Penyetaraan Jabatan, Tantangan, dan Hambatan Implementasi
Arif Gunawan Santoso
Perencana Ahli Muda pada Balai Litbang Agama Semarang
I. Pendahuluan
Setelah hanya menjadi wacana, restrukturisasi arsitektur manajemen sumber daya manusia Aparatur Sipil Negara (ASN) akhirnya bisa terealisasi. Restrukturisasi dilakukan dengan alasan agar tercipta iklim birokrasi yang lebih dinamis dan profesional. Selama ini, sistem kerja birokrasi dinilai tidak efektif dan tidak efisien akibat panjangnya jalur birokrasi yang harus dilalui. Oleh karenanya, dilatarbelakangi semangat untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan kinerja birokrasi, presiden menilai perlu adanya penyetaraan jabatan.
Kebijakan penyetaraan jabatan merupakan langkah besar di dunia birokrasi. Terlebih kebijakan ini diberlakukan kepada seluruh kementerian/lembaga, baik level pusat maupun daerah. Respon dari berbagai K/L maupun pemda cukup beragam. Beberapa K/L mengikuti instruksi MenpanRB dengan melakukan penyetaraan seluruh jabatan administrasi menjadi jabatan fungsional, terdapat K/L atau pemda yang melakukan negosiasi-negosiasi agar tidak seluruh jabatan administrasi disetarakan menjadi jabatan fungsional, bahkan terdapat K/L atau pemda yang masih melakukan kajian-kajian dan belum merealisasikan penyetaraan jabatan.
Pemerintah secara serius berupaya melakukan perubahan iklim birokrasi negara agar dapat lebih responsif dan dinamis dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Keseriusan ini diwujudkan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Dalam Jabatan Fungsional yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional.
Melalui peraturan ini, MenpanRB mengamanatkan kepada seluruh K/Luntuk melakukan asesmen mandiri pemetaan jabatan administrasi yang akan disetarakan menjadi pejabat fungsional. Kementerian Agama merespon dengan melakukan pemetaan jabatan. Tidak hanya sekedar memetakan, Kementerian Agama juga melakukan langkah nyata dengan melantik pejabat administrasi menjadi pejabat fungsional.
II. Permasalahan dan Tujuan
Permasalahan
Akhir Desember tahun 2021, Kementerian Agama kembali melakukan penyetaraan jabatan administrasi ke jabatan fungsional. Sebanyak 1.380 pejabat administrator, pengawas, dan pelaksana tingkat pusat dan daerah mengikuti pelantikan yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, Nizar Ali.
Pelantikan ini merupakan kali kedua pelantikan dalam gelombang besar yang dilakukan oleh Kementerian Agama dalam merespon kebijakan presiden yang menginginkan adanya iklim birokrasi yang lebih adaptif, inovatif, dan responsif. Sebelumnya, tahun 2020 Sekjen telah melantik 372 pejabat yang beralih fungsi dari jabatan administrasi ke jabatan fungsional. Dalam perjalanannya terdapat dinamika dan kendala, baik kendala teknis maupun administratif yang dialami.
Tujuan
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisis berbagai kendala dan permasalahan yang sudah, sedang, dan berpotensi terjadi dalam proses implementasi penyetaraan jabatan. Dengan identifikasi kendala dan permasalahan, diharapkan dapat dirumuskan langkah-langkah korektif dan strategis untuk menyelesaikan kendala dan permasalalahan dimaksud.
III. Pembahasan
Presiden Joko Widodo, dalam berbagai kesempatan menyampaikan keluhan atas sistem kerja birokrasi yang dinilai tidak mampu mengikuti dinamika dan perkembangan zaman. Menurutnya, birokrasi di Indonesia tidak dapat bergerak secara inovatif, adaptif, dan responsif. Bahkan dalam konteks kebijakan percepatan investasi, birokrasi dinilai menjadi salah satu faktor penghambat karena terlalu panjangnya jenjang birokrasi.
Berdasarkan penilaian tersebut, Presiden Joko Widodo pada periode ke-2 kepemimpinannya menjadikan reformasi birokrasi menjadi salah satu program prioritasnya. Melalui reformasi birokrasi, setidaknya terjadi percepatan pelayanan dan perizinan, penghapusan pola pikir linier, monoton dan terjebak pada zona nyaman, serta terciptanya iklim birokrasi yang adaptif, produktif, inovatif, dan kompetitif.
Salah satu turunan dari program prioritas tersebut adalah penyetaraan jabatan administrasi menjadi jabatan fungsional. Penyetaraan ini dimaksudkan untuk memangkas alur birokrasi yang pada mulanya terdiri dari empat bahkan lima jenjang jabatan (mulai dari pejabat eselon I sampai pejabat eselon V), menjadi hanya dua jenjang jabatan, yaitu jabatan pimpinan tinggi pratama (eselon I dan II).
Akhir tahun 2021, Kementerian Agama telah menyelesaikan proses penyetaraan jabatan administrasi ke jabatan fungsional baik pada level pusat maupun daerah. Setelah proses penyetaraan, terdapat beberapa kendala dan permasalahan yang menyertai kebijakan ini. Di antaranya adalah:
Pertama, adanya perbedaan karakteristik jabatan administrasi dan jabatan fungsional. Perbedaan ini membawa dampak ikutan dalam implementasi kebijakan penyetaraan jabatan. Secara alamiah, terdapat perbedaan karakter antara jabatan administrasi dengan jabatan fungsional. Jabatan administrasi (lebih lazim disebut sebagai pejabat struktural) menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Manajemen Aparatus Sipil Negara (ASN) adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Peran pejabat administrasi lebih fokus pada fungsi manajemen, dimana pejabat administrasi diberi kewenangan untuk mengatur, mendelegasikan tugas dan kerja pegawai yang berada di bawah kendalinya untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam perspektif birokrasi jabatan administrasi, dikenal dengan dikotomi antara staf dan pimpinan. Pimpinan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mendelegasikan tugas dan pekerjaan, sementara staf memiliki kewajiban untuk mengikuti arahan dan perintah dari pimpinan.
Dalam jabatan administrasi, terdapat tiga level kewenangan, yaitu pejabat administrator (eselon III/), pejabat pengawas (eselon IV/) dan pejabat pelaksana (eselon V). Di bawah tiga level tersebut, terdapat kelompok jabatan pelaksana yang dikenal dengan terminologi staf. Dengan penjenjangan seperti ini, pola pikir/mindset pimpinan yang memiliki peran mengatur dan memerintah dan mindset staf yang wajib mengikuti arahan pimpinan telah terbentuk.
Pola pikir pimpinan dan bawahan dalam dunia jabatan administratif, melalui proses penyetaraan jabatan mengharuskan untuk diubah. Dalam konteks jabatan fungsional, tidak terdapat terminologi pimpinan dan staf, yang ada adalah rekan kerja yang menjalankan tugas dan fungsi sesuai keahlian jabatan fungsionalnya dan sama-sama bertanggung jawab langsung kepada pimpinan.
Dalam realisasi proses penyetaraan jabatan, ternyata tidak mudah mengubah pola pikir para pejabat yang mengalami penyetaraan jabatan. Di sisi lain, pegawai yang telah lebih dulu menduduki jabatan fungsional, menuntut adanya perubahan paradigma para pejabat yang mengalami penyetaraan. Adanya gap antara tuntutan dan harapan dengan realisasi mekanisme kerja pejabat yang mengalami penyetaraan seringkali menimbulkan gesekan. Meskipun demikian, kendala-kendala seperti ini masih dalam batas yang dapat ditoleransi.
Perbedaan karakteristik jabatan administrasi dan jabatan fungsional dalam beberapa hal, merugikan pejabat administrasi yang mengalami penyetaraan. Secara teori, dengan adanya penyetaraan jabatan, maka pejabat yang terdampak sudah beralih menjadi pejabat fungsional yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Tidak lagi berperan sebagai pihak yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab administrator IV/e sebagaimana jabatan sebelumnya.
Namun demikian, dalam prakteknya, dunia birokrasi yang masih membutuhkan jenjang penelaahan dan kinerja bertahap mengakibatkan para pejabat yang mengalami penyetaraan tetap harus menjalankan peran selayaknya masih menjabat jabatan administrasi. Untuk menggantikan terminologi jabatan administrator dan pengawas, dimunculkanlah istilah koordinator dan sub koordinator. Dimana tugas dan fungsi koordinator dan sub koordinator adalah tugas dan fungsi sebagaimana administrator dan pengawas. Pejabat yang terdampak kebijakan penyetaraan jabatan, pada prakteknya diamanhi sebagai koordinator atau sub koordinator, yang dengan kata lain, mereka masih diberikan kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang tertentu sebagaimana yang melekat pada jabatan sebelumnya. Sehingga muncul adagium “pejabat fungsional rasa struktural”.
Kondisi ini menambah beban pejabat yang terdampak penyetaraan. Di satu sisi, yang bersangkutan harus mengikuti iklim kerja jabatan fungsional yang berbasis kinerja perorangan dengan bukti pengumpulan angka kredit, di sisi lain diberi beban, tanggung jawab serta peran sebagaimana jabatan struktural yang sebelumnya dijabat.
Meskipun terdapat peraturan yang mengonversi jabatan koordinator dan sub koordinator ke dalam nilai angka kredit, namun hal ini belumlah mencukupi bagi pejabat yang bersangkutan untuk mengumpulkan nilai angka kredit minimal. Pejabat yang bersangkutan tetap harus mengumpulkan berkas-berkas administrasi yang akan dikonversi ke dalam angka kredit jika ingin pangkat dan jabatannya meningkat. Kondisi dimana diperlukan upaya pengumpulan angka kredit, tidak perlu terjadi jika yang bersangkutan masih menjabat sebagai pejabat administrasi.
Kedua, dalam beberapa kasus, penyetaraan jabatan telah merugikan pegawai. Pada Balai Litbang Agama Semarang, terdapat jabatan administrasi level pelaksana (eselon V). berdasarkan PermenPANRB Nomo 17 Tahun 2021, jabatan pelaksana disetarakan menjadi jabatan fungsional level ahli pertama.
Permasalahan timbul ketika pejabat yang menduduki jabatan pelaksana pada Balai Litbang Agama Semarang telah menduduki pangkat III/d (Penata tk. I) dan dalam waktu satu tahun lagi, memiliki hak naik pangkat otomatis ke IV/a (Pembina). Dengan kebijakan penyetaraan jabatan, maka pejabat yang bersangkutan harus bersedia disetarakan dengan jabatan fungsional jenjang ahli pertama. Jenjang ahli pertama, pada level pangkat diduduki oleh pegawai dengan pangkat III/a dan III/b. Bagi pegawai yang berada pada pangkat III/d, seharusnya level jabatan fungsional setara dengan jabatan ahli muda.
Dengan kebijakan ini, maka pejabat pelaksana Balai Litbang Agama Semarang secara fakta akan mengalami penurunan jenjang jabatan. Yang seharusnya dalam jangka waktu satu tahun dapat naik jabatan ke level IV/a, dengan kebijakan ini, yang bersangkutan membutuhkan waktu lebih dari 8 tahun untuk menduduki jabatan IV/a.
Permasalah administrasi juga menjadi salah satu faktor yang merugikan pegawai. Proses administrasi pemindahan jabatan, meskipun telah diatur dalam PermenPANRB, namun pada faktanya tidak semudah yang diharapkan. Bagi pejabat fungsional, selain pelantikan jabatan yang didasari oleh adanya Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh pejabat pembina kepegawaian, juga dibutuhkan SK Penilaian Angka Kredit (PAK) sebagai acuan awal penghitungan angka kredit. Pejabat pelaksana (eselon V) pada Balai Litbang Agama, mengalami kerugian karena keterlambatan penerbitan SK PAK. Para pejabat tersebut dilantik pada bulan Desember tahun 2020, namun demikian, karena berbagai kendala dan permasalahan, terutama dalam hal aturan penilaian angka kredit, sampai dengan tulisan ini belum terdapat kejelasan berapakah angka kredit yang didapatkan. Dengan adanya keterlambatan ini, maka pada tahun 2020 yang bersangkutan belum dapat melakukan pengajuan angka kredit sesuai dengan jabatan fungsionalnya.
Ketiga, penyetaraan jabatan memengaruhi peta jabatan. Kebijakan penyetaraan jabatan yang menyasar pada sebagian besar pejabat administrasi mengharuskan instansi menyediakan alokasi jabatan fungsional yang dapat diisi. Jika terdapat 2.000 pegawai yang akan terdampak kebijakan penyetaraan jabatan, maka dibutuhkan pula sebanyak 2.000 alokasi jabatan fungsional yang harus tersedia. Dalam kenyataannya, terkadang terdapat instansi dengan jumlah jabatan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pejabat yang terdampak penyetaraan. Jikapun terdapat jumlah yang tersedia, maka akan berdampak pada pegawai yang telah diproyeksikan menduduki jabatan fungsional dimaksud.
Keempat, semakin kecil peluang adanya penyegaran organisasi dengan adanya mekanisme rotasi jabatan. Di era masih banyaknya jabatan administrasi, salah satu kelebihan sistem ini adalah dimungkinkannya rotasi jabatan sebagai bagian dari penyegaran organisasi. Dengan adanya peraturan bahwa pejabat paling lama menduduki jabatanya selama lima tahun, memungkinkan adanya rotasi pejabat. Rotasi ini dalam banyak hal dibutuhkan sebagai bagian dari penyegaran organisasi.
Dengan adanya pergantian pejabat, maka akan timbul pula cara-cara, kebijakan maupun pola kerja baru yang diterapkan oleh pejabat yang baru menduduki jabatan. Rotasi juga mencegah adanya “monopoli” kewenangan.
Kebijakan penyetaraan jabatan, berdampak pada tidak fleksibelnya rotasi jabatan. Jabatan fungsional yang melekat pada pegawai, akan dibawa sampai pegawai tersebut memasuki masa purna bakti. Dengan demikian, tidak ada kewenangan pimpinan untuk memindahkan pejabat fungsional ke jabatan lainnya. Padahal, dalam beberapa kasus, perpindahan pegawai dibutuhkan dalam rangka penyegaran organisasi.
Kelima, penyetaraan jabatan berpeluang menimbulkan iklim kerja monoton, linier, dan terjebak dalam zona nyaman. Karakteristik pejabat fungsional adalah melekat pada pegawai selama pegawai tersebut mampu memenuhi kewajiban sebagai pejabat fungsional sesuai aturan yang berlaku. Dengan kata lain, tidak ada pihak yang memiliki kewenangan dalam menentukan karir pejabat fungsional selain pejabat fungsional itu sendiri. Berbeda dengan jabatan administrasi, pimpinan memiliki kewenangan untuk memindahtugaskan pegawai sesuai kebutuhan organisasi.
Sifat “keajegan” pejabat fungsional, jika tidak diatur secara tepat, justru akan berdampak pada iklim kerja yang dihindari. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, agenda reformasi birokrasi dimaksudkan untuk menghilangkan pola-pola kerja yang memiliki ciri berpikir linier, monoton dan terjebak dalam zona nyaman. Ketiga sifat kerja yang dihindari ini memiliki peluang besar terjadi pada iklim kerja yang tidak fleksibel. Pejabat fungsional, memiliki fleksibilitas dalam kerja, tugas dan tanggung jawab yang rendah. Pejabat fungsional, hanya akan berfokus pada pola kerja jabatan fungsional yang diembannya. Ketidakfleksibelan jabatan fungsional juga didukung dengan tidak mudahnya perpindahan jabatan fungsional yang satu ke jabatan fungsional lainnya.
IV. Saran dan Rekomendasi
Berdasarkan telaahan di atas, terdapat beberapa kendala dan permasalahan yang perlu mendapatkan respon yang tepat agar kebijakan penyetaraan jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak ada pihak yang dirugikan. Diantara rekomendasi yang perlu untuk dilakukan adalah:
- Dalam konversi jabatan administrasi ke jabatan fungsional, perlu mempertimbangkan jenjang pangkat dan golongan. Pasal 4 ayat (1) PermenPANRB Nomor 17 Tahun 2021 perlu diberi tambahan penjelas, bahwa jenjang pangkat dan golongan pejabat yang terdampak kebijakan penyetaraan jabatan menjadi salah satu pertimbangan dalam mendudukkan pejabat yang bersangkutan ke dalam level jabatan fungsional. Hal ini diperlukan agar tidak terdapat pegawai yang dirugikan dengan adanya kebijakan penyetaraan jabatan.
- Perlu pengkajian jabatan koordinator dan sub koordinator sebagai dampak ikutan adanya kebijakan penyetaraan jabatan. Penulis menilai bahwa dengan adanya jabatan koordinator dan sub koordinator, menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan iklim birokrasi. Kebijakan penyetaraan jabatan dapat dinilai sebagai kebijakan yang hanya mengubah nomenklatur jabatan.
- Untuk menghindari iklim kerja yang menggunakan pola pikir linier, monoton, dan terjebak dalam zona nyaman, maka diperlukan mekanisme pengelolaan administrasi kepegawaian yang dinamis bagi pejabat fungsional.
AGS/diad