Sesban Berikan Lampu Hijau BLA Semarang Tindaklanjuti Sosialisasi Kajiannya ke Kampus

21 Nov 2023
Sesban Berikan Lampu Hijau BLA Semarang Tindaklanjuti Sosialisasi Kajiannya ke Kampus
Sesban Arskal Salim pada kegiatan Seminar Hasil Pengukuran Deteksi Dini dan Mitigasi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) yang diselenggarakan Balai Litbang Agama (BLA) Semarang, bertempat di University Club Hotel Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Senin (20/11/2023).

Yogyakarta (Balitbang Diklat)---Sekretaris Badan (Sesban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Arskal Salim memberikan lampu hijau kepada Balai Litbang Agama (BLA) Semarang untuk masuk ke kampus-kampus dan menyampaikan sosialisasi hasil pengukuran ini. Kekerasan seksual tidak bisa dianggap remeh, sehingga perlu tindak lanjut atas hasil pengukuran ini dengan menggandeng pihak kampus.

 

“Persoalan kekerasan seksual dengan berbagai jenisnya dapat terjadi di dalam maupun di luar kampus yang melibatkan sivitas kampus. Dan ini melibatkan pelaku dan korban yang beragam. Kita masih sering terfokus untuk melihat sosialisasi itu di kampus. Padahal mereka berawal dari jenjang pendidikan yang paling dasar (SD, SMP, dan SMA). Maka, sosialisasi atau pelibatan harus dilakukan sejak dini untuk sama-sama menyadari isu kekerasan seksual,” ujarnya.

 

Arskal menyampaikan hal tersebut pada kegiatan Seminar Hasil Pengukuran Deteksi Dini dan Mitigasi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) yang diselenggarakan Balai Litbang Agama (BLA) Semarang, bertempat di University Club Hotel Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Senin (20/11/2023).

 

Menurut Arskal, sejauh ini dukungan konseling atau call center belum merata. Medsos pun mungkin belum merata untuk memberikan edukasi pada publik. Kekerasan seksual bukanlah sesuatu yang baik, sehingga perlu sama-sama menyadari untuk mencegah dan meninggalkan kekerasan seksual.

 

Budaya di suatu kampus, lanjut Arskal,  juga akan berpengaruh pada implementasi PPKS. Masing-masing komunitas ini memiliki batasan yang berbeda-beda. Ada yang rileks dan ada yang ketat. Pujian di satu sisi dianggap biasa, di sisi lain bisa dianggap harrasment di kampus/budaya lain. 

 

“Hal ini perlu kita pertimbangkan, apakah akan dijadikan bahan edukasi. Relasi "pemberi pujian" dengan "yang dipuji" juga berpengaruh pada makna pujian tersebut (bisa dianggap kekerasan seksual atau bukan)," tutur Arskal. 

 

"Gejala dari awal harus diwaspadai. Ruang konflik bisa muncul dari hal kecil, cat calling, body shamming. Relevan sekali rekomendasi untuk kekerasan seksual ini untuk ditindaklanjuti," imbuhnya. 

 

Arskal mengingatkan, dalam melakukan riset ini pasti ada tujuan yang diidealkan. Ada relasi inequality. Kita ingin mendorong agar relasi antara atasan-bawahan, dosen-mahasiswa, laki-laki-perempuan, pimpinan-staf bukan hubungan antar kuasa, tapi hubungan kerja sama untuk menjadikan bangsa yang maju, rukun, dan toleran.

 

Lebih lanjut, Arskal menuturkan bahwa perkembangan zaman membuka kesempatan untuk diubahnya atau di-update-nya sebuah regulasi. Riset ini diharapkan memberikan kritik atau masukan untuk regulasi yang dianggap masih lemah.

 

“Untuk memproses kasus kekerasan seksual sampai ke Itjen, dibutuhkan pengungkapan yang menyeluruh," tambah  Arskal mengomentari salah satu rekomendasi yang dirumuskan tim BLA Semarang, yakni pelibatan Inspektorat Jenderal dalam mekanisme pemberian sanksi pelaku kekerasan seksual.

 

Sementara itu, Siti Muawanah selaku ketua tim pengukuran, mengatakan penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi yaitu, pertama, rekomendasi ditujukan kepada Kementerian Agama RI yakni untuk membuat mekanisme pemberian sanksi dengan melibatkan Inspektorat Jenderal dalam pemberian sanksi akhir dan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi petugas yang menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi keagamaan.

 

Kedua, rekomendasi ditujukan kepada Inspektorat Jenderal untuk melakukan pengawasan terhadap kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi keagamaan. Ketiga, Dirjen Pendis, Dirjen Bimas Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, untuk melaksanakan beberapa poin di antaranya, yaitu membuat petunjuk teknis PPKS lengkap dengan proses bisnisnya, meliputi standar sosialisasi, pelaporan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan; menyusun pedoman pembentukan satuan tugas PPKS di perguruan tinggi keagamaan; melakukan intervensi alokasi anggaran untuk PPKS; dan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi petugas yang menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi keagamaan. Kemudian melakukan monitoring dan evaluasi kekerasan seksual di perguruan tinggi keagamaan.

 

Keempat, rekomendasi ditujukan kepada Perguruan Tinggi untuk melakukan beberapa poin; di antaranya memberikan jaminan perlindungan hukum bagi petugas yang menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi keagamaan; membentuk satuan tugas PPKS untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual dengan melibatkan dosen, tendik, dan mahasiswa dalam kepengurusan Satgas; dan meningkatkan sosialisasi mekanisme pelaporan dan penanganan kekerasan seksual. (Fathurrozi/bas/sri)

   

 

Penulis: M. Fathurrozi
Sumber: BLA Semarang
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI