Menebar Rahmat bagi Sekalian Alam

1 Sep 2010
Menebar Rahmat bagi Sekalian Alam

Book Review 

Menebar Rahmat bagi Sekalian Alam 

Judul               : Islam Rahmah Untuk Bangsa

Pengarang       : Prof.Dr. Hamka Haq,MA

Penerbit           : RMBOOKS, 2009

Tebal               : xv + 401 hlm.  

Buku ini hadir untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai watak rahmat Islam bagi segenap alam. Melalui pendekatan reintrepretatif fiqhiyah atas sejumlah ayat al Qur’an dari pesan kenabian, penulis menawarkan sebuah implementasi keislaman yang kompatibel dengan nafas keindonesiaan dan demokrasi.

Masalah yang selalu hangat dibicarakan menyangkut umat beragama di Indonesia ialah hubungan timbal balik antara agama dan Pancasila. Pengamalan Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan kewajiban konstitusional. Namun, dalam konteks ini, Pancasila harus dipandang sebagai bagian dari ajaran luhur semua agama, karena memang Pancasila itu sendiri telah mengandung nilai – nilai agama. Walaupun selama ini ada semacam slogan bahwa Pancasila tidak bisa diagamakan dan agama tidak boleh dipancasilakan.

Pancasila digagas untuk kesejahteraan rakyat. Jika Pancasila diawali dengan sila Ketuhanan, maka ia diakhiri dengan sila keadilan sosial. Dua sila tersebut diantarai dengan tiga sila lainnya, yakni : Kemanusiaan, Persatuan (kebangsaan) dan Kerakyatan (demokrasi). Semua itu berarti bahwa sila Ketuhanan menghendaki pengamalan nilai agama yang menitikberatkan pada terwujudnya persaudaraan kebangsaan, keadilan dan kemakmuran rakyat. Hal ini mustahil dicapai jika setiap umat beragama bersikap egois, untuk kepentingan agamanya sendiri. Umat beragama harus bersikap inklusif, dengan mengamalkan nilai – nilai universal agamanya yang toleran pada agama lain.

Bagi umat Islam, contoh yang paling tepat mengenai hal itu diatas ialah sunnah yang telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad, dengan mengutamakan nilai universal Islami ketimbang simbol tekstual, demi perdamaian bagi masyarakat yang beragama. Coba kita ingat, ketika Nabi Muhammad melakukan perundingan damai dengan kaum Quraisy Mekah pada 628 M (tahun 6 H) di Hudaibiyah. Hampir saja perundingan itu gagal karena keberatan pihak Quraisy terhadap bacaan BasmAllah ( Bi ismi Allahi al- rahmani al rahim ) yang tertulis pada awal naskah perdamaian.  Nabi mementingkan solusi damai ketimbang simbol formal; maka Nabi pun meminta tulisan Basmalah diganti dengan kalimat yang lebih singkat bi ismika Allahumma, yang dapat diterima oleh semua pihak. Sungguh luar biasa, Rasulullah SAW benar – benar memberi rahmah (rahmatan li al alamin) untuk perdamaian tersebut.

Kini, andil terpenting umat Islam ialah menegakkan risalah Islamiyah yang rahmah dan ramah demi keindonesiaan yang berbhineka. Itulah cara paling indah mencapai ridha Tuhan di negeri ini, yakni mengamalkan nilai - nilai universal Islam, perdamaian Indonesia yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur (Negara makmur di bawah ampunan Tuhan).

Kita perlu belajar dari sejarah Nabi. Nabi tidak bersikap egois, tidak ekslusif, dan mengutamakan perdamaian ketimbang simbol agama. Jadikanlah Nabi sebagai panutan. Sebagaimana firman Tuhan Q.S al ahzab [33]: 21 “ Sesunguhnya telah ada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”.           

