Pentingnya Menjaga Kearifan Lokal Indonesia dalam Ilustrasi Buku Pendidikan Agama

5 Nov 2024
Pentingnya Menjaga Kearifan Lokal Indonesia dalam Ilustrasi Buku Pendidikan Agama
Kegiatan Focus Group Discussion (FDG) Rancangan Peraturan Menteri Agama (PMA) Pengganti PMA Nomor 9 Tahun 2018 dan PMA Nomor 9 Tahun 2021, di Jakarta, Senin (4/11/2024).

Jakarta (Balitbang Diklat)---Dalam rangka penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) yang bertujuan untuk menggantikan sekaligus menggabungkan Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 2018 tentang Buku Pendidikan Agama dan Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengesahan Standar Mutu Buku Umum Keagamaan, Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) mengundang Direktur Kurikulum Sarana Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK), Direktur Pendidikan Agama Islam, Direktur Pendidikan Agama Kristen, Direktur Pendidikan Agama Katolik, Direktur Pendidikan Agama Hindu, Direktur Pendidikan Agama Buddha, dan Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu. Acara ini diadakan pada Senin, 4 November 2024 di Hotel 101 Urban Jakarta Thamrin.

 

Dalam diskusi, para undangan menyampaikan berbagai saran dan masukan terhadap RPMA yang sedang disusun. Direktur Pendidikan Agama Hindu Trimo mengungkapkan bahwa untuk instrumen penilaian buku teks maupun nonteks sudah ada dan bisa diadopsi dari instrumen milik Kemendikbud, yang kemudian bisa disesuaikan dengan nilai dan ciri khas yang ada di Kementerian Agama. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa dalam penilaian buku agama hindu, penting memperhatikan beberapa batasan terkait pembahasan ras dan golongan yang harus dijaga agar tidak melewati batas. Terkait gambar ilustrasi dalam buku juga patut menjadi perhatian.

 

“Gambar ilustrasi yang ada di buku-buku agama Hindu agar tidak bernuansa keindia-indiaan, karena nyatanya kita memiliki kearifan lokal Hindu Nusantara yang pastinya lebih representatif terhadap budaya asli di Indonesia,” tegas Trimo.

 

Selaras dengan Trimo, Nyoman Suriadarma selaku Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha juga menegaskan hal yang sama terkait gambar ilustrasi yang ada di buku-buku agama Buddha.

 

“Gambar ilustrasi yang ada di buku agama Buddha juga jangan bernuansa luar negeri, seperti bernuansa Thailand. Seharusnya gambar ilustrasi dibuat dengan memasukkan kearifan lokal Nusantara yang beragama Buddha,” ungkap Nyoman Suriadarma.

 

Selain itu, Nyoman Suriadarma juga memberikan catatan penting dalam substansi RPMA tersebut, yaitu terkait jenis-jenis pendidikan keagamaan Buddha nonformal.

 

“Jadi jenis-jenis pendidikan keagamaan Buddha nonformal yaitu ada Sekolah Minggu Buddha, Pasastrian, Sikkhapana, dan nama lain yang sejenis,” jelasnya.

 

Selanjutnya, Nyoman Suriadarma juga menegaskan bahwa penting menghindari aspek yang menyinggung SARA dalam buku-buku agama. Ia memberikan penekanan bahwa jangan sampai buku yang beredar dan dibaca oleh masyarakat akan menimbulkan keresahan.

 

Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Pendidikan Agama Katolik Salman Habeahan juga menegaskan untuk memperhatikan substansi materi dari buku-buku agama.

 

“Buku-buku agama yang beredar harus bebas dari diskriminiasi, pornografi, dan SARA,” ungkapnya.

 

Dengan berlangsungnya diskusi yang konstruktif ini, diharapkan RPMA yang sedang disusun dapat menjadi landasan yang kuat untuk pengembangan buku-buku pendidikan agama yang lebih baik dan inklusif. Masukan dari berbagai direktorat terkait menjadi penting untuk memastikan bahwa konten buku tidak hanya mencerminkan nilai-nilai agama yang dianut, tetapi juga selaras dengan kearifan lokal dan budaya Indonesia. Penekanan pada aspek penghindaran isu SARA dan diskriminasi dalam substansi materi buku menjadi sangat penting untuk diperhatikan, agar buku-buku tersebut dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan yang mendidik, aman, dan harmonis bagi masyarakat. (Maudy Mishfanny)

 

Penulis: Maudy Mishfanny
Sumber: Puslitbang Lektur
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI