Menguak Kearifan Lokal Naskah Kuno Sunda Wiwitan Wilayah Kuningan Jawa Barat
Kuningan (19 Juli 2019). Naskah kuno menyimpan sejumlah warisan yang berharga dan perlu diangkat kembali untuk diketahui khalayak umum menjadi tuntunan hidup maupun contoh teladan. Naskah-naskah kuno Sunda Wiwitan mengandung kearifan lokal yang sarat dengan kebermanfaatan. Namun sangat disayangkan, isinya belum terungkap dengan baik di hadapan publik, padahal di antara isinya banyak mengandung nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme yang cukup tinggi dan penting untuk hidup berbangsa dan bernegara.
Rama Anom, anak sulung dari Pangeran Djatikusumah (cucu Pangeran Madrais), selaku ketua adat bersama adiknya Ibu Tati, mengupas tuntas tentang apa yang dimaksud Sunda Wiwitan, sejarah dan perlakuan lingkungan serta negara terhadap Sunda Wiwitan.
Sunda Wiwitan adalah sebuah paham yang dianut oleh keturunan kerajaan Gebang. Sunda Wiwitan memiliki ajaran percaya kepada Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Kersa yang sama maknanya dengan Tuhan yang Maha Esa. Dalam pelaksanaan kenegaraan, beberapa tingkat sistem pemerintahan disebutkan seperti Kaprabuan adalah yudikatif, Karamaan yaitu eksekutif, Karatuan adalah legislatif.
Dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan menganugerahkan rasa kemanusiaan. Posisinya adalah Tuhan yang Maha Tinggi, manusia, dan sifat kemanusiaan. Salah satu sifat kemanusiaan adalah getaran cinta kasih yang diberikan Tuhan. Ini adalah naluri dasar manusia yang menjadi ajaran Sunda Wiwitan. Dalam tataran kehidupan sehari-hari, perilaku dan tata aturan sopan santun diajarkan dalam salam orang Sunda, Sampurasun artinya keselamatan untuk kita semua. Jawab dari salam tersebut adalah Rampes atau Rahayu disebutkan tiga kali yang berarti keselamatan.
Keluarga ini menyimpan naskah kuno dalam jumlah yang sangat banyak, namun dalam bentuk lembaran. Sayangnya, saat ini belum dapat dilihat tumpukan naskah ini karena disimpan oleh saudari bungsu Rama Anom dan Ibu Tati bernama Ibu Dewi Kanti, selaku Humas yang tidak berada di tempat (sedang di Jakarta).
Menurut cerita Ibu Tati, naskah kuno yang disimpan dan menjadi milik keluarga ini adalah naskah sunda yang unik, karena tulisannya merupakan tulisan hasil adopsi dari sembilan belas aksara yang ada di Nusantara, dan kemudian dijadikan aksara Sunda Wiwitan. Naskah ini masih bisa dibaca hanya oleh anak nomor dua yang beragama Katolik, dan ayah mereka, Pangeran Djatikusumah.
Naskah ini sebagian sudah dilakukan digitalisasi oleh pihak asing, yaitu British Library dan Dreamsea. Namun belum semua didigitalkan. Ini adalah kesempatan Kementerian Agama melalui Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi untuk bergerak lebih cepat mengalihmediakan naskah Sunda Wiwitan ini untuk dipelihara, dikaji, dan digali ilmu yang ada didalamnya untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara.
Sesuai dengan amanat penulis dan keluarga ini adalah tulisan-tulisan yang berharga tersebut dan merupakan warisan yang tiada tara nilainya mesti ditebarkan dan dipelajari, untuk mengetahui hal yang sebenarnya yang terjadi pada masa lampau, dan ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk dijadikan tuntunan hidup.
Spirit yang terkandung dalam manuskrip Sunda Wiwitan adalah menjunjung nilai nilai kemanusian dan kebangsaan yang pada umumnya ditulis oleh Pangeran Madrais. Dalam naskah-naskah tersebut terdapat keunikan-keunikan seperti makna simbol dari lukisan yang diukir di dalamnya. Simbol ditulis dengan sangat halus sekali dan di dalamnya mengandung makna yang sangat tinggi dan sangat kontekstual dengan kekinian. Kita—demikian ungkap Ibu Tati—sebagai pewarisnya benar-benar harus menjaga itu.
“Misalnya apabila akan terjadi bencana, maka akan ada tandanya terlebih dahulu. Naskah-naskah tersebut seperti menuntun kami sekeluarga dalam mengarungi langkah kehidupan di dunia ini. Akhirnya kami menjadikannya sebagai tuntunan dalam sikap-sikap kami dalam sehari-hari,” ungkap Ibu Tati.
Disamping itu, naskah-naskah tersebut juga banyak mengingatkan pembaca kepada nasionalisme. Diantara gaya bahasanya merupakan bagian dari bahasa Melayu, Sunda, dan Jawa. Selain itu, isinya ada juga tentang sejarah hidup Pangeran Madrais.
Dalam tulisannya, Pangeran Madrais menceritakan fenomena alam, kondisi sosial masyarakat, dan tata pemerintahan. Satu naskah yang ditulis bisa memiliki banyak isinya. Hal ini sangat mungkin, karena untuk menghemat kertas dan menampung ide dan pengetahuan yang harus ditulis segera. Karena itu, agar naskah ini mudah dibaca dan dipahami generasi sekarang, perlu disusun lagi terkait klasifikasi isinya.
Keberadaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan memang belum terekspos dengan baik, bahkan salah memahami tentang jati diri keluarga dan penganut Sunda Wiwitan ini, demikian ungkap Rama Anom. Sejak masa pemerintahan Belanda, Pangeran Madrais tidak pernah kerja sama dengan pemerintah Belanda yang menyebabkan ia masuk penjara di Boven Digoel.
Pangeran Sutajaya, kakek Pangeran Madrais dan rakyatnya adalah orang-orang yang memiliki sikap keras dan tegas dalam pemborantakan melawan Belanda. Realitasnya banyak sejarah yang disembunyikan, bahwa Gebang dibumihanguskan oleh Belanda sebagai bukti perlawanan.
Bukti-bukti Madrais bersikeras dalam melawan penjajah tidak diungkap. Periodiasi Gebang sampai sekarang adalah mempertahankan Sunda Wiwitan sebagai pertahanan identitas diri, tidak diketahui khalayak. Bangsa kita sudah melupakan sejarah akarnya.
“Perjuangan dari leluhur kami adalah perjuangan tanpa pamrih. Karena naluri yang menggerakkannya,” ungkap Ibu Tati.
Demikian pertemuan dengan Rama Anom dan keluarga Sunda Wiwitan bersama tim peneliti dalam penelusuran naskah kuno di wilayah Kuningan pada 18-20 Juli 2019 di rumah Rama Anom. Semoga dalam waktu dekat, Kementerian Agama melalui Puslitbang LKKMO dapat bergerak cepat dalam menggali khazanah bangsa yang terdapat dalam naskah-naskah kuno Sunda Wiwitan ini. []
(Jry/Fi/Ny)