Moderasi Beragama Ciptakan Pendidikan Inklusif Bagi Perdamaian Dunia
Yogyakarta (Balitbang Diklat)--- Moderasi beragama dalam dunia pendidikan menjadi landasan dalam menciptakan pendidikan yang inklusif. Artinya, tidak membeda-bedakan latar belakang agama, suku bangsa, warna kulit, serta orientasi seksual peserta didik.
Staf Ahli Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat Prof. Muhammad Adlin Sila mengatakan hal tersebut saat diwawancarai pada gelaran The 4th International Symposium on Religious Literature & Heritage (Islage).
“Pendidikan harus menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi semua peserta didik. Jika kita tidak menciptakan suasana tersebut, maka peserta didik tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik,” ujar Prof. Adlin di Yogyakarta, Kamis (3/8/2023).
Menurutnya, ada tiga isu yang coba ditanggulangi dalam dunia pendidikan melalui pendekatan moderasi beragama. Pertama, intoleransi sikap yang membeda-bedakan orang berdasarkan agama dan lainnya.
“Kedua, kekerasan seksual karena adanya relasi kuasa yang timpang antara guru dengan siswa, kepala sekolah dengan guru-guru. Kekerasan seksual sering terjadi sehingga perlu diantisipasi dan diatasi,” tutur pria asal Makassar ini.
Terakhir, lanjutnya, masalah bullying atau perundungan. Hal tersebut kerap terjadi pada kelompok-kelompok minoritas, baik dari segi agama, suku, dan keterbelakangan mental.
“Biasanya kondisi itu menjadi sebab dari suatu masalah perundungan, atau bisa jadi menimbulkan akibat yang berakhir pada kasus di luar nalar. Di Kementerian Pendidikan, tiga isu ini disebut sebagai tiga dosa besar yang harus ditanggulangi.,” ungkapnya.
“Inilah hubungan antara moderasi beragama dengan pendidikan sebagai sarana diplomasi kebudayaan untuk perdamaian bagi Indonesia dan dunia,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Prof. Adlin menekankan bahwa moderasi beragama harus terus dipraktikkan dan digaungkan. Sebab tantangan yang dihadapi semakin besar, baik dari ekstrem kanan sebagai kelompok yang cenderung tekstualis dalam memahami agama, juga dari ekstrem kiri yang sangat mengagungkan HAM dan liberalisme yang tanpa batas.
“Kondisi ini menjadi tantangan, sehingga bagaimana moderasi beragama harus bisa secara cerdas mengendalikan dua ekstrem tersebut. Tujuannya agar bisa beragama secara moderat yang seimbang antara tekstual dan kemampuan nalar manusia dalam memahami keberagaman, di mana pun kita berada dan di era mana pun kita hidup,” tandasnya.
M. Daffa/diad