Menyoal Efektivitas Survei Daring
Arif Gunawan Santoso
Perencana Muda pada Balai Litbang Agama Semarang
Pandemi akibat adanya penyebaran penyakit Covid-19 berhasil mendobrak kemapanan yang selama ini telah berlangsung. Kebiasaan-kebiasaan baru bermunculan seiring dengan adanya imbauan pembatasan pergerakan manusia. Salah satu kebiasaan yang semakin marak ditengah pandemic adalah survei daring yang dilakukan oleh berbagai elemen.
Meskipun bukan merupakan kebiasaan yang benar-benar baru, survei daring mengalami peningkatan yang signifikan dengan adanya pandemik Covid-19. Tidak hanya dilaksanakan oleh mahasiswa, survei daring juga mulai marak dilakukan oleh para akademisi dan peneliti.
Biaya yang murah dan tidak perlunya mobilitas peneliti menjadi alasan utama para akademisi dan peneliti memanfaatkan fasilitas survei daring. Tanpa harus menemui responden, pada peneliti mampu menjaring data dari berbagai lokasi. Cukup melalui penyebaran tautan survei daring melalui jejaring pesan daring seperti email, whatsapp dan media lainnya, instrumen dapat disebarkan secara masif.
Ditengah euforia pemanfaatan survei daring, nampaknya perlu didiskusikan secara kritis secauh mana efektifitas penelitian menggunakan fasilitas Survei daring. Tulisan ini berusaha mengungkap beberapa kelemahan-kelemahan yang berpotensi terjadi dengan penggunaan survei daring.
Cara Paling Jitu untuk Memercayainya adalah Dengan Cara Tidak Memercayainya
Dunia penelitian lahir, salah satunya didasari oleh adanya pertanyaan “Benarkah ini terjadi?”. Ya, penelitian seringkali dilakukan untuk menguji kebenaran suatu informasi. Dalam rangka pengujian itulah, seorang peneliti harus memulai dengan ketidakpercayaan.
Ketidakpercayaan dibutuhkan untuk menumbuhkan sikap kritis. Ketika peneliti memulai penelitian dengan sebuah kepercayaan, maka sulit dibayangkan data seperti apakah yang akan mereka dapatkan. Sangat terbuka kemungkinan data yang didapatkan adalah data yang tidak mendalam dan hanya terlihat di permukaan. Dengan bekal kepercayaan, maka peneliti tidak akan terdorong untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran fakta yang terindra.
Demikianlah, ketidakpercayaan menjadi elemen penting dalam penelitian. Saking pentingnya, peneliti memerlukan triangulasi data, check and recheck data yang didapatkan dengan data lain untuk memastikan bahwa simpulan atas data yang dimiliki tepat.
Sayang, dalam pelaksanaan survei daring, unsur ketidakpercayaan menjadi unsur yang sangat tidak diprioritaskan. Dalam hal pengisian identitas misalnya, survei daring, sejauh pemahaman dan pengalaman penulis, tidak dapat menyajikan fitur untuk memverifikasi kebenaran identitas responden.
Sebagai contoh, dalam sebuah survei daring yang menjadikan guru madrasah sebagai responden, seringkali form survei yang dibuat tidak dapat memberikan fasilitas untuk memastikan bahwa responden yang mengisi adalah benar-benar seorang guru madrasah. Keyakinan bahwa pengisi kuesioner adalah benar-benar berprofesi sebagai guru madrasah sangat rendah.
Problem ini merupakan masalah mendasar yang perlu mendapatkan perhatian bagi para peneliti yang melakukan penelitian melalui survei daring. Kesalahan dalam penentuan responden, akan berakibat sangat fatal dalam pengambilan simpulan penelitian.
Kita kembali ke kasus survei untuk guru madrasah. Jika ternyata yang mengisi kuesioner tersebut bukanlah orang yang berprofesi sebagai guru madrasah, maka masih bergunakah data yang dihasilkan dari form survei daring tersebut? Tentu jawabanya tidak.
Survei dan Penelitian Kualitatif
Kuesioner merupakan salah satu instrumen yang lazim digunakan dalam penelitian kuantitatif. Perdebatan efetivitas survei daring, dimana instrumen utama dalam mengumpulkan data adalah kuesioner, tidak lepas dari perdebatan klasik antara aliran kualitatif dan aliran kuantitatif. Sebagaimana diketahui, terdapat dua pendekatan utama dalam penelitian. Pertama adalah penelitian kualitatif dan kedua adalah penelitian kuantitatif.
Sudah berpuluh-puluh tahun penganut kedua aliran tersebut saling mengklaim keunggulan pendekatan yang dipilihnya dan mendegradasi pendekatan lainnya. Penulis sendiri berpendapat bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya. Salah satu kelebihan pendekatan kuantitatif adalah mampu memberi “gambaran jujur” kondisi yang terdapat pada objek penelitian. Data yang dihasilkan dipastikan bebas dari konflik kepentingan peneliti.
Namun demikian, pendekatan ini memiliki berbagai kelemahan yang dalam konteks penelitian sosial, merupakan cacat yang tak termaafkan. Pendekatan kuantitatif tidak mampu menggali sesuatu yang tersembunyi dibalik sebuah data. Penelitian kuantitatif sulit mengungkap unsur why. Mengapa data tersebut muncul.
Kelemahan penelitian kuantitatif, tentu menjadi kelebihan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif yang lebih fleksibel dan cair dapat menggali pada elemen paling dasar dari sebuah data dan fakta. Pendekatan ini mampu menemukan latar belakang dan alasan dibalik suatu kejadian.
Namun demikian, penelitian kualitatif juga memiliki kelemahan. Subjektivitas seringkali mewarnai pandangan peneliti terhadap suatu objek kajian. Oleh karenanya, simpulan yang didapatkan seringkali tidak dapat independen. “Simpulan jujur” sering kali menjadi sebuah tuntutan yang tidak mampu dipenuhi oleh peneliti.
Dalam konteks penelitian sosial, meskiupun terdapat beberapa kelemahan, pendekatan yang paling sesuai menurut peneliti adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini selama ini belum begitu bersahabat dengan kuesioner. Pendekatan ini lebih mengandalkan penggalian data melalui pengamatan langsung, wawancara dan studi dokumen. Tiga metode pengambilan data yang tidak dapat disubstitusi dengan suatu instrumen yang bernama kuesioner.
Dengan demikian, menurut hemat penulis, penelitian melalui survei daring dalam konteks penelitian sosial, mengandung berbagai problematika elementer. Data hasil dari pengisian kuisioner diyakini tidak memberikan data yang dibutuhkan untuk mengungkap sesuatu dibalik fakta yang terjadi. Data yang didapat tidak mampu menjawab why, whats behind all this.
Tulisan, Media Komunikasi yang Kurang Efektif
Tidak jarang kesalahpahaman terjadi karena bahasa tulisan. Tanda seru (!) memiliki banyak makna. Bagi sebagian orang tanda seru (!) bisa diartikan sebagai sebuah penegasan, namun bagi sebagian lain, tanda tersebut bias jadi dimaknai sebagai sebuah kondisi marah. Masih banyak contoh lain yang dijadikan sebagai bukti bahwa bahasa tulisan, terkadang membuat sebuah pesan tidak diterima sebagaimana mestinya.
Dalam pendekatan kuantitatif, dikenal tahapan uji validitas dan reliabilitas. Uji ini dilakukan untuk memastikan bahwa kuesioner yang disusun memiliki keterandalan sebagai sebuah alat pengumpulan data.
Uji ini akan melakukan penilaian apakah instrumen-instrumen pertanyaan yang disusun mampu dipahami dengan baik oleh responden. Pemahaman yang baik menjadi syarat utama agar data yang dihasilkan tidak bias. Selain itu, uji validitas juga dilakukan agar poin-poin pertanyaan yang disusun benar-benar dapat menjaring data sesuai dengan yang dibutuhkan peneliti.
Meskipun telah melalui uji validitas dan reliabilitas, tak jarang kalimat yang disusun pada poin-poin pertanyaan membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Itulah mengapa dalam metode penelitian kuantitatif, cara paling efektif dalam pengumpulan data adalah melalui wawancara tatap muka langsung antara peneliti dan responden.
Tatap muka dibutuhkan agar mematikan bahwa maksud dari poin pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami dengan baik oleh responden. Tatap muka juga memungkinkan adanya komunikasi, konfirmasi dan penegasan ulan yang bisa jadi dibutuhkan oleh responden dalam mengisi jawaban.
Tatap muka menjadi instrumen penting dalam pengabilan data. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa instrumen penting ini sulit dihadirkan pada metode pengumpulan data melalui survei daring. Sarana komunikasi dan konfirmasi menjadi sangat terbatas. Bahkan tak jarang antara peneliti dan responden yang mengisi kuesioner tidak saling kenal dan tidak saling mengetahui, sehingga kesempatan bagi responden untuk melakukan konfirmasi atas poin pertanyaan yang terdapat dalam form daring menjadi tertutup.
Tiga kondisi diatas, menurut hemat penulis, merupakan problem yang paling mendasar dari pelaksanaan survei daring. Problem yang jika tidak mampu dicarikan jalan penyelesaiannya oleh peneliti akan berdampak pada kualitas laporan hasil penelitian. Sebagai simpulan akhir, penelitian melalui survei daring memanglah murah dan mudah bagi pengumpulan data penelitian. Namun demikian, tentu kemudahan dan kemurahan ini sebaiknya tidak menjadi factor utama mengapa pendekatan survei daring dipilih. Kualitas tidak selayaknya dikalahkan dengan alasan apapun, termasuk alasan murah dan mudah.
Penulis berharap bahwa pelaksanaan survei daring hanyalah sebuah keterpaksaan karena kondisi yang memaksa. Ketika kondisi kembali normal seperti sedia kala, maka sudah selayaknya penelitian kembali pada kebiasaan aslinya, demi terciptanya laporan hasil penelitian yang berkualitas.[]
AGS/diad