Realitas kebhinekaan itulah yang mengilhami ideologi nasionalisme, yaitu Negara kebangsaan yang telah diperjuangkan oleh politisi, ulama dan pejuang Muslim angkatan 45. Dari sudut pandang syariah, hal ini bukanlah pengingkaran terhadap ajaran Islam, melainkan pengamalan ajaran Islam universal dalam konteks kehidupan bangsa yang plural.           

Dalam buku ini Prof. Hamka Haq memberikan paparan yang cukup komprehensif tentang gambaran Islam dari sisi syariah dan hukum fikih. Secara harfiah, kata syariah dalam bahasa Arab berarti jalan yang lurus. Orang – orang Arab dahulu mengunakan kata ini untuk menunjukkan suatu jalan ke tempat memperoleh air minum yang telah dikenal dan digunakan secara umum. Dengan demikian kata itu berarti suatu jalan utama yang jelas arahnya untuk dilewati orang banyak (the clear path or “the highway” to be followed).           

Istilah syariah sebenarnya mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan akhlak. Dengan demikian, syariah mengandung arti bertauhid kepada Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul – rasul-Nya, kitab – kitab-Nya dan hari pembalasan. Pendeknya syariah menyangkut segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi berserah diri kepada Tuhan (Muslim). Pengertian inilah yang terkandung dalam Q.S. al- Jatsiyah [45] : 18 dan Q.S. al Maidah [5] : 48.           

Untuk mengamalkan Islam dalam ruang lingkup masyarakat plural lagi menglobal, paradigma yang relevan ialah kemaslahatan bersama, bukan paradigma klaim kebenaran sepihak yang bertumpu pada kitab suci. Sebab, selama masing–masing umat beragama hanya bertumpu pada klaim kebenaran kitab sucinya sebagai paradigma pengamalan agama, niscaya terjadilah sekat – sekat antarumat beragama, akibat perbedaan konsep iman dan ibadah dalam kitab suci masing – masing. Lain halnya jika semua mengacu pada paradigma kemaslahatan. Di sana akan terbangun persamaan konsep dan kebersamaan kultural menuju kemaslahatan untuk semua.           

Dengan bertumpu pada kemaslahatan, ajaran agama akan membumi dan lebih banyak memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia. Secara teologis, semua agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia, lebih mulia dari segalanya. Agama, yang juga merupakan makhluk, diciptakan Tuhan untuk keperluan manusia. Maka dengan sendirinya kepentingan manusia menjadi inti dari ajaran semua agama. Agama diturunkan Tuhan untuk tunduk pada kepentingan manusia, bukan sebaliknya, manusia dikorbankan demi ajaran agama yang berbeda – beda.           

Jika prinsip kemaslahatan menjadi tujuan penciptaan manusia, maka kemaslahatan itupun menjadi tujuan utama syariat Islam. Antara tujuan penciptaan dan tujuan syariah mustahil terjadi pertentangan. Dalam tradisi pewahyuan, Allah mengutus para nabi dibekali syariah dengan merespon tuntutan kemaslahatan sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi manusia yang selalu berubah. Ini berarti Tuhan yang Maha Berkendak membiarkan perbedaan dan perubahan ini terjadi demi kemaslahatan hambaNya. Terhadap perubahan dan perbedaa itulah, Tuhan menyiapkan syariah yang elastis, yang cocok untuk segala zaman dan tempat.            

Singkatnya segala ibadah akan menjadi pelindung dalam menghadapi kejahatan asal bernafaskan hikmah kemanusiaan; ia tidak sekedar ditunaikan menurut hukum, atau sekedar menurut teks kitab suci, tetapi sarat akan makna yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yakni untuk kepentingan dan kebahagiaan semua manusia, dan rahmatan lil alamin, untuk rahmat bagi alam semesta. Kunci dari semuanya ialah melaksanakan hukum dengan tetap mengacu pada hikmahnya.           

Sejalan dengan paradigma kemaslahatan di atas, maka terdapat tiga asas pelaksanaan syariah yang disepakati oleh para ulama, yakni bahwa syariah tidak memberatkan, syariah tidak memperbanyak tuntutan, dan syariah dilaksanakan secara bertahap.            

Untuk melaksanakan syariah di tengah kebhinekaaan bangsa Indonesia, setidaknya ada tiga aspek yang berkaitan yaitu konstitusi, sikap umat Islam sendiri, dan respon positif dari umat agama lain. Aspek konstitusional ialah lahirnya perundang–undangan yang mencerminkan pelaksanaan subtansi dan nilai ajaran Islam. Sebenarnya telah banyak undang–undang yang mendukung syariah, khususnya bagi umat Islam pada aspek tertentu, misalnya undang–undang tentang perkawinan, kewarisan, hibah wasiat, ekonomi dan keuangan (bank, pegadaian dan asuransi), zakat dan haji. Sedangkan sikap positif umat Islam sendiri, dengan penyampaian secara arif, bi al hikmah, agar mereka tidak merasa asing atau takut, bahkan ngeri terhadap syariat agamanya. Syariah bukan alasan untuk mengganggu umat agama lain, justru memberi keleluasaan dalam kehidupan bersama secara toleran. Maka jangan sekali–kali ada keinginan untuk, atas nama syariah menempatkan umat agama lain sebagai warga negara kelas dua dalam masyarakat.               

Mengenai konstitusi dan kulturasi syariah, bisa dilihat pada upaya amandemen UUD 45 yang mencuatkan kembali perbincangan syariah di tengah masyarakat. Upaya tersebut bermaksud untuk mengembalikan tujuh kata dalam piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya” ke dalam batang tubuh UUD 45. Padahal tujuh kata tersebut telah dicoret berdasarkan kesepakatan pendiri Negara sehingga tidak dicantumkan lagi dalam UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu. Amat bijaksanalah para pendiri bangsa, demi kesatuan bangsa dan menyelamatkan Negara hasil proklamasi 1945, mereka bersama segenap elemen bangsa waktu itu menerima UUD 1945 minus tujuh kata dari Piagam Jakarta tersebut.           

Menjalankan agama secara berkebudayaan dan berkeadaban tanpa egoisme, bukan dalam arti formalisasi agama tetapi dalam arti menyemangati kehidupan bernegara dengan spirit agama, sehingga betul-betul bernuansa religius. Untuk itu kita harus memaknai syariah dalam arti luas dan luwes, bukan dalam arti yang kaku sebagai hukum formal dan fikih. Dalam arti luas, syariah mencakup keimanan, akhlak mulia, amal shaleh, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan sebagaimana yang diperintahkan Allah. Atau tegasnya, syariah itu tidak lain merupakan ajaran Islam yang memadukan anatara nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan utuh yang disebut al din. Ajaran syariah tentang moralitas (misalnya akhlak mulia), pada hakekatnya adalah ajaran universal dari semua agama, dan tak satupun umat agama yang akan mengingkarinya.           

Mengenai akidah (aspek pokok syariah) dan proses akulturasi, Prof.Dr. Hamka Haq,MA memaparkan setidaknya ada tiga alasan prinsipil mengapa penerapan akidah harus dikedepankan dari segalanya, yakni pertama, bahwa ia merupakan landasan sahnya setiap amalan syariah.  Tanpa akidah (iman), semua amal tidak punya legalitas di sisi Allah, baik ibadah dan muammmalah.  Kedua, akidah mengandung motivasi yang mendorong orang untuk beramal; tanpa akidah mustahil seorang muslim terdorong hati, jiwa dan jasmaninya untuk berbuat baik. Dan yang ketiga, bahwa akidah memberikan kesiapan kultural pada sertiap muslim untuk melaksanakan syariah agamanya.            Bagaimana sikap dasar syariah di tengah pluralitas agama. Dalam teks al Quran, umat agama lain dibedakan dalam dua macam, yakni kaum musyrikin (politeisme) dan ahl al kitab (penganut kitab suci) yaitu Nasrani (Kristen) dan Yahudi. Inti persoalannya adalah batasan ahli kitab, karena sebagaian ulama mendefinisikan ahli kitab sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi Musa dan Nabi Isa. Pendapat yang kuat sebenarnya mendefinisikan ahli kitab secara mutlak untuk kaum Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi Muhammad, yang justru trinitas telah menjadi keyakinan umum kaum Kristen. Alasannya, bahwa kaum Kristen Najran yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad telah menganut trinitas, bahkan menghargai pula Nabi Muhammad sebagai putra Tuhan, walau Nabi menolaknya. Mereka disambut oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya dengan ramah di masjid Nabawi. (tafsir al Kurtubi juz IV.h.4). Rasulullah memperlakukan umat agama lain sama dengan umat Islam ketika beliau memimpin Madinah.            

Demokrasi (musyawarah) dan kedaulatan Tuhan, banyak pemikir Islam yang menolak demokrasi, dengan alasan bahwa demokrasi sebagai kedaulatan rakyat adalah bertentangan dengan konsep kedaulatan Tuhan. Menurut Prof.Dr. Hamka Haq,MA, pemikir-pemikir yang teosentrik tersebut kebanyakan mengutip pada abad pertengahan yang mengatakan bahwa pengakuan atas kedaulatan manusia adalah pelanggaran akidah. Menurut mereka, jika manusia memiliki kedaulatan, berarti ia berhadapan dengan kadaulatan Tuhan. Mereka menolak demokrasi juga karena demokrasi merupakan produk sekularis. Otoritas kebenaran syariah secara mutlak adalah kewenangan Ilahi, bujukan pada kewenangan manusia. Tetapi ketika kebenaran wahyu diterapkan di tengah masyarakat manusia yang beragam aspirasinya, maka dibutuhkan metode penerapan yang disepakati oleh mereka. Proses untuk meramu kesamaan aspirasi itu adalah musyawarah, yang tidak lain adalah sebuah bentuk demokrasi. Dengan begitu kebenaran wahyu dapat terbumikan di tengah masyarakat. Ini sekaligus berarti bahwa demokrasi justru merupakan bagian dari pelaksanaan wahyu Tuhan, bukan penghalang syariah Tuhan.           

Prof. Dr. Hamka Haq memberikan pandangan-pandangannya mengenai Keadilan Gender, yang dimulai dengan hal mengenai martabat perempuan, kemudian hak perempuan sebagai orang tua, pendidikan perempuan, hak menjadi pemimpin, dan hak waris kaum perempuan secara komprehensif, bahkan alasan- alasannya yang cukup logis dan humanis.           

Membangun Ekonomi Islam juga hal yang cukup penting dikaji dalam buku ini.Dimana pemaparan diawali dengan asas –asas ekonomi menurut Islam, falsafah ekonomi kerakyatan (mustadh’afin), demokrasi ekonomi, kapitalis versus pancasila dan Islam, bahwa konsep ekonomi Islam merupakan konsep ekonomi yang tanpa kezhaliman. Berdasarkan penelaahan terhadap sejumlah ayat dan hadist, terdapat beberapa simpul pokok mengenai pengembangan ekonomi Islam, yaitu : asas pemilikan pribadi, asas gotong royong, asas keadilan dan transparansi, asas kemaslahatan umum, asas legalitas, asas pertumbuhan dan asas kemerdekaan.

Dengan mengetahui asas – asas tersebut, kita dapat mengukur sejauh mana nilai Islam telah terlaksana dalam kultur ekonomi masyarakat, tanpa tergantung pada ada tidaknya undang-undang dan aturan formal tertentu.

Salah satu asas terpenting dalam ekonomi Islam adalah asas kemaslahatan umum. Asas ini berkaitan dengan kehidupan duniawi dan ukhrawi yang harus seimbang dan berpadu antara satu dengan lainnya. Demikian pula keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban yang berkaitan dengan aspek keadilan. Aspek keadilan dan keseimbangan inilah yang menjadi salah satu hikmah syariah untuk perlindungan bagi hajat hidup orang banyak, terutama mereka yang tergolong ekonomi lemah (miskin dan melarat ); lemah dari segi politik, lemah dari segi pendidikan, lemah dari segi pembelaan hukum, lemah dalam biaya kesehatan dan seterusnya. Hal ini dimaksudkan agar dalam kehidupan bermasyarakat, tak satupun pihak yang menzalimi dan terzalimi.

Secara moral, ekonomi menurut ajaran agama adalah titipan (amanah) Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. Hal ini disebutkan antara lain dalam Q.S. al-Nur [24] : 33 yang artinya “Dan berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang telah dianugerahkan kepadamu”. Di tempat lain,Allah berfirman dalam Q.S.al–Hasyr [59]: 7 yang artinya : “Supaya jangan kekayaan itu beredar di kalangan orang kaya di antaramu saja”. Itulah sebabnya zakat diwajibkan untuk disadari bersama bahwa harta adalah amanah Allah yang harus ditunaikan untuk kesejahteraan sosial. Prinsipnya ialah menolong yang lemah, sebab mereka itu adalah mitra kehidupan bagi mereka yang kuat.Bagi Prof. Dr. Hamka Haq Jika memang bangsa ini tetap setia pada Pancasila, dan umat Islam mengaku menjalankan syariah, maka tidak ada jalan lain kecuali melawan kapitalisme di Indonesia.

Hendaknya bangsa kita terlena dengan retorika syariah formal, tanpa menyadari betapa pentingnya menolak sejumlah kebijakan ekonomi kapitalistik yang bertentangan secara makro dengan syariah. Tanpa penolakan seperti itu berarti kita telah turut secara sistemik dalam menzalimi rakyat kecil (kaum dhu’afa). Dan jangan hanya terpesona dengan retorika bahaya laten komunis yang telah membunuh jenderal-jenderal yang tak berdosa, tetapi waspadalah terhadap kejahatan baru dari sistem kapitalis yang mengeksploitasi jutaan rakyat kecil.Kepedulian tehadap sesama guna membangun iklim ekonomi yang sehat merupakan bagian dari semangat syariah seperti dianjurkan dalam Q.S. al –Maidah [5] : 2 “Dan tolong menolonglah kamu dalam (usaha ) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.

Tanpa kemitraan dan kebersamaan, seperti yang dipesankan dalam ayat tersebut, potensi rakyat akan menjadi sia-sia, tak mampu mengangkat kesejahteraan mereka.  Bangsa Indonesia menggunakan koperasi sebagai badan ekonomi yang melibatkan masyarakat yang memainkan peran secara serius untuk kesejahteraan tersebut. Peran ini memerlukan sumber daya manusia dalam koperasi yang terampil dan professional, dan yang lebih penting adalah transparan, jujur dan komit pada ekonomi kerakyatan. Koperasi diharapkan tidak akan tergoda menjerumuskan masyarakat ke dalam sistem kapitalis. Seringkali terjadi koperasi yang telah mencapai puncak kejayaannya  tiba – tiba lupa akan jati dirinya sebagai milik rakyat, malah berubah menjadi milik pemodal besar.  Sistem yang dibangun menjadi kapitalistik, sehingga koperasi menjadi satelit konglomerat tertentu. Atau koperasi hanya menyejahterakan pengurusnya saja, kemudian menelantarkan bahkan mungkin menipu para anggotanya. Hal tesebut merupakan kezaliman baru yang bertentangan dengan syariah maupun konstitusi.            

Uraian mengenai teknologi juga menjadi hal yang menarik dalam pembahasan buku ini. Disebutkan bahwa Islam menawarkan sebuah konsep teknologi yang berteologi. Teknologi dipupuk di dunia pendidikan, maka dalam ulasannya, pembahasan buku ini dimulai dari teknologi yang tanpa dikotomi keilmuan, pendidikan Islam yang berbasis akhlak, pendidikan kebangsaan, dan bagaimana pesantren di tengah sistem pendidikan nasional, bahkan bagaimana kita menghargai profesi guru.           

Peradaban Islam tidak lahir dengan hanya semata-mata merujuk pada al-Qur’an secara tekstual. Sebab, sebagai kitab suci, al-Qur’an bukanlah kamus segala hal. Karena itu, teks al-Qur’an tidaklah memuat secara lengkap petunjuk praktis bagi ilmu pengetahuan yang dibutuhkan manusia. Namun, dengan semangat yang luar biasa dari al-Qur’an, umat Islam di zaman klasik terdorong untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Serangkaian upaya penerjemahan kitab–kitab Yunani dilakukan berbarengan pula dengan kontak langsung dengan Kerajaan Romawi, sehingga Cendekiawan Muslim ketika itu lebih bisa mengenal secara dekat naskah–naskah ilmu pengetahuan Yunani, Persia, India dan mungkin Cina. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam sebenarnya tidak megenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Justru kedua ilmu tersebut berpadu dalam semangat al-Qur’an.           

Sisi keimanan yan tak terpisahkan dari sains dan teknologi  sebenarnya telah diharmoniskan dalam al-Qur’an, sebagaimana dipahami dari sejumlah kata kuncinya sendiri. Untuk manusia, al-Qur’an memakai istilah khalifah yang berarti penerus nilai Ilahiyah bagi peradaban di muka bumi. Untuk penguasaan ilmu yang menjadi pilar peradaban, al-Qur’an memberikan instruksiiqra’ (bacalah) dalam ayat yang berbunyi  : iqra bi ismi rabbik; dan untuk mengelola alam semesta, sebagai natural resources, al-Qur’an menyatakan perlunya eksplorasi alam  (taskhir) seperti terdapat dalam ayat :alam tara anna Allah sakhkhara lakum ma fi al samawati wa ma fi al-ardhl. Selain dari tiga kunci : khalifah, iqra’, dan taskhir, masih terdapat lagi sejumlah istilah dalam al Qur’an yang berkaitan dengan tanggung jawab manusia sebagai pembangunan peradaban manusia.           

Dengan semangat “iqra bi ismi rabbik” (bacalah dengan nama Tuhanmu), seharusnya umat Islam dewasa ini memiliki keberanian menyerap produk peradaban Barat untuk diberi nafas keimanan. Pendidikan yang berbasis akhlak merupakan tanggung jawab semua kalangan baik dari keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Adalah sebuah kesalahan fatal ketika pendidikan hanya dijadikan sebagai wadah semata – mata untuk mencetak generasi yang cerdas dan pintar dengan segudang ilmu pengetahuan yang dikuasainya, dan mengabaikan penghalusan budi pekerti di kalangan peserta didik.Pembahasan paling akhir pada buku ini yang ditempatkan pada bab XI mengulas tentang menuju masyarakat dan lingkungan sehat. Islam  mengajarkan bahwa sehat itu ibadah, kebersihan sebagian dari Islam. Makanan dan minuman untuk sehat, dan kesehatan keluarga.  Kesehatan adalah ajaran pokok dalam semua agama, tak terkecuali Islam. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa inti dari segala ajaran adalah sehat jasmani dan rohani. Para ulama penulis buku fikihpun selalu menuliskan tentang kesehatan pada bagian awal buku fikihnya. Persoalan mendasar sekarang adalah bagaimana mendidik bangsa kita untuk berbudaya sehat dan bersih. Bahwa kebersihan tidak hanya dalam konteks pemahaman dan kaku sebatas suci dari najis, tetapi dengan perlunya membangun budaya lingkungan yang sehat dan bersih dari pencemaran  dan penyakit.

Ketika Muhammad Abduh, pemikir muslim pembaharu dari Mesir, berkunjung ke Perancis, ia melihat betapa masyarakat di Eropa memiliki budaya bersih. Kota Paris begitu indah dan asri, lagi pula tertata dengan baik tidak seperti di negerinya Mesir yang kumuh dan semrawut. Dia pun menyatakan bahwa “aku melihat Islam di Paris walaupun aku tidak melihat mereka Muslim”.[]

 

 
Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI