Strategi Penanganan Intoleransi: Sosialisasi Konstitusi dan Regulasi Negara Secara Lebih Masif!
Jakarta (17 Oktober 2014). “Konstitusi Negara sesungguhnya telah meneguhkan adanya kebebasan dalam beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Namun demikian, pada faktanya masih didapati adanya oknum pejabat maupun masyarakat luas yang belum paham”, demikian disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Machasin.
Hal ini disampaikan Machasin dalam acara Konferensi INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), Rabu, 15 Oktober 2014. Acara yang bertema “Re-Demokratisasi Ekonomi, Sosial, dan Politik untuk Pembangunan Inklusif” merupakan agenda tiga tahunan yang dilakukan oleh INFID.
Machasin hadir mewakili Menteri Agama sebagai representasi dari Pemerintah. Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut perwakilan dari berbagai elemen seperti Dewan Pers, The Wahid Institute, LSM Papua, dan beberapa lembaga lainnya.
Dalam kesempatan ini, Machasin menyampaikan bahwa sesungguhnya perilaku intoleransi merupakan bentuk “penyakit kepribadian”. Intoleransi adalah manifestasi kegagalan seseorang dalam mengolah dan mengembangkan diri. Menurutnya, ada tiga faktor yang menjadi penyebab intoleransi:
Pertama toleransi masyarakat dan/atau negara terhadap intoleransi, yakni ketika masyarakat dan/atau negara tidak melakukan apa-apa terhadap tindakan intoleransi.Kedua, pendidikan—terutama pendidikan agama dan kewarganegaraan—yang tidak memadai sehingga tertanam kesadaran mengenai hak-hak dan kewajiban anggota masyarakat di ruang publik. Ketiga, kesempatan yang tercipta dengan tindakan toleransi, misalnya, untuk mendapatkan penghasilan, memperoleh nama (bagi kelompok tertentu), membuat citra dan sebagainya.
Selanjutnya Machasin menyampaikan bahwasesungguhnya posisi Pemerintah dalam menjaminkebebasan dalam memeluk keyakinan dan beribadah sudah sangat jelas. Konstitusi negara dan perangkat perundang-undangan yang menyertainya sudah sangat jelas keberpihakannya dalam menjaga kebebasan dan mencegah intoleransi.
Namun demikian menurutnya, terjadi permasalahan dalam implementasi konstitusi dan perangkat peraturan perundang-undangan. Masih terdapat oknum pejabat dan sebagian masyarakat yang belum memahami secara komperhensif terhadap konstitusi dan peraturan perundang0undangan tersebut. Oleh karena itu,lanjutnya, perlu adanya sosialisasi konstitusi dan perangkat peraturan perundang-undangan yang lebih massif kepada seluruh elemen bangsa, termasuk para pejabat.hal ini mendesak dilakukan agar kasus-kasus intolerasi dapat dimimalisisr, bahkan dihilangkan.
Prilaku intoleransi harus dihilangkan dengan cara menumbuhkan sikap toleran pada masing-masing individu. Dalam konteks ini, Machasin menyampaikan bahwa salah satu strategi yang paling efektif untuk menumbuhkan toleransi dan saling kesepahaman adalah dengan memperbanyak ruang dialog.
Dialog antara komunitas dengan latar belakang yang berbeda tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Dialog diharapkan dapat menumbuhkan rasa saling mengerti, memahami, dan mengetahui pengalaman, informasi yang berbeda yang selama ini tidak mereka ketahui, sehingga akan muncul sikap toleran terhadap prilaku dan pendapat yang berbeda dengan apa yang dipahaminya. Selain itu, upaya menangani intoleransi juga dapat dilakukan dengan cara melibatkan orang-orang yang berprilaku intoleran dalam mengurusi urusan masyarakat. Pelibatan dapat membuka pikiran mereka bahwa masyarakat bukanlah komunitas yang homogen. []
AGS