negara adalah agama.

 

Indonesia merupakan negara yang menerapkan pola simbiotik yakni hubungan agama dan negara yang saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Demikian, sebaliknya negara juga memerlukan agama karena dapat membantu negara dalam pembinaan moral dan etika.

 

Kita terkadang terlalu bersemangat menyuarakan ”kebebasan beragama dan berkeyakinan” merujuk pasal 28E (1) setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya  serta Pasal 29 (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.

 

Terkadang kita lupa, kebebasan yang dimaksud pasal 28E itu bukan bebas dalam arti sebebas-bebasnya. Kita perlu membaca juga, pasal 28J bahwa hak asasi kita juga dibatasi. Pertama, hak asasi kita dibatasi oleh hak asasi orang lain. Kedua, hak asasi kita juga dibatasi oleh pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.

 

Jika kita keberatan terhadap SKB ini, ada baiknya mengajukan upaya banding ke Mahkamah Agung agar SKB tersebut dicabut. Upaya hukum ke Mahkamah Agung sepertinya belum pernah ada yang melakukan. Sementara regulasi ”Cantolan” SKB yakni UU PNPS 1965 pernah diajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi, tetapi hasilnya ditolak.  Wallahu’alam. (Aji Sofanudin periset pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN)

 

 

 

 

Penulis: Aji Sofanudin
Sumber: Aji Sofanudin
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI