Penerjamahan Al-Qur’an Bahasa Aceh: Semangat Melahirkan Terjemahan Yang Objektif dan Valid
Rabu (11 April 2018). Badan Litbang dan Diklat melaksanakan validasi hasil terjemahan Al-Qur’an kedalam Bahasa Aceh. Kegiatan berlangsung selama tiga hari, 11 s.d 13 April 2018 di Hotel Hermes, Aceh.
Kegiatan validasi ini dibuka langsung oleh Kepala Pusat Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (PLKKMO) Muhammad Zain pada Rabu malam dengan Rektor UIN Ar-Raniry sebagai keynote speech.
Dalam penerjemahan Al-Qur’an, unsur penafsiran tidak bisa dihindari. Kapuslitbang LKKMO menyatakan bahwa menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya juga menafsirkannya. “Terjemah tidak hanya sekedar kegiatan pengalihan bahasa, melainkan termasuk interpretasi, mulai dari pilihan kata yang tepat sampai kepada penetapan kata. Namun penerjemahan tetap saja berupaya untuk mendekatkan makna dasarnya,” ujar Zain.
Sedangkan Rektor UIN Ar-Raniry menyatakan sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an perlu ada penafsiran dan interpretasi karena ayat-ayatnya kebanyakan dhanni ad-dilalah, dan hanya sedikit ayat-ayatqathi dilalah. Karena itu, Al-Qur’an sesuai untuk sepanjang zaman dan tidak pernah terjadi kontra dengan pemikiran atau pengetahuan setinggi apapun.
Lebih lanjut, Kapuslitbang menyarankan agar penerjemahan Al-Qur’an ini memerhatikan standar terjemahan Al-Qur’an yang sudah lama beredar dalam masyarakat, baik di Indonesia maupun di dunia. Sebut saja Tarjuman al-Mustafid karya agung Abdurrauf Singkil, Jalalain karya Jalaluddin Suyuti dan Jalaluddin Mahalli, danBaidhawi karya Imam Baidhawi. Kitab-kitab ini sangat komprehensif. Contoh yang dapat dilihat dalam Tarjuman al-Mustafid, misalnya, penerjemahan kalimatbismillāhirrahmānirrahīm. Singkili tidak menerjemahkan kata ar-rahman dengan “maha pengasih” melainkan “maha pemurah”.
Selain itu, dalam ayat gairul magdūbi alayhim (Surah Al-Fatihah ayat 7), Sinkili mengartikannya dengan “bukan orang-orang yang dimurkai” tidak dengan orang-orang Yahudi saja sebagaimana yang disebut dalam Tafsir Jalalain. Demikian juga halnya dengan katawalad dāllīn yang diartikan “dan bukan pula orang-orang yang tersesat” juga tidak diartikan untuk orang-orang Nasrani saja, sebagaimana dimuat dalam Tafsir Jalalain juga. Singkili terlihat sangat hati-hati dalam menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Beliau memuat penjelasan dalam konteks lebih luas yang bisa dipahami untuk konteks Nusantara juga. Karena itu, kehati-hatian dan keseriusan sangat penting dalam menerjemahkan Al-Qur’an.
Selain itu, karya yang bisa dijadikan rujukan adalah Tafsir al-Bayan, an-Nur karya Prof. Hasbi ash Shiddiqy, Al-Azhar karya Buya Hamka,Al-Furqan karya A. Hassan, dan tentu saja Terjemahan Al-Qur’anDepartemen Agama RI, dan banyak lagi yang bisa dijadikan rujukan dalam penerjemahan Alquran seperti Meaning of the Glorious of the Quran karya Marmaduke Pickthall dan The Message of the Quran, karya Muhammad As’ad.
Dalam menerjemahkan kata-kata yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an, setidaknya penerjemah juga harus memerhatikan arti yang tidak bias dan bisa membawa kemashlahatan kepada semua pihak. Sebut saja, kata sa’ihāt dalam surah at-Tahrīm ayat 5 yang sering diterjemahkan sebagai wanita-wanita yang berpuasa. Padahal kata ini dapat dimaknai tidak bias gender. Sebagaimana Abdullah Yusuf Ali memaknainya dengan who is travel for faith and fast, yaitu wanita yang mengadakan perjalanan haji atau dalam perjalanannya juga melaksanakan puasa. Bergerak dan berpetualang merupakan salah satu ciri dari katagori perempuan yang baik selain mukmināt dan qānitāt.
“Kegiatan validasi penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Aceh juga memiliki keunikan dan kekhasannya tersendiri. Bahasa Aceh merupakan bahasa yang paling singkat dibandingkan dengan bahasa daerah lainnya. Bahasa Aceh yang exist di Aceh ada dalam bentuk internalisasi, belum ada Bahasa Aceh yang dipakai secara akademis. Sementara untuk terjemahan alangkah bagusnya apabila dapat mengkombinasikan dua hal tersebut, internalisasi dan akademis,” demikian ungkap Prof. Dr. Alyasa’ Guru Besar UIN Ar-Raniry yang didapuk sebagai narasumber.
“Penerjemahan Al-Qur’an tentu mengalami liku-liku yang cukup rumit karena harus mencari objektivitas guna menghindari subjektivitas penerjemah sekecil mungkin. Ditambah konsep dasar dibuatnya Penerjemahan Al-Qur’an ini adalah untuk persembahan kepada umat, oleh karena itu diharapkan mudah dipahami oleh pembacanya,” lanjut Prof. Dr. Alyasa’.
Akhirnya, Kapuslitbang berharap agar validasi ini dapat segera diselesaikan. Ia pun berharap Al-Qur’an terjemahan bahasa daerah dapat dibuat dalam versi digital sehingga generasi millennial dapat menggunakannya dengan mudah. Selain itu, sebelum disosialisasikan dan digunakan oleh masyarakat luas, produk terjemahan yang sudah divalidasi wajib ditashih oleh Lajnah Pentashihan Al-Qur’an (LPMA). []
FI/diad