Lebih Dekat Kepada Takwa

30 Mar 2024
Lebih Dekat Kepada Takwa
Ustaz Junaedi Putra, S.Pd. S.Ag.

Jakarta (Balitbang Diklat)---Tujuan ibadah ramadan dijelaskan oleh Allah yaitu agar umat Islam menjadi pribadi yang bertakwa.

 

Dan terkait ciri-ciri orang yang bertakwa pun dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an. Disamping semua ciri ciri itu, juga ternyata ada dua ayat yang menjelaskan tentang hal-hal yang bisa mendekatkan kita dengan ketakwaan. Tentu kita semua berharap agar ciri-ciri orang bertakwa itu ada pada diri kita dan hal-hal yang mendekatkan diri kita dengan takwa menyatu dengan kepribadian kita sehingga selalu berada dalam nuansa ketakwaan.

 

Ternyata kedua hal itu memiliki hubungan dan keterkaitan yang erat bahkan dua hal ini merupakan tingkatan yang satu lebih tinggi dari yang lain. Namun, semuanya adalah kebaikan. Apa saja kedua hal tersebut?

Inilah yang akan kita bahas

 

1. Keadilan itu Lebih Dekat Kepada Takwa

 

Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil adalah lawan kata dari zalim. Sifat paling dasar yang paling dekat dengan takwa adalah adil dan tidak berlaku zalim.

Allah berfirman

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Ma'idah, 5: 8).

 

Begitu pentingnya adil sampai Rasulullah tidak rida menjadi saksi atas orang tua yang hanya memberikan hadiah kepada salah satu anaknya dan tidak memberikan hadiah kepada yg lain.

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّهُ قَالَ: نَحَلَنِي أَبِي نَحْلا فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهد رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَجَاءَهُ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ: "أُكَلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ؟ " قَالَ: لَا. قَالَ: "اتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ". وَقَالَ: "إِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْر". قَالَ: فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ.

dari An-Nu'man ibnu Basyir yang men­ceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pem­berian yang berharga. Ibunya bernama Amrah binti Rawwahah ber­kata, "Aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam.” Ayahnya datang menghadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut. Maka Ra­sulullah Shalallahu'alaihi Wasallam bertanya: "Apakah semua anakmu diberi hadiah yang semisal?" Ayahku menjawab, "Tidak." Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Bertakwa­lah kamu kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anak­mu." Dan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda pula, "Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas kezaliman" (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat ini bahwa rrtinya, jangan sekali-kali kalian biarkan perasaan benci terhadap se­suatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil kepada me­reka, tetapi amalkanlah keadilan terhadap setiap orang, baik terhadap teman ataupun musuh. Karena itulah disebutkan dalam firman selan­jutnya:

اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (Al-Maidah: 8).

 

Yakni sikap adilmu lebih dekat kepada takwa daripada kamu mening­galkannya.

 

Lalu Allah menutup ayat ini dengan ungkapan

وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Me­ngetahui apa yang kalian kerjakan (Al-Maidah: 8).

Maksudnya, Dia kelak akan membalas kalian atas apa yang telah Dia ketahui dari amal perbuatan yang kalian kerjakan. Jika amal itu baik, maka balasannya baik; dan jika amal itu buruk, maka balasannya akan buruk pula.

 

Demikianlah penjelasan Imam Ibnu Katsir.

 

Maka bersikap adil adalah hal paling dasar yang mendekatkan kita dengan takwa karena dengan bersikap adil artinya kita jauh dari sikap zalim.

 

Orang yang bertakwa akan selalu berhati-hati dengan hak orang lain yg harus dia tunaikan dan perbuatannya kepada orang lain maka orang yang bertakwa akan selalu memastikan bahwa setiap hak orang yang ada pada dirinya tertunaikan dengan baik dan pada saat yang sama menjaga perkataan dan perbuatannya agar tidak menzalimi orang lain.

 

2. Pemaafan itu Lebih Dekat Kepada Takwa

 

Hal kedua yang dekat kepada takwa adalah pemaafan. Pemaafan ini lebih tinggi tingkatnya dari pada adil. Pemaafan dalam ayat ini lebih dekat maknanya dengan ihsan/kebaikan. Yaitu memilih hal yang lebih baik dari sekadar memberikan hak orang lain sehingga orang tidak terzalimi tapi bahkan sampai pada tahap membiarkan hak kita tidak terpenuhi agar orang tidak mengalami kerumitan. Dan sebaliknya memberikan penuh hak orang yang sebenarnya hanya mendapatkan separuhnya.

Allah berfirman:

وَإِن طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدۡ فَرَضۡتُمۡ لَهُنَّ فَرِيضَةٗ فَنِصۡفُ مَا فَرَضۡتُمۡ إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ وَلَا تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ 

Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah di tangannya. Pemaafan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Baqarah, 2: 237).

Imam ibnu katsir menjelaskan bahwa "Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian kalangan mufassirin mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum lelaki dan kaum wanita."

 

Artinya pemaafan yg dimaksud dalam ayat ini bisa dilakukan oleh pihak laki-laki maupun wanita.

 

Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang paling dekat kepada takwa di antara kedua belah pihak (suami istri) adalah orang yang memaafkan.

 

Hal yang utama dalam masalah ini ialah hendaknya pihak wanita memaafkan separo mas kawinnya, atau pihak lelaki melengkapkan maskawin secara penuh buat pihak wanita (Pendapat Mujahid, An-Nakha'i, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Sauri).

 

Maka dalam hal ini Allah memberikan solusi yang pasti disepakati semua pihak.

 

Bagi pihal wanita tentu senang jika haknya yang separuh justru diberikan penuh. Sebaliknya, pihak laki-laki juga pasti senang jika pihak wanita tidak mengambil haknya sehingga tidak perlu mengeluarkan uang sedikitpun.

 

Ibnu Katsir mengutip sebuah hadis dari Ali Bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersabda

ليأتينَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ عَضُوض، يَعَضّ الْمُؤْمِنُ عَلَى مَا فِي يَدَيْهِ وَيَنْسَى الْفَضْلَ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ} شِرَارٌ يُبَايِعُونَ كُلَّ مُضْطَرٍّ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَر، فَإِنْ كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ فعُدْ بِهِ عَلَى أَخِيكَ، وَلَا تَزِدْهُ هَلَاكًا إِلَى هَلَاكِهِ، فَإِنَّ الْمُسْلِمَ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحْزُنه وَلَا يَحْرِمُهُ"

 Sesungguhnya benar-benar akan datang atas manusia suatu zaman yang kikir akan kebajikan, seorang mukmin menggigit (kikir) apa yang ada pada kedua tangannya (harta bendanya) dan melupakan kebajikan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, "Janganlah kalian melupakan keutamaan (kebajikan) di antara kalian" (Al-Baqarah: 237). Mereka adalah orang-orang yang jahat, mereka melakukan jual beli dengan semua orang yang terpaksa.  Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam sendiri melarang melakukan jual beli terpaksa dan jual beli yang mengandung unsur tipuan. Sebagai jalan keluarnya ialah apabila kamu memiliki kebaikan, maka ulurkanlah tanganmu untuk menolong saudaramu. Janganlah kamu menambahkan kepadanya kebinasaan di atas kebinasaan yang dideritanya, karena sesungguhnya seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain; ia tidak boleh membuatnya susah, tidak boleh pula membuatnya sengsara.

 

Begitu pentingnya perbuatan ini sampai dihubungkan dengan identitas keislaman.

 

Dimensi Fikih

Secara khusus sebenarnya ayat ini bicara tentang mut'ah sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Katsir bahwa ayat ini termasuk dalil yang menunjukkan kekhususan mut'ah (pemberian) yang ditunjukkan oleh ayat sebelumnya, mengingat di dalam ayat ini yang diwajibkan hanyalah separuh dari mahar yang telah ditentukan, bilamana seorang suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya.

 

Membayar separuh maskawin dalam kondisi demikian merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tiada seorang pun yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Untuk itu manakala seorang lelaki telah menentukan jumlah maskawin kepada wanita yang dinikahinya, kemudian si lelaki menceraikannya sebelum menggaulinya, maka si lelaki diwajibkan membayar separuh maskawin yang telah ditentukannya itu.

 

Pihak suami tetap diwajibkan membayar mahar secara penuh jika ia ber-khalwat dengannya, sekalipun tidak menyetubuhinya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Hanafi, Maliki, Hambali, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya serta para Khalifah Ar-Rasyidun.

 

Tapi Imam Syafii dalam qoul jadid-nya mengatakan sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki ber-khalwat dengannya tanpa menyetubuhinya, setelah itu si lelaki menceraikannya, "Tiada yang berhak diperoleh istrinya selain separo maskawin.".

 

Tathbiq Syar'i (Penerapan Syari'at)

Secara umum ta'fuw (pemaafan) dalam ayat ini bisa diterapkan di segala bidang kehidupan. 

Dalam urusan warisan, jika kita berkecukupan dalam harta maka ada baiknya jika kita melakukan ta'fuw dengan tidak mengambil warisan agar ahli waris yg lain mendapat bagian lebih besar.

 

Dalam urusan giliran suami, jika seorang istri merasa berkecukupan dalam banyak hal sementara istri yang lain dari suaminya masih membutuhkan banyak hal, misalnya, karena miskin atau karena baru masuk Islam, dll; maka ta'fuw bisa dilakukan dengan merelakan giliran dirinya diberikan sekali atau dua kali untuk istri yg lain atau bisa juga dalam bentuk lain.

 

Dalam urusan membayar hutang, jika kita memberikan hutang kepada orang lain dan dia kesulitan bayar maka ta'fuw bisa dilakukan dengan memberikan tambahan waktu, atau dengan mengurangi jumlah yg harus dibayar, atau bahkan menganggap lunas hutang tersebut.

 

Dalam urusan pembayaran gaji, jika ada karyawan dalam sebulan tidak masuk beberapa hari karena sakit maka ta'fuw bisa dilakukan dengan membayar penuh gajinya karena alasannya tidak masuk itu syar'i bukan karena malas.

 

Dalam urusan memberikan nafkah, walaupun suami hanya wajib memberikan nafkah berupa kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan; ta'fuw dapat dilakukan dengan memenuhi juga kebutuhan sekunder kepada istri atau bahkan kebutuhan tersiernya.

 

Pada intinya jangan sampai kita seperti yang disebut Rasulullah sebagai orang yang kikir akan kebajikan.

 

Penutup

 

Orang yang bertakwa batas minimalnya adalah menunaikan semua hak orang yg ada pada diri kita serta menjaga perkataan dan perbuatan kita agar tidak menzalimi orang lain.

 

Dan lebih baik dari itu adalah bersikap pemaaf dan ihsan dengan membiarkan sebagian hak kita agar tidak mempersulit orang lain dan pada saat yg sama melebihkan hak orang yang ada pada kita sehingga tercipta suasana yang saling rida di antara kaum muslimin. Semua itu tentu tidak sampai menzalimi keluarga sendiri karena yang dimaksud adalah jika kita memiliki harta yang cukup untuk kita dan keluarga kita.

 

Semoga Allah melapangkan rezeki kita sehingga bisa berbuat adil bahkan bersikap pemaaf dan ihsan kepada orang lain dan pada akhirnya kita bisa meraih predikat takwa. 

 

Wallahu a'lam bisshowwab.

 

Penulis: Junaedi Putra
Sumber: Junaedi Putra
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI