Melestarikan Bahasa Lokal Lewat Terjemah Al-Quran
Jakarta (Balitbang Diklat)---Vernakularisasi atau pembahasalokalan kitab suci memiliki sejarah yang panjang. Sebagai sumber ajaran umat, kitab suci yang sulit dipahami sebagian umat dari bahasa aslinya, mau tidak mau harus dibahasalokalkan atau diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Tidak terkecuali kitab suci Al-Qur’an.
Saya meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang paling banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ada pro dan kontra atas aktivitas penerjemahan Al-Qur’an, dengan berbagai alasan teologis, rasional, linguistik dan sebagainya. Namun, kontinuasi dorongan kebutuhan penerjemahan Al-Qur’an semakin meningkat seiring dengan penyebaran agama Islam di berbagai belahan dunia, aktivitas dakwah, dan keberlangsungan umat Islam, khususnya yang non-Arabic Speaking (bukan berbahasa Arab).
Sejauh ini, Hamam Faizin (2022) dosen STAI Al-Hikmah Jakarta yang fokus dalam kajian penerjemahan Al-Qur’an menyebutkan bahwa keberlanjutan penerjemahan Al-Qur’an di berbagai negara memiliki beberapa tujuan. Pertama, tujuan dakwah dan untuk meredam berbagai kontroversi dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an atau dalam rangka standardisasi terjemah Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia melalui King Fahd Complex for Printing of the Holy Qur’an. Begitu juga di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Agama menerbitkan Al-Qur’an dan Terjemahnya yang dijadikan sebagai terjemah standar dan dijadikan rujukan.
Kedua, pembaharuan pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an yang disebabkan oleh konteks yang berubah. Al-Qur’an dan Terjemahnya Kementerian Agama sendiri disempurnakan (atau diperbaharui) dalam rangka melakukan pembaharuan terhadap pemahaman atas kandungan Al-Qur’an itu sendiri, sebanyak empat kali (1974, 1990, 2002 dan 2019).
Ketiga, karya terjemahan merupakan wadah dalam menuangkan gagasan penerjemahnya. Hadirnya para sarjana Al-Qur’an yang konsen memahami kandungan Al-Qur’an menambah hasrat untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Munculnya terjemah Al-Qur’an adalah hasil dari kegelisahan dan juga ketidakpuasan terhadap terjemah yang ada. Lihat saja, dalam periode rata-rata 10-15 tahun akan selalu muncul terjemah Al-Qur’an yang dihasilkan oleh sarjana, ulama, akademisi, budayawan, dan sebagainya.
Keempat, terjemah Al-Qur’an merupakan khazanah peradaban yang tak ternilai yang sejajar dengan karya tafsir. Sehingga, ia menjadi objek kajian yang selalu menarik. Tidak hanya sarjana di Indonesia, sarjana luar negeri pun tertarik dengan kajian terjemah Al-Qur’an di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh—untuk menyebut sebagian saja—Howard M. Fedespiel, AH. Johns, Peter G. Riddel, dan Johanna Pink.
Kelima, pelestarian bahasa lokal atau daerah. Al-Qur’an sebagai kitab suci harus bisa dipahami oleh seluruh umat Islam dengan berbagai latar bahasa. Oleh sebab itu, belakangan muncul usaha-usaha untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa daerah dalam rangka melestarikan bahasa lokal/daerah tersebut yang lambat laun terancam punah.
Terkait dengan tujuan kelima ini, Kementerian Agama melalui Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) sejak tahun 2015 telah menginisiasi penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa daerah. Hingga saat ini, ada 26 terjemah Al-Qur’an ke bahasa daerah Makassar, Kaili, Sasak, Minang, Dayak Kayanatn, Banyumasan, Toraja, Bolaang Mongondow, dan Batak Angkola (2015); Malayu Ambon, Bali, dan Banjar dan Lampung (2017); Bugis, Aceh dan Madura (2018); Rejang (2019); Osing (2022), dan Malayu Jambi, Tolaki, Cirebon, Gayo, dan Bima (2023). Dalam penerjemahan ini, Kementerian Agama melibatkan akademisi, ahli tafsir, sarjana dan juga ahli bahasa daerah setempat dengan kualifikasi menguasai bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an, menguasai pengetahuan dasar Ulumul Qur’an dan Tafsir, menguasai bahasa dan budaya daerah yang menjadi sasaran terjemah.
Perkembangan selanjutnya, Kementerian Agama tidak hanya menerbitkan dan mencetak terjemah-terjemah tersebut secara terbatas, tetapi juga melakukan digitalisasi terjemah Al-Qur’an yang bisa diunduh di Play Store atau App Store, meskipun masih terbatas pada terjemah bahasa Melayu Palembang, Melayu Jambi, Mandar, Osing, Sunda dan Banyumasan.
Menurut data Etnologue, Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan jumlah bahasa daerah terbanyak, yakni 720. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya ada 71 bahasa daerah yang memiliki ketahanan untuk digunakan (durability). Jika Kemenag sudah menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam 26 bahasa daerah, maka masih ada 45 bahasa daerah yang musti disasar.
Pertanyaan selanjutnya, seberapa efektif terjemah Al-Qur’an ke dalam bahasa daerah bisa turut melestarikan bahasa daerah tersebut? Sejauh ini memang belum ada riset yang menjawab pertanyaan ini. Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa rasanya tidak cukup diklaim sebagai instrumen pelestari bahasa daerah selama terjemah Al-Qur’an itu tidak dimanfaatkan secara baik oleh penutur bahasa daerah tersebut. Misalnya, penggunaan terjemah sebagai referensi pelajaran bahasa daerah atau kegiatan keagamaan, pembacaan (sari tilawah) terjemah Al-Qur’an bahasa daerah pada acara-acara resmi kedaerahan ataupun bentuk-bentuk kegiatan performasi lainnya sehingga masyarakat tertarik untuk menggunakan terjemah tersebut. Tentu, dalam hal ini, diperlukan kerja sama-kerja sama dengan pihak lain seperti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dan juga pemerintah daerah untuk turut memfungsikan terjemah-terjemah Al-Qur’an tersebut sehingga tidak hanya sekadar menjadi pajangan dan warisan yang mati. Semoga.