SURVEY ASPIRASI MASYARAKAT TENTANG OTONOMI PENDIDIKAN DI MADRASAH

29 Jan 2007
SURVEY ASPIRASI MASYARAKAT TENTANG OTONOMI PENDIDIKAN DI MADRASAH

SURVEY ASPIRASI MASYARAKAT TENTANG OTONOMI PENDIDIKAN DI MADRASAH

 Ummul Hidayati dkk.,

Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2006, 220 hlm.



Diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi dengan UU. No. 32 tahun 2004, telah membawa pengaruh yang cukup besar dalam sistem pemerintahan dan kinerja birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun daerah termasuk didalamnya berkaitan dengan bidang pendidikan. Menurut UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, madrasah merupakan sekolah umum yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan sekolah umum lainnya. Namun dalam kerangka otonomi daerah, kenyataannya madrasah belum memperoleh perlakuan yang sama/proporsional oleh pemerintah daerah dan masih cenderung diskriminatif. Dikeluarkannya SK. Mendagri No. 903/2429/SJ tentang pedoman penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006 yang pada lampiran 2 menyebutkan bahwa pengalokasian anggaran APBD yang diperuntukkan membantu institusi vertikal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di daerah tidak diperbolehkan.

Pemahaman yang kurang pas terhadap SK Mendagri ini semakin menumbuhkan ketidakadilan oleh pemerintah daerah terhadap madrasah dan ini menjadi permasalahan tersendiri bagi madrasah. Padahal institusi vertikal dimaksud adalah menyangkut pembantuan pada instansi terkait yakni Departemen Agama. Sementara madrasah hanyalah merupakan lembaga pendidikan pada umumnya yang secara kebetulan di bawah pembinaan Departemen Agama. Adanya “deskriminasi” pemerintah daerah terhadap madrasah ini, tidak hanya menyebabkan tersumbatnya keran anggaran dari APBD saja, tetapi juga menyangkut masalah-masalah lain seperti pengadaan guru madrasah. Pada tahun 2005 terjadi kekurangan guru di madrasah sebanyak 120.335 orang (38.571 orang guru MI, 60.062 orang guru MTs dan 21.702 guru MA).

Penelitian ini bertujuan untuk “Melakukan Pemetaan Permasalahan Madrasah di Era Otonomi Daerah”. Sedangkan secara khusus untuk mengetahui “permasalahan-permasalahan yang dihadapi madrasah dan perlakukan Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan madrasah di era otonomi daerah”. 
Penelitian ini dilakukan di 15 propinsi yaitu propinsi Sumatera Utara, Riau, Lampung, Sumatera Selatan, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, NTT dan NTB. Alasan pemilihan lokasi ini dengan asumsi bahwa ke 15 propinsi tersebut telah mewakili seluruh propinsi yang ada di Indonesia, karena ditetapkan berdasarkan pertimbangan wilayah yaitu timur, tengah dan barat. Sasaran penelitian ini adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) swasta yang ada di 15 kabupaten/kota dan berjumlah  125 buah yang terdiri dari 62 MIS dan 63 MTs

Penelitian ini berkesimpulan bahwa ada beberapa permasalahan yang dihadapi madrasah antara lain aspek pendanaan, ketenagaan, sarana prasarana, kurikulum. Aspek pendanaan, permasalahan yang muncul disamping pada penggalian pendanaan dan pengalokasian pendanaan yakni terbatasnya sumber pendanaan, terbatasnya dana yang dihimpun dan pihak yang terlibat, yang berakibat pada tingkat pencapaian inkam pendanaan madrasah tidak maksimal dan tidak mampu mencukupi kebutuhan. Permasalahan lain adalah belum maksimalnya keberpihakan pemerintah daerah dalam pengalokasian pendanaan bagi madrasah.

Aspek ketenagaan, permasalahan yang dihadapi madrasah adalah belum memadainya SDM yang ada baik secara kuantitas (jumlah tenaga yang ada kurang memadai) maupun secara kualitas (tingkat kualifikasi dan kompetensi guru rendah dan masih banyak yang mismacth). Sementara pengadaan guru honor dan guru kontrak dari pemerintah daerah/diknas lebih diprioritaskan pada sekolah di bawah Diknas. Meskipun Depag mendapat jatah, namun karena pengadaan guru tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan, maka permasalahan di bidang ketenagaan tidak dapat teratasi secara tuntas.
Aspek sarana prasarana, terlihat pada kondisi gedung yang mulai rusak, jumlah ruang kelas tidak sesuai dengan rombel, bahkan masih banyak madrasah yang belum memiliki gedung sendiri. Sementara pembantuan pendanaan oleh Pemerintah Daerah baru dapat menutupi sebagian kecil  permasalahan pada segelintir madrasah terutama yang memiliki kerusakan paling parah. Hal ini disebabkan karena belum adanya  alokasi pendanaan APBD yang dikhususkan untuk membantu madrasah.

Aspek kurikulum, permasalahan madrasah terletak pada pertanggungjawaban dalam pengembangan kurikulum. Di era otonomi daerah saat ini madrasah diberikan kebebasan untuk mengembangkan kurikulum termasuk kurikulum muatan lokal. Namun dalam kenyataan pengembangan kurikulum selama ini belum banyak melibatkan pihak-pihak terkait antara lain komite madrasah, yayasan, masyarakat dan instansi terkait lainnya, akan tetapi lebih banyak menjadi beban dan tanggungjawab guru dan kepala madrasah.

Belum teratasinya berbagai permasalahan madrasah sampai saat ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain : Pertama, adanya sikap dan persepsi yang kurang pas terhadap madrasah yang terimplementasi dalam bentuk perlakuan pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah yang cenderung deskriminatif terhadap madrasah; kurang aktifnya Departemen Agama baik yang berada di pusat dan terlebih yang berada di daerah dalam mensosialisasikan keberadaan madrasah kepada masyarakat dan pemerintah terutama pada daerah-daerah minoritas umat Islam, bahwa madrasah juga merupakan bagian dari proses penyelenggaraan pendidikan di negara ini. Akibat kurang tersosialisasikannya madrasah tersebut, sehingga menjadikan madrasah kurang mendapat respon yang positip. Sementara dikeluarkannya SK Mendagri No 903/2429/SJ tentang pedoman penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006, semakin menambah kekhawatiran Pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran pada madrasah karena takut menyalahi peraturan tersebut. Kedua, Faktor lain adalah kurang aktifnya Departemen Agama dalam menjalin kerjasama lintas sektoran dengan berbagai kalangan baik masyarakat, instansi pemerintahan maupun dengan berbagai institusi swasta, menjadikan madrasah kurang mendapat perhatian dan perlakuan yang proporsional dari berbagai kalangan tersebut. 
Penelitian ini merekomendasikan : Perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif terhadap UU Sisdiknas terutama mengenai kedudukan dan posisi madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Disamping itu perlu juga memberikan klarifikasi/tanggapan terhadap SK Mendagri No 903/2429/SJ kepada masyarakat luas terutama pada instansi pemerintah daerah, agar dalam memahami SK tersebut lebih rasional, sehingga tidak ada keraguan lagi untuk mengalokasikan anggarannya dalam pemberdayaan madrasah.

Kandepag perlu melakukan pendataan ulang dalam pengelolaan madrasah terutama menyangkut bantuan-bantuan yang telah diberikan pada madrasah baik menyangkut bantuan pendanaan, ketenagaan, sarana prasarana maupun kurikulum. Hasil pendataan tersebut perlu disampaikan kepada Pemerintah Daerah agar diketahui sejauhmana Kandepag telah melakukan pembantuan madrasah dan apasaja kekurangan-kekurangan dan permasalahan yang dihadapi madrasah, sehingga Pemda dapat mengalokasikan anggarannya tanpa khawatir terjadi overlapping anggaran.

Kandepag perlu lebih intensif melakukan kerjasama yang lebih intensif kepada beberapa instansi terkait antara lain Dinas pendidikan, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah untuk memperoleh dukungan pendanaan dalam pemberdayaan madrasah. 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI