Pendidikan Agama Berbasis Kurikulum Cinta
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar mengungkapkan saat ini Kementerian Agama tengah menyusun Kurikulum Cinta, sebuah terminologi yang tidak biasa didengar, menarik perhatian, dan tentu membuat penasaran. Menteri Agama yang akrab disapa Prof. Nasar ini mengutarakan alasan mengapa Kurikulum Cinta ini penting. Ketika masing-masing pengajar agama ada yang mengedukasi umatnya bahwa ajarannya paling benar dan di saat yang sama menyesatkan yang lainnya, bahkan secara kognitif menanamkan kebencian terhadap umat dan ajaran agama lain, menurutnya dalam konteks seperti inilah Kurikulum Cinta menjadi relevan dibutuhkan.
Berdasarkan perspektif tersebut, Kurikulum Cinta secara sederhana dapat dipahami sebagai paradigma pendidikan yang mengintegrasikan sikap cinta, kasih sayang, persahabatan, harmoni, dan empati, jauh dari sikap kebencian, permusuhan, konflik, dan antipati terhadap sesama. Keyakinan beragama boleh berbeda, setiap pemeluk agama juga sepatutnya berpegang teguh terhadap agamanya, namun keyakinan beragama tersebut tidak disertai dengan teologi kebencian terhadap pihak yang berbeda. Terlebih hakikat pendidkan agama secara raison d’etre ditujukan untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa yang memiliki relasi yang baik dengan Tuhannya dan juga dengan sesama umat manusia.
Alih-alih agama menjadi penyegar dahaga spiritual dan perekat kohesi sosial, dalam bentangan sejarah panjang agama-agama di dunia hingga di era modern sekarang ini kita menjumpai absurditas keberagamaan yang satu sama lain saling berkelahi, berperang, dan membunuh. Apakah untuk saling berperang dan membunuh agama ini diturunkan? Semua akan menjawab tidak. Namun faktualnya, kekerasan atas nama agama masih terus terjadi di banyak belahan di dunia, termasuk di Indonesia.
Analisis tentang ajaran agama yang pada dasarnya “mengajarkan kebaikan tetapi bisa menjadi jahat” dielaborasi dengan komprehensif oleh Profesor bidang Perbandingan Agama University of Oklahoma Amerika Serikat, Charles Kimball melalui bukunya When Religion Becomes Evil. Tanpa menyebut agama tertentu, Kimball menyatakan setiap ajaran agama berpotensi disalahgunakan dan diputarbalikkan dari baik menjadi jahat, tentu oleh pemeluknya sendiri. Kimball memandang ajaran agama genuine-nya luhur dan otentik, namun dibajak oleh oknum penganutnya sehingga menjadi korup dan busuk.
Menurut Kimball, ada lima tanda ketika agama berubah menjadi kejahatan atau bencana. Pertama, absolute truth claims (klaim kebenaran mutlak), yaitu memutlakan kebenaran atas interpretasi teks suci agama. Memutlakkan kebenaran berarti memastikan sesuatu yang diyakininya benar tanpa memberi ruang adanya kemungkinan kebenaran lain. Kimball mengakui bahwa klaim kebenaran merupakan landasan berpijak dalam sistem beragama. Namun, sering kali interpretasi yang dianut oleh sesorang atau sekelompok orang dijustifikasi sebagai kebenaran tunggal yang sahih dan bersifat final atau statis sehingga menegasikan ragam interpretasi lainnya. Interpretasi yang berbeda atau berlawanan dengan dirinya dianggap salah bahkan sesat.
Kedua, blind obedience (kepatuhan buta), yaitu mengikuti kayakinan dan pendapat pemimpin atau kelompok agama secara taken for granted (diterima apa adanya) tanpa pemikiran kritis. Menurut Kimball, ketika para penganut agama kehilangan independensinya dan menyerahkan pemahaman keagamaan sepenuhnya kepada pribadi yang dianggap punya otoritas keagamaan, di saat itulah ajaran agama dengan mudah diubah menjadi sumber kekerasan dan kerusakan. Taklid buta para penganut agama menjadi salah satu sebab bagi seorang pemimpin memerintahkan para pengikutnya melakukan kekerasan atas nama agama. Ketika seseorang sudah taklid buta, apapun yang diperintahkan seorang pemimpin akan diikuti apa adanya. Di sinilah kemungkinan besar terjadinya penyalahgunaan agama.
Ketiga, establishing the ideal time (membangun zaman ideal), yaitu merindukan adanya zaman ideal di kemudian hari di dunia ini yang penuh kegemilangan. Itulah zaman yang diinginkan dan diridai Tuhan sehingga pencapaian zaman tersebut harus dirintis dari zaman sekarang dengan segala usaha dan pengorbanan. Menurut Kimball, penganut agama bisa terbius dengan janji-janji adanya zaman ideal yang ditawarkan oleh pemimpin agama sehingga siap melakukan apapun yang diperintahkan demi meraih zaman ideal tersebut. Di sinilah agama diselewengkan sehingga bisa berubah menjadi jahat.
Keempat, the end justifies any means (tujuan menghalalkan segala cara), yaitu bentuk pembenaran melakukan cara apapun untuk mencapai tujuan yang diklaim sebagai tujuan yang ditetapkan agama. Menurut Kimball, tujuan di sini adalah tujuan yang diklaim oleh pemimpin agama sebagai tujuan suci dari misi agama. Padahal, klaim tujuan agama hanyalah klaim subjektif individu sang pemimpin. Sebagai tujuan atau misi suci agama, maka setiap penganut tertuntut untuk berjuang mencapi tujuan tersebut dengan segala cara termasuk melakukan tindakan kekerasan seperti pengusiran dan persekusi. Dari sinilah kekerasan atas nama agama terjadi.
Terakhir, declaring holy war (menyerukan perang suci), yaitu mengajak atau memprovokasi pemeluk agama untuk berperang melawan musuh-musuh agama. Kimball mengakui ada perang yang dilatarbelakangi oleh alasan-alasan yang dapat diterima seperti jika berada dalam situasi membahayakan, dan itu pun menjadi otoritas negara. Namun berperang yang dibungkus atas nama agama dan dinarasikan sebagai perang agama, itulah yang menyebabkan terjadinya penyelewengan ajaran agama. Menurutnya, inti dari ajaran agama yang otentik akan selalu mengutamakan kedamaian, baik kedamaian bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, bahkan dengan seluruh makhluk.
Dengan melihat kondisi riil bangsa saat ini, dan menyimak lima tanda ajaran agama diselewengkan, agaknya Kurikulum Cinta ala Menag yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal ini semakin urgen diwujudkan. Bila kita berpikir skenario (scenario thinking) Indonesia ke depan, tidak berlebihan jika ada yang mengkhawatirkan kondisi bangsa ini di kemudian hari. Dalam pertanyaan satirnya kala menghadiri Pembukaan Sidang Tanwir I ’Aisyiyah di Jakarta (15/1/2025), Menag mengungkapkan “Bayangkan kalau anak-anak kecil kita semuanya ditumbuhi pemahaman agama yang sama, penanaman kebencian satu sama lain. Bagaimana nasib Indonesia yang bhineka ini? Pertanyaan ini menjadi relevan dan mendapatkan momentumnya untuk dijawab dengan Kurikulum Cinta. Publik tentu menunggu seperti apa konsep dan implementasi kurikulum tersebut.