PERGESERAN ORIENTASI PENDIDIKAN AGAMA; Studi Kasus Komunitas Santri, Priyayi dan Abangan Desa Pawidean, Kabupaten Indramayu

14 Mei 2007
PERGESERAN ORIENTASI PENDIDIKAN AGAMA; Studi Kasus Komunitas Santri, Priyayi dan Abangan Desa Pawidean, Kabupaten Indramayu

PERGESERAN ORIENTASI PENDIDIKAN AGAMA; 
Studi Kasus Komunitas Santri, Priyayi dan Abangan Desa Pawidean, Kabupaten Indramayu

Oleh: Drs. Fuaddudin TM MED 

Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan 
1999-2000


Lembaga pendidikan agama, secara historis, telah mengalami perkembangan secara linear - gradual dari sistem pendidikan agama yang bentuknya sangat informal longgar, individual, kurang terstruktur sampai kepada bentuk klasikal formal yang terstruktur secara "relatif rigid". Dimulai dari pendidikan agama di lingkungan keluarga, pendidikan agama di surau (Sumbar), meunasah (Aceh), langgar atau tajug (Jawa), halaqah, majlis taklim, sistem pesantren (sorogan dan bandongan) sampai akhirnya dalam bentuk klasikal (madrasah).

Perkembangan dalam bentuk klasikal sebagaimana sistem pendidikan yang ada (public school) dapat difahami sebagai perpaduan antara sistem sorogan yang bersifat individual dan bandongan yang bersifat massal. Meskipun bentuknya telah berubah menjadi kalsikal namun pada tahap awalnya secara kurikuler terbatas hanya :mengajarkan pendidikan agama dalam artian matapelajaran ilmu-ilmu agama Islam.

Pada sekitar tahun 1958 madrasah mulai mengintrodusir tujuh matapelajaran umum berupa membaca, menulis, berhitung, bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah dan olahraga. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1958 madrasah mengembangkan program wajib belajar berupa Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 tahun. Program pendidikannya lebih mengarah kepada bagaimana madrasah mampu mempersiapkan lulusannya dapat hidup mandiri pada saat kembali ke masyarakat, tapi juga mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Pada sisi lain madrasah wajib belajar tetap memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bahkan ke perguruan tinggi. Namun gagasan tersebut dinilai dan disikapi oleh masyarakat sebagai gagasan eksklusif sementara sekolah umum belum berfikir kearah "wajib" belajar. Realitas tersebut merupakan refleksi dinamika yang terjadi di lingkungan masyarakat madrasah dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tuntutan perubahan masyarakat.

Dinamika yang muncul di kalangan masyarakat madrasah ternyata bukan semata­-mata karena faktor internal di lingkungan madrasah sendiri, tetapi juga faktor eksternal yang mendorong agar madrasah mampu menyesuaikan diri dengan sistem yang ada di luarnya, seperti; sistem ketenagaan, ekonomi, sosial, politik maupun kultural. Jarolimeks dalam bukunya The Schools in the Contemporary Society (1981) mengatakan bahwa antara sistem pendidikan dengan sistem yang ada diluarnya memiliki hubungan timbal balik (reciprocal relationship).***

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI