Soedirman dan Alfiah: Kisah-kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Soedirman
Resensi Buku oleh Hariyah (Pustakawan Balitbangdiklat Kemenag)
Judul Buku :
Soedirman dan Alfiah: Kisah-kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Soedirman
Pengarang : E. Rokajat Asuro
Penerbit : Imania, 2017
Tebal : 437 halaman
Nama besar Panglima Soedirman tentu tak asing lagi di telinga masyarakat. Seorang pahlawan bangsa yang terkenal dengan perang gerilya, pantang menyerah walau dalam keadaan sakit parah. Namun demikian bagaimana sebenarnya sosok Panglima Soedirman dalam kehidupan keseharian khususnya dalam kehidupan rumah tangganya belum banyak diketahui masyarakat luas. Nah, buku ini hendak mengangkat sisi lain kehidupan Panglima Soedirman, kisah-kisah romantis kehidupan berkeluarga beliau yang dikemas sangat apik oleh penulis buku ini.
Beragam dialog antara Pak Dirman sebutan untuk Panglima Besar Soedirman dan Bu Alfiah istri beliau, ditampilkan dengan menarik dan enak dibaca. Dari sini tergambar bahwa mereka mencerminkan sebuah rumah tangga yang saling berbagi peran sesuai dengan kodratnya masing-masing. Penulis mampu memceritakan dalam sebuah novel biografi. Novel ini serasa hidup meski sangat kuat bersumber dari fakta-fakta sejarah. Tentu fakta sejarah memiliki bobot yang beragam. Penulis mampu meramunya menjadi sebuah rangkaian cerita yang utuh.
Romantika kehidupan Pak Dirman dan Bu Alfiah memberikan banyak pelajaran dan teladan bagi banyak orang. Pak Dirman sebagai sosok yang tegas, tekad kuat dan pantang menyerah. Bu Alfiah sebagai seorang perempuan yang sabar dan telaten. Kombinasi dari sosok Pak Dirman dan Bu Alfiah melahirkan perpaduan sikap hidup yang saling pengertian dan menanggung beban bersama. Dan pemahaman mereka akan agamanya tercermin ketika memperlakukan perempuan sebagai istri atau laki-laki sebagai suami dan mendidik putra-putri buah kasih sayangnya dengan perhatian penuh kasih sayang. Di sinilah keharmonisan muncul, dan itu menjadi modal dalam membangun kehidupan rumah tangga, berbangsa dan bernegara yang kuat.
Penulis juga sangat apik saat melukiskan Bu Alfiah sebagai model perempuan Jawa yang dikiaskan dengan lima jari seperti dalam Kitab Serat Centini. Jempol atau pol ing tias, seorang istri harus berserah diri sepenuhnya kepada suami. Telunjuk atau penuduh, seorang istri jangan sekali-kali berani membantah thudung kakung. Jari tengah atau penuggal, seorang istri harus selalu menunggalkan suami dan menjaga martabat suami. Jari manis mengiaskan, istri harus tetap manis air mukanya dalam melayani suami. Jelentik atau kelingking mengiaskan athak ithikan, terampil dan banyak akal dalam melayani suami.
Penulis sangat pandai dan apik dalam menuliskan buku sejarah yang pada umumnya kaku dan terkesan membosankan menjadi bacaan yang menarik dan menggugah. Pengungkapan antara fakta, politik, sejarah, budaya dan jiwa kepahlawanan disampaikan dengan sangat cemerlang. Seorang Pak Dirman atau dengan nama samaran Kiai Lelonobroto juga seorang manusia yang memiliki warna-warni kehidupan. Beliau bercengekerama dengan anak-anaknya, dengan istrinya, dengan adiknya, dengan prajuritnya, dengan rakyatnya, dengan segala kejenakaan dan ketegasannya menjadi pemandangan yang menarik dan indah dalam novel ini.
Beberapa cerita dengan alur maju mundur juga mengisahkan awal-awal kehidupan rumah tangga Pak Dirman dan Bu Alfiyah. Kehidupan berumah tangga dengan berbagai cobaan di masa perang kemerdekaan dan sempat tidak direstui oleh keluarga besar Alfiyah. Cinta Pak Dirman – Bu Alfiyah mulai tumbuh sejak sama-sama sekolah di Wiworotomo, saat Pak Dirman menjadi sekretaris himpunan siswa, dan Bu Alfiah, bendaharanya.
Juga dikisahkan saat Pak Dirman yang dianggap oleh temannya Dimyati sebagai seorang sabdo dadi, seorang dengan apa yang diucapkannya itu benar-benar terjadi. Hal ini karena Pak Dirman penuh kesungguhan dalam menjalankan agama, banyak salawat dan salat. Pak Dirman bersama Dimyati sahabatnya itu banyak mengajar ngaji. Pengajian keliling yang tidak hanya untuk warga Cilacap tetapi juga ke daerah lain seperti Rawalo, Jatilawang, Wangon, Kesugihan, Patikraja, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Brebes, dan Temanggung.
Begitu pula kisah saat Alfiyah harus mengurus anak-anak terutama saat mereka sakit dan Pak Dirman sedang tidak ada di sisinya. Bu Alfiyah dengan kesungguhan hati, penuh rasa kasih dan kesabaran melakukan semuanya sendiri. Begitu pula Pak Dirman memiliki rasa kepahlawanan yang dibangun sejak kecil. Ayahnya selalu menceritakan kisah pewayangan yang sarat nilai kepahlawanan bahwa keberhasilan itu selalu diraih melewati serangkaian ujian-ujian.
Bu Alfiyah sesungguhnya juga orang yang sangat sederhana meskipun dari keluarga berada. Ia mau hidup susah dan senang ditanggung bersama. Seperti ucapan Pak Dirman, “Siap hidup sengsara bukan berarti akan disengsarakan. Siap hidup sengsara, artinya menyediakan kesiapan mental ketika benar-benar menghadapi ketidakberuntungan dalam hidup”.
Sekelumit dari dialog pak Dirman yang menggambarkan tekadnya yang kuat, tidak menutupi aura romantikanya dalam menjalankan kehidupan berumah tangga bersama Bu Alfiyah. Misalnya saat Pak Dirman membelikan bedak buat bu Alfiyah, dalam penggalan dialog ini. "Apa yang bapak bawa?" tanya Alfiah waktu itu. "Baju dan bedak, Bu. Soalnya kalau ada serangan udara, semua toko bakal tutup," ujar Sudirman seraya membuka bungkusan. Diserahkannya baju dan berkotak-kotak bedak itu. Alfiah tercengang dibuatnya. Kaget campur senang. "Buat apa bedak sebanyak itu?" "Biar bagaimanapun, Ibu harus tetap terlihat cantik," terang Sudirman. "Tapi satu dus saja bisa untuk sebulan lebih, Pak," ujar Alfiah, seraya menyeka sudut matanya. Terharu juga dengan apa yang telah dilakukan suaminya. Dalam keadaan serba sulit, ia masih memperhatikan keperluan sang istri. Selain bedak, Sudirman juga membelikan baju. Dipeluknya baju itu. Tercium wangi baju baru. Untuk beberapa saat, Alfiah hanya bisa terdiam. Kehabisan kata-kata. Ketika Sudirman mengusap pipinya, pertahanan itu jebol. Alfiah tak kuasa untuk tidak menitikan air mata. Sudirman memeluknya. "Kau senang, Bu?" tanyanya. Alfiah tak menjawab, hanya mengangguk. Tangannya sibuk menyeka air mata.
Termasuk dalam penggalan dialog ini. "Juga menganugerahi kita anak-anak. Lalu, kau menghabiskan seluruh waktu untuk mengurus anak-anak dan rumah tangga. Penghargaan apa yang sepantasnya kau terima? Tetapi kalaupun ada, tampaknya aku tak akan sanggup mengabulkannya." "Aku menghabiskan seluruh waktu untuk anak-anak dan rumah tangga, tetapi bapak menghabiskan seluruh waktu untuk bangsa dan negara. Maka, kalaupun ada penghargaan yang aku terima, aku akan serahkan penghargaan itu kepadamu, Pak. Sebab tugas dan tanggung jawab bapak jauh melampaui kemampuan bapak sendiri. Aku masih bisa istirahat di antara waktu anak-anak istirahat, tetapi bapak hampir tak bisa istirahat di antara waktu para prajurit istirahat," sambung Alfiah.
Begitupun saat Pak Dirman memberikan perhatian yang kecil tetapi maknanya besar. Seperti terlihat dalam dialog ini. "Matur nuwun, Mas, aku suka sekali," batinnya. Lalu tangannya refleks mengusap rambut ikalnya. Sekarang ia tak pernah memakai jepit lagi. Tetapi benda penuh kenangan itu selalu disimpannya rapih di dalam lemari, serapih ia menyimpan kenangan di hatinya. Kelak, kepada anak perempuannya, jepit itu akan dihadiahkan pada saat-saat istimewa. Tentu bukan nilai barangnya yang dihadiahkan, melainkan lengkap dengan nilai kenangan yang terkandung di dalamnya. Dua anak perempuannya sekarang telah lahir, entah kepada siapa jepit pemberian Sudirman itu pertama kali akan dihadiahkannya. Sungguh sosok Siti Alfiah adalah potret istri bersahaja, mengabdi dengan ikhlas kepada suaminya, memiliki kemampuan untuk menghargai sekecil apa pun dari apa yang telah diberikan suaminya. "Kebahagiaan membuatmu tetap manis, cobaan membuatmu kuat, kesedihan membuatmu tetap menjadi manusia, kegagalan membuatmu tetap rendah hati." Ungkapan itu telah diwujudkan semasa gerilya-saat Sudirman sakit-Alfiah mendukung lahir batin dan merelakan seluruh perhiasan pemberian orangtuanya untuk bekal sang suami di medan gerilya.
Pak Dirman pejuang yang menyerahkan jiwa raganya untuk bangsa dan negaranya dengan tetap memperhatikan dan menyayangi dengan sepenuh hati isteri dan ketujuh anaknya, Ahmad Tidarwono, Taufik Effendi, Didi Prapti Astuti, Didi Suciati, Pujiati, Titi Wahyuni, dan Mohammad Teguh. Perjuangannya telah memenuhi titik puncak hingga pada dialog ini. “Aku merasa bangga, Bu. Bangga sekali setiap merenungkan perjalanan hidupku, sejak kecil sampai aku menikahimu. Gusti Allah selalu memberikan jalan yang sederhana. Coba kau bayangkan, aku bisa dekat dengan alam, dengan anak-anak, dengan prajurit, dan dengan rakyat. Dari merekalah aku menemukan pikiran-pikiran yang sederhana. Dalam rasa senang dan kesederhanaan itu, aku merasa kok rasa-rasanya tugasku sudah selesai.”
Pak Dirman berhasil menyelamatkan martabat negeri. Berhasil mengusir berbagai ancaman dan bahaya buat negeri walaupun tidak berhasil mengusir penyakit TBC yang dideritanya. Keberhasilannya mendesak Belanda hengkang dari bumi Indonesia, diiringi dengan kehidupannya yang kembali ke pangkuan Ilahi. []
HAR/diad