Puslitbang LKKMO Mendorong Segera Lahirnya PMA tentang Buku Pendidikan Agama

19 Feb 2018
Puslitbang LKKMO Mendorong Segera Lahirnya PMA tentang Buku Pendidikan Agama

Jakarta (15 Februari 2018). Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Muhammad Zain, mengarahkan agar regulasi tentang Buku Pendidikan Agama harus segera lahir karena memiliki makna strategis. Hal ini disampaikan dalam pengarahannya pada diskusi finalisasi RPMA tentang Buku Pendidikan Agama, Kamis (15/2).

Hal ini sebagaimana ditekankan oleh Menteri Agama pada diskusi beberapa waktu sebelumnya. Oleh karena itu, Zain meminta peserta untuk aktif berpartisipasi memberikan ide dan masukan baik perlu tidaknya klausul baru untuk ditambahkan agar lebih sempurna atau sebaliknya menghilangkan pasal-pasal tertentu yang dianggap krusial dan akan menyulitkan sendiri.

Diskusi pembahasan draf PMA tentang Buku Pendidikan Agama sengaja dilakukan diawal karena sangat mendesak dan segera dipaparkan di hadapan Menteri Agama untuk dapat disyahkan. Urgensi PMA ini merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, terutama pada pasal 6 ayat 3 yang menyatakan bahwa muatan keagamaan dalam buku pendidikan menjadi tanggungjawab Kementerian Agama.

Hadir dalam diskusi para Kepala Bidang, peneliti, utusan Diktis, Puskurbuk Kemdikbud dan Biro Hukum dan KLN sebagai leading sector terkait peraturan perundang-undangan.

Diskusi yang cukup hangat dan konstruktif di ruang Kapuslitbang LKKMO lantai 18 Gedung Kemenag Jl. Thamrin No.6 tersebut bermula dari definisi tentang buku teks utama. Dalam draf awal, Tim Biro Hukum dan KLN memaparkan bahwa yang dimaksud buku teks utama itu adalah buku yang disusun oleh pemerintah sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Klausul ini tentu ada konsekuensi lanjutannya, yakni bahwa buku yang dibuat oleh Pemerintah itu tidak melulu buku untuk siswa tetapi juga termasuk buku pegangan guru dan buku kerja siswa, sedangkan kedua jenis buku ini dalam kategorisasi tidak termasuk dalam buku teks utama tetapi merupakan buku pendamping.

Menurut Suwendi, Kasubdit Penelitian pada Diretorat Pendidikan Islam, bahwa klausul pada pasal  yang menyatakan buku teks utama itu memuat buku pegangan guru dan buku kerja siswa harus dihapus karena tidak selaras dengan definisi dan klasifikasi buku yang selama ini ada. Hal ini terlepas dari siapa yang berwenang membuat buku tersebut.

Aspek lain yang perlu dilengkapi dalam klausul pembagian jenis pendidikan yang hanya menyebutkan sekolah/madrasah. Mengemuka persoalan bahwa ketika hanya disebut sekolah/madrasah maka PMA ini menjadi tidak lengkap dan membutuhkan PMA lainnya untuk mewadahi lembaga yang tidak termuat dalam klausul-klausul yang ada, seperti program paket A, B, dan C yang tidak dapat diwakili dengan kata sekolah/madrasah karena kedudukannya dalam Undang-Undang Sisdiknas termasuk kelompok lembaga pendidikan non formal. Akhirnya disepakati adanya uraian pada penjelasan tentang jenis pendidikan dengan menambah jenjang meliputi SD/MI sampai dengan SLTA/MA dan jalur pendidikan formal dan non formal.

Hal krusial lainnya yang belum diungkap dalam pasal-pasal draf PMA adalah terkait pembiayaan. Klausul pembiayaan sangat penting sebagai cantolan yang menjadi dasar ketika dibuat pedoman atau juknis yang ditandatangani oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat sebagai turunan dari PMA. Konteks perlunya pasal tentang pembiayaan disepakati dibuat secara umum hanya menyebutkan darimana saja sumbernya yakni APBN dan masyarakat dan klausul terkait PNBP. Pasal pembiayaan ini diamini juga oleh tim Biro Hukum dan KLN serta peserta yang hadir sehingga ke depan ketika ada buku-buku yang diusulkan oleh masyarakat untuk dilakukan penilaian maka jelas aturan pembiayaannya dan menjadi bagian dari PNBP Kementerian Agama yang sangat besar.

Setuju dengan penambahan pasal pembiayaan, Dyah Palupi dari Puskurbuk Kemendikbud turut menguatkan bahwa karena dalam draf PMA memuat aspek penyediaan sampai penilaian maka perlu aturan yang jelas. Sebagai pembanding dikatakannya bahwa di Kemdikbud setiap penulis buku teks dihargai 60 juta rupiah, nah, bagaimana dengan di Kemenag? Ini yang harus disiapkan aturan teknis.

Di akhir diskusi, disepakati adanya perubahan kata tadqiq dengan menggunakan bahasa yang umum dan dapat dipahami oleh semua agama karena PMA ini berlaku untuk buku dari berbagai Agama. Alhasil, kata tadqiq dihilangkan kemudian dipindahkan posisinya menjadi bagian dari persyaratan isi naskah sehingga tidak menyalahi kaidahlegal drafting lalu disesuaikan kalimatnya agar berlaku umum.[]

IA/diad/diad

 

 
Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI